“Ya, tapi Ayah good rekening, Naya!” Toke Jaya mencoba membela harga dirinya di depan Naya.Ya, siapapun bisa melihat perbedaan yang kontras ini. Istri bagaikan bulan purnama, dan dirinya adalah burung punguk yang bertugas merindu. Dalam hati terdalamnya, pria itu bersyukur Naya serupa dengan sang istri, meski sikapnya jelas jauh berbeda, bahkan lebih mirip sikap saudaranya sendiri– Toke Sofyan si pemarah itu.“Dulu enggak, tuh!”“Mamak terima Ayah, karena satu alasan ....” Toke Jaya terus memandangi putrinya. Kali ini, dia lebih serius dibanding sebelumnya. Pria bijak itu hanya menginginkan kebaikan bagi sang putri, meski sulit untuk membuat Naya mengerti.“Apa?” Naya menjawab tanpa berbalik.“Ketulusan.”“Ih, Ayah gaje, lebay juga. Ketulusan, dong! Memang apa yang sudah Ayah lakukan sampai mamak menganggap Ayah tulus? Apa Ayah menyeberangi danau dengan berenang? Lompat
Adam tidak banyak berubah setelah kejadian di toko emas milik Toke Jaya. Pria santun itu tetap mengajar seperti biasa, lalu siang sampai malamnya bekerja di toko emas untuk menambah penghasilan.Hal ini berbeda jauh dengan yang dialami Naya, gadis itu bagaikan kehilangan bagian penting dari dalam hidupnya, hingga lebih sering murung saat di kelas. Naya yang biasanya ceria, banyak bicara dan suka mengusik kedamaian di kelas saat Adam mengajar, kini berubah bagaikan sebalok es. Dia duduk dengan tenang di mejanya, memandangi buku atau sesekali menjatuhkan pandangan pada papan tulis di depan gadis itu. Naya berubah, seutuhnya berbeda dibanding sebelumnya.Tidak ada lagi keusilan Naya saat Adam mengajar. Tidak ada lagi panggilan Naya untuknya. Jika ada yang tidak dimengerti oleh gadis itu, Naya lebih senang bertanya pada temannya dibanding mengacungkan jari di udara dan menyebutkan nama Adam.Sontak saja, perilaku ini terendus oleh Adam. Dia yang terbiasa merasakan k
Mendung menyambut kehadiran Adam di Rumah Sakit Melati sore itu. Dia berdiri di parkiran, tepat di sebelah motor matiknya yang tua. Tatapannya tertaut pada bangunan tiga lantai dengan cat orange yang terang. Beberapa orang lalu lalang tanpa tertarik pada dirinya. Sebuah ambulance juga masuk, menurunkan seorang pasien yang terbaring lemah di atas brankar.Setiap yang dipandanginya saat ini, mengundang ingatan Adam akan kejadian yang dialaminya saat sang ayah meninggal dunia. Keuangan yang terbatas, serta sanak keluarga yang tidak ramah membuat dirinya sulit mendapatkan bantuan. Ayah Adam hanya menerima perawatan di rumah sakit umum, melalui kartu sehat yang diangsurnya setiap bulan. Sedang Azizah, terbaring di rumah sakit swasta yang harga permalamnya melebihi gaji honor pria itu.Adam menarik dalam napas. Dadanya membusung, sesak terasa di pucuk hati. Bahkan perkara sehatnya, terasa jelas bedanya. Azizahnya di atas sini, sedangkan kemampuan pria itu masih d
Adam melangkahkan kedua kakinya. Perasaannya terus bergetar kala menyadari di dalam sana Azizah terbaring lemah di brankar. Wajahnya kian pucat dan jauh lebih kurus dibanding sebelumnya. Lebih dari itu, Adam menyadari jika raut wajah Azizah telah berubah terhadapnya.“Assalamualaikum ...,” sapanya. Adam menundukkan kepala sedikit demi menghormati kedua orangtua Teuku Idris, Toke Sofyan serta pria itu sendiri. Mereka hanya membalasnya dengan senyum tipis tanpa mempersilahkannya duduk atau mengambil tempat di kamar luas itu.“Jangan lama-lama!” Toke Sofyan segera memberi peringatan. Padahal, jarak Adam dengan Azizah masih dua meter lagi. Mereka belum sempat bertukar kata sepatah pun, namun Toke Sofyan begitu gencar melarang Adam mendekati putrinya yang berharga.“Yah ... sabar.” Istrinya mengingatkan dari arah belakang.Adam terus berjalan menuju Azizah. Manik matanya yang semula cerah menjadi berkabut hebat. Perasaannya
Sore menyambut sendu di wajah Adam. Pria rupawan dengan seribu luka itu berjalan perlahan menuju toko emas milik Toke Jaya. Perasaannya terus berdenyut, sedangkan di telinganya terngiang ucapan Azizah tentang pernikahannya dengan Teuku Idris.Tubuh Adam melemah, lututnya goyah, pun tangannya dingin bagaikan segenggam es. Pria itu terus berjalan melewati etalase toko. Bang Jono yang sibuk melayani pelanggan menegurnya lantang, “Dam, eh ... keenakan kamu, ya? Ini kerja dulu. Enggak lihat banyak pelanggan, hah?”Adam menghela napas. Sakit memang di dalam sana, tapi tugasnya tetap saja harus diselesaikan.Pria itu memasuki pintu menuju ke bagian dalam etalase. Ditariknya napas sekeras mungkin, harapnya perasaan Adam membaik meski hanya sedikit. Tidak lupa pula, dia terus menyebut nama Allah di dalam sanubari.“Dasar sok sibuk! Sudah jam berapa ini, baru datang, hah? Mau gajimu dipotong?” cecar Bang Jono lagi. Pria itu lebih memilih mer
Naya turun dari lantai dua dengan ekspresi merengut khas dirinya. Dia bahkan mengabaikan setiap orang yang menatap ke arahnya. Beberapa dari mereka adalah pembeli yang mengenal Naya sejak lama, pun Bang Jono yang tidak bisa berpura-pura tidak melihat Naya di depan matanya.Naya segera berjalan ke arah depan dengan langkah tergesa-gesa. Dia menapakkan kaki dengan kasar di lantai keramik agar seorang pria muda yang membuat hari dan hatinya berombak itu mendengar.“Nay? Langsung pulang? Makan dulu dengan Bang Jono dan Toke,” panggil Bang Jono.Naya tidak tertarik sama sekali. Dia menuruni anak tangga di teras toko dan langsung meminjakkan kaki di aspal. Dia tahu jika mengabaikan orang tua seperti Bang Jono itu tidak baik, tapi di belakang Bang Jono ada Adam. Naya masih menyimpan kekesalan pada Adam, terlebih setelah Toke Jaya memaksanya belajar dari Adam.Bagaimana bisa dia belajar dari pria itu jika setiap harinya hatinya teriris sakit. Bagaiman
Perjanjian yang diikrarkan oleh Naya tidak pernah dianggap Adam sebagai sebuah ancaman. Gadis itu memang banyak akalnya, dia juga tidak segan mengambil keputusan yang dianggapnya paling benar. Naya selalu unik dan menarik, pola pikirnya pendek dan jarang berpikir sebab akibatnya. Adam menganggapnya sebagai masa remaja Naya yang penuh rasa penasaran dan gelora jiwa muda. Ia juga tidak terganggu dengan perasaan Naya terhadapnya. Selama ini, perasaan Adam berkibar hanya untuk Azizah. Semuanya masih begitu sama meski bertahun-tahun telah berlalu sejak pertemuan pertamanya dengan gadis itu. Mereka tidak berpacaran, namun ada komitmen kuat untuk bisa bersama. Hal itulah yang membawa Adam ke hadapan Toke Sofyan. Tapi semuanya berlangsung sebentar saja. Begitu lamaran itu diterima oleh Ayah Azizah, maka kisah keduanya berubah dengan begitu cepat. “Pak, ini tanda tangannya!” Suara Naya mengusik lamunan Adam pagi itu. Dia yang duduk sendirian di kantor
Suara lantang Naya dan siswa tinggi itu terhenti begitu suara Adam mendominasi. Beberapa siswa yang masih ada di ruangan itu ikut menatap ke arah pintu kelas. Ada Adam di sana, sedang memandang ke setiap arah.“Kalian berdua mundur, menjauh!” Suara Adam meninggi. Dia tidak percaya jika gadis yang memasang wajah penuh kebencian itu adalah Naya. Bagaimana bisa Naya melakukan hal seburuk ini dengan teman sekelasnya sendiri?“Dia yang mulai duluan, Pak. Naya menghina saya!” Siswa bertubuh tinggi itu mengelak. Dia menumpahkan semua kesalahan pada Naya seorang. Buruknya, teman-teman laki-lakinya mendukung keras tuduhan itu. Padahal, kenyataan tidak demikian.Adam yang melihat kondisi tidak kondusif itu langsung masuk ke dalam ruangan. Dia berdiri di antara Naya dan siswa bertubuh tinggi tersebut. Adam terlihat lelah, sekaligus bingung dengan situasi aneh yang tiba-tiba saja terjadi.Tidak ada guru senior lain yang bisa dia mintai saran.