Begitu pulang dari pertemuan dengan kedua rekanku, rencana balas dendam mulai tersusun dalam benakku.
Sambil menyetir aku membayangkan skenario macam apa yang bisa membuat Luki jijik dan melepaskan Vina."Astaga! Bagaimana respon Luki nanti?" Batinku.Membayangkan betapa menarik pertunjukan ini kelak, hatiku berdegup tak karuan.Semangat yang tinggi membuat perjalanan ke rumah terasa singkat. Tak sabar lagi, aku langsung menuju lantai dua, tempat di mana kamarku berada.Begitu memasuki koridor, kulihat pintu kamar Joyce terbuka sedikit. Berjingkat-jingkat aku mengintip dari celah sempit itu."Jie, kenapa ya Aunty belum pulang?" Suara sedih si bungsu Joan terdengar sayup-sayup.Di dalam kamar, tampak kedua bocah lucu itu sedang bercerita. Joyce menekuni kanvas mini di depannya sedangkan Joan berbaring di lantai sembari menatap langit-langit kamar."Why? Aunty doesn't owe us anything. Jangan suka menggangguAda yang berbeda hari ini. Jika biasanya kedua bocah yang kupaksa bangun demi berangkat ke sekolah, kali ini aku yang sudah sibuk mematut diri sejak tadi. Berulang kali kutatap cermin demi memastikan tak ada yang salah dengan penampilan, entah pakaian atau aksesoris yang tidak pada tempatnya. Let me tell you something. Pertaruhan dalam hidup dimulai dari penampilan. "Who are you trying to impress Aunty? Daddy aja nggak di sini." Suara serak khas bangun tidur tiba-tiba mengganggu ritual agungku. Mataku menyipit menatap Joan yang seketika menunduk malu. Sepertinya bocah tengil ini masih punya kesadaran diri."Aku berhias untuk mempercantik diri, bukan untuk Daddy kalian."Perlahan kuhampiri dirinya yang berdiri salah tingkah di ambang pintu, sambil terkekeh kujawil pipi tembamnya yang mirip roti sobek. "Makanya belajar yang bener, jangan suka berpikir yang aneh-aneh.""Yes Aunty." Sahutnya lembut sambil memamerkan
Begitu membaca pesan itu, aku cepat-cepat kabur tanpa peduli lirikan Marissa yang penuh arti. Kalau tak salah, pasti dikiranya aku kabur dengan berondong kere seperti yang kerap dia lakukan di belakang suaminya. Sayangnya, begitu jarakku dan lobby sudah dekat, ponsel bergetar lagi. Kali ini cuma pesan singkat dari tuan besar.[Langsung ke parkiran aja]"Sial!" Rutukku dalam hati.Kapan para lelaki ini paham betapa sakitnya kaki harus mengenakan high heels kesana-kemari? Oh, tentu saja jangan memintaku berhenti memakainya. Itu dosa besar! Meski masih menggerutu, kuseret juga langkah yang makin terseok ke parkiran. Untunglah Hartono tak begitu jauh memarkir mobilnya. Begitu kubuka pintu mobil, tampak Joan dan Joyce juga sudah di dalam. "Hai guys..." Sapaku garing. Agak kaget juga melihat muka suami yang sudah hampir seminggu tak kulihat."Hmm,... " Sahutnya datar dan di luar perkiraanku dia berk
Demi mendengar suara mertua yang penuh duri tajam, langkahku sontak berhenti di ambang pintu. Sekilas kutatap Hartono yang berdiri di sisiku. Seperti biasa, dia tetap tenang, tak terpengaruh sedikitpun.Sayang sekali, untuk menantu sepertiku, ini haram hukumnya.Tanpa mengikuti langkah suami yang masuk begitu saja, aku cepat-cepat menghampiri nyonya Lim yang masih duduk di sofa. Tak lupa seulas senyum manis terukir di bibirku."Maaf, Popo. Tadi kami jalan-jalan jadi kelamaan pulang...""Hmph... Aku tak peduli kalian pergi kemana, tapi jangan jadi anak tak tahu etika kayak seseorang." Ketika dilihatnya Hartono tak terpengaruh, nyonya Lim menancapkan durinya lebih dalam. "Hmph, aku yang salah. Apa yang bisa diharap dari laki-laki yang bahkan statusnya saja tak jelas!"Sindiran tajam ini membuat langkah Hartono berhenti seketika.Secara hukum, suamiku memang terdaftar sebagai putra nyonya Lim. Tapi semua orang dalam circle kami
"I don't care, yeeehh, I don't care, yeehhh..." Mulutku bersenandung kecil waktu memasang dasi Hartono pagi ini. Tingkahku yang tak biasa membuatnya tersenyum geli. Sejak pindah kemari, Hartono memang jadi sering pulang ke rumah. Bisa dibilang hampir setiap hari.Yang bikin makin heran, dia juga sudah jarang mengajakku ke dark room. Kalau dulu, minimal sekali dalam sebulan, aku mesti diseret ke tempat dursila itu. Tapi dua bulan belakangan, Hartono terlihat tenang saja.Entah moodnya yang lagi bagus atau pikirannya sedang tersita hingga tak sempat punya hasrat untuk hal selain pekerjaan? Aku juga tak tahu.Yang jelas aku sangat nyaman dengan kehidupan sekarang. Tak kekurangan, tak kesakitan atau pun ketakutan. "Apa yang kau pikirkan?" Cetusnya tiba-tibaSuara Hartono sontak membuyarkan angan yang sempat berkelindap di otakku. "Nothing. Just thinking of how perfect my life is."Dia terkekeh geli dan beruc
Buru-buru aku naik ke atas agar dapat mengagumi semua pemberian Hartono sepuasnya. Aku tak mau reaksiku yang berlebihan jadi mengundang cibiran dari pelayan, terutama Nanny yang sejak awal sudah tampak menolak kehadiranku.Ada tiga compartemen dalam kotak itu dan masing-masing berisi masterpiece yang layak mengundang decak kagum.Kompartemen pertama sekaligus paling besar berisi gaun satin indah berwarna gading dengan kerah V serta bagian belakang yang menampilkan punggung dengan sempurna. Gaun ini terlihat seksi dan elegan secara bersamaan.Bagian bawah gaun dibuat model A-line dengan dua lipatan besar di bagian depan dan belakang.Dan yang tak kalah penting, ribuan rhinestone yang didominasi warna biru tosca dan safir dijahit pada bagian atas gaun menyerupai sosok Phoenix yang sayap dan ekornya menjuntai hingga melewati pinggang."Wow!"Aku berseru takjub sambil menatap pantulan diri di depan cermin.Nuansa hangat
Aku menoleh, dan tampaklah Marissa tersenyum manis memamerkan sederet gigi putih nan rapi. "Kok sendirian, Beb?" Dia bertanya setelah melihat kursi yang enam biji itu hanya diisi olehku."Biasa Beb, suami lagi pergi. Ada urusan katanya."Dia menunjukkan ekspresi wajah gemas lalu berujar, "sama dong kita. Kenapa sih para lelaki suka menghilang padahal kita udah mati-matian tampil cantik." Dia melanjutkan sungutannya dengan gaya jenaka. "Karena kecantikanmu tak bernilai miliaran."Kami berdua tergelak mendengar jawabanku yang pedas namun benar. Lupakan kisah CEO yang mati-matian mengejar cewek miskin apalagi asisten rumah tangga bau bawang, bahkan perempuan high maintenance macam kami pun di abaikan demi pembicaraan soal uang dan bisnis. Anggaplah ada CEO bodoh terpikat setengah mati dengan keluguan cewek miskin tadi, memangnya berapa lama keluguan ini bisa menawan hatinya? Belum lagi campur tangan keluarga dan lingkun
Benar saja. Begitu aku kembali ke meja nomor empat belas, orang-orang yang seharusnya bersamaku sudah duduk dengan rapi. Termasuklah Hartono di antaranya.'Dia? Kenapa dia... 'Rasa kagetku tak terkatakan waktu tahu yang duduk bersama kami tak lain dan tak bukan Cecilia Huang -- kadang disebut Dewi karena nama lengkapnya Dewi Cecilia -- , sekretaris Hartono yang baru tadi pagi datang ke rumah, beserta kedua orang tuanya.Pengaturan duduk yang aneh ini bikin meja kami jadi lain sendiri, ganjil jumlah penghuninya. Meski kesal, aku berusaha semaksimal mungkin menutupi perasaan. Well, dalam peperangan, siapapun yang punya daya tahan tinggi akan keluar jadi pemenang."Selamat malam, Mrs. Huang, Mr. Huang, and Ms. Huang." Aku berujar sambil duduk di sisi Hartono.Sepertinya keluarga Huang masih punya etika. Buktinya Cecilia duduk di sebelah ibunya, bukan Hartono."Selamat malam. Senang bertemu Anda, Bu Shanty." Nyonya Huang, sama seperti anaknya, lebih memilih memanggil nama depanku daripad
Perjalanan pulang diwarnai keheningan yang menyesakkan, namun aku tak berani walau sekedar bertanya. Pengalaman mengajarku dengan baik. Hartono yang diam jauh lebih berbahaya daripada induk singa.Kalau tak salah pasti sudah terjadi sesuatu di banquet tadi yang bikin mood-nya jadi sangat jelek.Baru tadi rasanya kebahagiaanku membubung ke angkasa, tapi sekarang lenyap tak bersisa.Benar kata orang. Tak ada yang abadi di dunia."Waspadalah."Hartono yang sejak tadi fokus menyetir, tiba-tiba membuka mulut dan kata pertama yang dia ucapkan bukan sesuatu yang ingin kudengar, setidaknya bukan sekarang. "Sebenarnya ada apa?" Kataku mencoba mengurai kebingungan.Alih-alih menjawab, Hartono menyetir makin cepat dengan tangan yang mencengkeram kemudi dengan erat, sampai buku-buku jarinya memutih. Aku masih berusaha mencerna apa yang terjadi ketika mataku samar-samar melihat sebuah mobil hitam membuntuti kami. Dalam hat