Suatu pagi di kebun milik Pak Haji .... "Mak, kalau nanti tiba-tiba ada yang lamar Milah terima aja, yah! Mau itu duda perkasa, bujang anak dua, atau perjaka tua, asal jangan jadi bini kedua," kataku saat tengah rebahan di paha Emak menatap hamparan kebun Tin tetangga. Sudah hampir delapan tahun ini Emak bekerja sebagai buruh di kebon Tin milik Pak Haji Yahya yang letaknya cukup dekat dari rumahku, sekitar jalan Puri Cikarang Hijau, Pilar Cikarang Utara kabupaten Bekasi. Selain dari penjualan ketan di pasar, si Tin ini adalah sumber mata pencaharian keluargaku, dari sini aku dan Ahmad--adikku bisa sekolah, makan, dan jajan. Walaupun kadang masih ketergantungan ngutang di warung. Ya mau begimana lagi, duit sekarang itu susah nyarinya sama kayak jodoh. Yang gampang itu cuma ghibah dan cari kesalahan orang. "Lah, yang bener bae? Kamu pan baru lulus Esema, atuh, Mil. Masih kecil juga, pake udah ngomongin lamar-lamaran." Emak menatapku dengan dahi mengernyit. Aku terdiam sesaat.
"Kita ngobrol dekat kolam, biar Stevan nggak dengar." Tepat ketika sampai di pelataran, Nyonya Intan langsung menarik tanganku menuju belakang rumah. Mengabaikan Tuan Stevan yang hanya bisa memerhatikan kami dari kejauhan dengan tatapan tajam yang menghunjam. Melihat responsnya barusan, kegelisahan seolah tak bisa Nyonya Intan sembunyikan saat memeriksa ponsel android berukuran lima inci milikku yang softcase-nya udah buluk dan jamuran. Memang sudah dari dua minggu lalu kami memutuskan untuk tukeran hape, yakali aneh aja kalau kita pegang punya masing-masing. Sembari bercerita tentang keluarga satu sama lain. Nyonya Intan juga mengajariku menggunakan ponsel keluaran terbaru yang tak mampu kubeli walaupun setahun kerja rodi ini. Sejak saat itu, kami selalu mendiskusikan apa pun pesan yang masuk berdua untuk menghindari kesalahanpahaman. Termasuk situasi macam ini. "Begini, sebelum panggilan dari ibumu datang, tadi pagi aku memang sempat iseng-iseng buka hape kamu buat nonton yutup.
Sejak obrolan dengan Tuan Stevan di ruang keluarga tempo hari, kudapati Nyonya Intan menjadi lebih pendiam. Tak ada lagi canda atau kekehan tawa bahkan setelah mati-matian kuajak becanda. Sikap Tuan Stevan juga tak jauh berbeda. Entah kesambet setan dari alam mana dia mendadak cool dan nggak banyak maunya. Sudah terhitung empat hari sejak mulutnya terkunci dan kami tak sering terlibat obrolan bersama. Hari itu juga aku maupun Nyonya Intan memutuskan untuk meminta pengertian pada Emak dan Bapak untuk menunda lamaran resmi Bang Ipul. Karena selain terlalu mendadak, kami juga butuh waktu untuk menyepakatinya bersama. Mengingat jiwa dan raga ini bukan lagi kehendak kami berdua. Entah aku yang masih terlalu unyu atau lugu hingga belum bisa mengartikan maksud dari ucapan Tuan Stevan tentang pernikahan dan hal yang ia maksud dengan tekan-menekan. Oke, untuk bagian situ sepertinya memang sudah masuk ranah rumah tangga. Dipikirkan sampai jumpalitan empat malam pun otakku masih tak
"Nya ...."Di ambang pintu kamar aku melihat Nyonya Intan mengemasi barang-barangku ke dalam tas berukuran besar. Entah apa yang ada di pikirannya saat ini, sungguh aku tak mengerti. Demi Tuhan selama setahun terakhir aku tak pernah sekali pun melihatnya sampai semarah ini pada Tuan Stevan bahkan saat kami masih di tubuh masing-masing. Tindakan Nyonya Intan barusan yang membuat lelaki itu kini mengurung diri di kamar, membuatku semakin percaya bahwa marahnya orang pendiam itu terkadang lebih mengerikan. Bekas merah yang tertinggal di kulit putih lelaki itu sudah menjelaskan seberapa kuat gamparan itu dilayangkan. Mungkin ini yang dinamakan habisnya batas kesabaran seseorang. Akhirnya Nyonya Intan menoleh, menatapku dengan jejak air mata yang kentara di pipinya. "Maaf kalau aku mengambil keputusan ini tanpa merundingkannya lebih dulu. Demi Tuhan aku sudah muak, Milah. Aku muak dengan lelaki breng sek itu!" Aku hanya bisa tertegun mendengarnya. "Setahun ini aku masih bisa terima
"Milah ...!"Bergegas aku lari tergopoh-gopoh dari dapur menuju ruang makan, kala panggilan yang lebih nyaring dari toa masjid itu terdengar.Kenapa demikian? Karena kalau telat dua detik saja, piring dan sendok yang tak bersalah akan jadi sasarannnya."Iya, Tuan."Di samping meja berbentuk persegi panjang dengan kursi yang muat menampung sepuluh orang itu aku berdiri, tertunduk dalam memperhatikan ubin yang dipijak, kadang menghitung setiap sisinya kala diri mulai dilanda bosan mendengar ocehan majikan."Saya, kan sudah bilang berkali-kali kalau masak itu ikat rambutmu. Lihat sekarang! Rambut menjijikan ini tercecer di dalam kuah opor. Mana saya nggak yakin kamu keramas rutin lagi." Tuan Stevan-- nama majikanku sudah memulai omelannya secepat Mak-Emak uber barang diskonan. Perlahan aku mendongak. "Tap-tapi, Tu--""Jangan tatap wajah saya. Kamu nggak pantas melihatnya. Menunduk lagi!"Ya, Gusti ...."Lah, kalau saya nunduk gimana bisa mastiin kalau yang Tuan sodorin itu beneran rambu
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah terbangun di kamar majikan, yang kuingat terakhir kali adalah tabrakan yang menyebabkan tubuhku dan Nyonya Intan terkapar tak sadarkan diri. Bagaimana bisa setelah tersadar jiwa kami tiba-tiba tertukar? Apalagi di hadapan sudah ada lelaki tampan, tapi kelakuan kayak setan yang sudah siap menerkam!Untuk sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain kabur dari Tuan Stevan. Mengurung diri di kamar mandi, antara bingung dan frustrasi.Bagaimana ini?Apa yang harus kulakukan?Lagian Tuan Stevan bener-bener kebangetan. Bini abis kecelakaan dia malah ngajak anuan. Keterlaluan.Sekarang aku sedikit paham, kenapa Nyonya Intan katakan hidup yang dia jalani tak seenak kelihatannya. Bersuamikan lelaki tampan dengan muka blasteran ditambah harta bergelimangan, ternyata itu bukan ukuran kebahagiaan.Percuma tampan kalau kelakuan macam siluman, 'kan? Sekali lagi kutampari pipi berharap ini mimpi, tapi semua tampak terlalu nyata adanya un
"Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya."Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja."Lagi pula perubahan
"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya."Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.