Sejak obrolan dengan Tuan Stevan di ruang keluarga tempo hari, kudapati Nyonya Intan menjadi lebih pendiam. Tak ada lagi canda atau kekehan tawa bahkan setelah mati-matian kuajak becanda. Sikap Tuan Stevan juga tak jauh berbeda. Entah kesambet setan dari alam mana dia mendadak cool dan nggak banyak maunya. Sudah terhitung empat hari sejak mulutnya terkunci dan kami tak sering terlibat obrolan bersama. Hari itu juga aku maupun Nyonya Intan memutuskan untuk meminta pengertian pada Emak dan Bapak untuk menunda lamaran resmi Bang Ipul. Karena selain terlalu mendadak, kami juga butuh waktu untuk menyepakatinya bersama. Mengingat jiwa dan raga ini bukan lagi kehendak kami berdua. Entah aku yang masih terlalu unyu atau lugu hingga belum bisa mengartikan maksud dari ucapan Tuan Stevan tentang pernikahan dan hal yang ia maksud dengan tekan-menekan. Oke, untuk bagian situ sepertinya memang sudah masuk ranah rumah tangga. Dipikirkan sampai jumpalitan empat malam pun otakku masih tak
"Milah ...!"Bergegas aku lari tergopoh-gopoh dari dapur menuju ruang makan, kala panggilan yang lebih nyaring dari toa masjid itu terdengar.Kenapa demikian? Karena kalau telat dua detik saja, piring dan sendok yang tak bersalah akan jadi sasarannnya."Iya, Tuan."Di samping meja berbentuk persegi panjang dengan kursi yang muat menampung sepuluh orang itu aku berdiri, tertunduk dalam memperhatikan ubin yang dipijak, kadang menghitung setiap sisinya kala diri mulai dilanda bosan mendengar ocehan majikan."Saya, kan sudah bilang berkali-kali kalau masak itu ikat rambutmu. Lihat sekarang! Rambut menjijikan ini tercecer di dalam kuah opor. Mana saya nggak yakin kamu keramas rutin lagi." Tuan Stevan-- nama majikanku sudah memulai omelannya secepat Mak-Emak uber barang diskonan. Perlahan aku mendongak. "Tap-tapi, Tu--""Jangan tatap wajah saya. Kamu nggak pantas melihatnya. Menunduk lagi!"Ya, Gusti ...."Lah, kalau saya nunduk gimana bisa mastiin kalau yang Tuan sodorin itu beneran rambu
Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang terjadi, setelah terbangun di kamar majikan, yang kuingat terakhir kali adalah tabrakan yang menyebabkan tubuhku dan Nyonya Intan terkapar tak sadarkan diri. Bagaimana bisa setelah tersadar jiwa kami tiba-tiba tertukar? Apalagi di hadapan sudah ada lelaki tampan, tapi kelakuan kayak setan yang sudah siap menerkam!Untuk sekarang tak ada yang bisa kulakukan selain kabur dari Tuan Stevan. Mengurung diri di kamar mandi, antara bingung dan frustrasi.Bagaimana ini?Apa yang harus kulakukan?Lagian Tuan Stevan bener-bener kebangetan. Bini abis kecelakaan dia malah ngajak anuan. Keterlaluan.Sekarang aku sedikit paham, kenapa Nyonya Intan katakan hidup yang dia jalani tak seenak kelihatannya. Bersuamikan lelaki tampan dengan muka blasteran ditambah harta bergelimangan, ternyata itu bukan ukuran kebahagiaan.Percuma tampan kalau kelakuan macam siluman, 'kan? Sekali lagi kutampari pipi berharap ini mimpi, tapi semua tampak terlalu nyata adanya un
"Katakan sesuatu! Atau aku benar-benar akan membungkam mulutmu!"Kukedikkan bahu, lalu mengalihkan pandangan menatap jalan yang tampak sedikit lenggang malam hari ini.Sejak adegan tabokan tadi, aku memutuskan untuk tak mengeluarkan suara apa-apa lagi kecuali helaan napas dan kentut yang tanpa sadar keluar.Walau bagaimana pun tindakannya tadi benar-benar keterlaluan terlepas itu tak sengaja atau bukan.Sungguh aku acungkan sepuluh jempol pada Nyonya Intan yang masih bisa bertahan dengan lelaki sepertinya.Stevan Alexander dan Intan Permata, aku ketahui keduanya menikah di Bali 17 Januari 2019 tiga bulan sebelum aku kerja di sini. Mereka sama-sama berasal dari keluarga konglomerat yang sederajat.Ucapan Tuan Stevan sore tadi semakin menyakinkan asumsiku bahwa memang benar mereka menikah tanpa cinta.Ya, itu semua jelas terlihat dari sikap nggak ada akhlak lakinya."Aku, kan sudah minta maaf kenapa kamu masih marah?"Tahan, Mil. Nggak boleh nanggepin. Kacangin aja."Lagi pula perubahan
"Sejak kapan kamu begitu peduli pada Milah sampai menangis tersedu-sedu seperti itu?"Kutolehkan kepala menatap Tuan Stevan yang munculnya udah macam tukang kreditan yang nagih akhir bulan. Bikin sawan.Sembari menyeka jejak air mata yang tertinggal di pipi, aku bangkit dari posisi duduk dan berdiri di sisinya."Sejak awal aku memang sudah peduli padanya, Bang. Nyo-- eh Milah bisa dibilang satu-satunya temanku saat ini. Sikapnya yang seolah tanpa beban meski sering kau jadikan pelampiasan entah kenapa membuatku seolah mendapat penghiburan dari tekanan."Entah setan apa yang merasukiku saat dengan lantangnya melontarkan kalimat itu. Mungkin karena terperangkap di tubuh Ibu Peri gaya bicara pun sesekali berubah macam baca puisi dengan penuh improvisasi.Tapi, jujur. Untuk beberapa point, ucapanku mungkin bisa dibenarkan atau dipertanggung jawabkan. Kenapa? Karena sama seperti Rapunzel yang dikurung dalam kastil megah oleh sang penyihir jaha nam, Nyonya Intan pun bisa dibilang demikian.
Setelah kejadian memalukan tadi, aku memutuskan untuk menyibukkan diri di dapur. Berkutat di pantry dengan wajan dan panci. Menghindarinya macam buronan yang menunggu vonis mati.Bagaimana tidak demikian. Dua kali tamparan kulayangkan tanpa perasaan bersama dengan dendam yang sudah dipupuk setahunan. Walhasil, bekas tapak tangan itu menghiasi pipi mulusnya dengan warna kemerahan.Kalau kalian tanya apa aku menyesal? Jawabannya jelas tidak. Malah puas banget rasanya tabokin muka laki sok kecakepan, walaupun sayangnya dia emang cakep beneran. Setidaknya dendamku sedikit terpuaskan meski konsekuensinya jelas terpampang di hadapan."Intan ...!"Kan, belum ada lima menit, suaranya sudah menggelegar.Padahal sejak tadi aku sudah mencoba menghindar, bahkan bertingkah tak kasat mata sampai ngesot-ngesot di bawah meja."Di mana kamu, Intan?"Sial ... bagaimana ini?Mana belum sempet pacaran, ngerasain gandengan, dinikahi Salman Khan, masa harus mati di tangan lelaki setengah siluman?"Berhenti
"Kamu marah?"Pertanyaan itu meluncur mulus tanpa dosa dari mulut Tuan Stevan, sesaat setelah kami menjejakan kaki keluar resto tanpa makan. Aku mendelik sinis. "Menurut ngana?"Kalau saja ada penghargaan untuk lelaki paling menyebalkan di dunia, mungkin Tuan Stevan bisa menjadi salah satu kandidat kuat untuk membawa pulang piala beserta sound sistemnya. Masa cuma gara-gara debat perkara jengkol. Aku harus pulang dengan keadaan dongkol?"Jadi, sekarang bagaimana?"Dih, pake nanya lagi. Situ yang buat, ya situ yang harus bertanggung jawablah setelah bikin baper, eh laper anak orang. "Au, ah."Kulihat Tuan Stevan hanya terdiam saat dia berjalan di depan menuju parkiran, sementara aku mengekor di belakang sembari menendang-nendang udara berharap walaupun tak sengaja aku bisa menendang pantatnya. Entah apa yang ada di pikiran lelaki tampan itu, aku pun tak tahu dan tak mau tahu sebenarnya. Karena sungguh, rasa lapar ini lebih menyiksa daripada sikap acuh tak acuhnya. Percayalah, lima
"Ada uang koin?" tanya Tuan Stevan, sesaat setelah aku masuk ke dalam mobil dan bersiap pulang."Buat apa?""Parkir.""Lah, itu kan ada dua rebu di dasboard!" Kutunjuk tumpukan uang pecahan dua ribuan yang sepertinya dipersiapkan untuk parkir."Kebanyakan."Allahu akbar! Meditnya emang nggak ketulungan, nih orang."Lagian waktu dateng tadi kita parkirin sendiri, setelah siap-siap pulang, tiba-tiba orangnya udah nongkrong di depan. Udah jelas juga ada tulisan parkir gratis, ngapain ngeluarin uang banyak-banyak kalau tukang parkirnya nggak ada kerjaan? Lagian kita juga nggak perlu nyebrang."Iya, juga, sih.Tapi, tibang ngeluarin duit dua rebu nggak bakal bikin lu miskin, Stevaaan!"Udahlah, mana sini uangnya?!"Kuelus dada mencoba meredam kekesalan. Lalu, merogoh tas yang bisa kutaksir seharga ginjal, hingga akhirnya menemukan satu koin pecahan seribuan."Noh!""Oke. Terima kasih.""Masama," sahutku ketus.Mobil pun berjalan perlahan melewati tukang parkir di depan. Kusembunyikan wajah