Sementara Lintang sibuk di kantornya di pusat Jakarta, Arya sedang berkutat dengan masalah yang jauh berbeda di rumahnya yang nyaman di pinggiran kota. Kayla, putrinya yang berusia 7 tahun, sedang menangis di kamarnya.
"Sayang, Papa di sini," Arya berlutut di samping tempat tidur Kayla, tangannya dengan lembut membelai rambut hitam putrinya yang tergerai di bantal. "Mau cerita kenapa menangis?" Kayla terisak, memeluk boneka beruang pemberian Arya saat ulang tahunnya yang kelima. "Tadi... tadi di sekolah, Lia bilang aku aneh karena tidak punya mama. Dia bilang... semua anak normal punya mama dan papa." Arya merasakan hatinya seperti diremas. Sudah dua tahun sejak perceraiannya dengan Dian, mantan istrinya. Dua tahun ia berusaha menjadi ayah dan ibu bagi Kayla. Tapi saat-saat seperti ini, ia merasa gagal. "Dengar, sayang," Arya mengangkat dagu Kayla lembut, menatap mata cokelatnya yang basah, "kamu tidak aneh. Kamu istimewa. Dan kamu punya Papa yang sangat menyayangimu. Itu yang terpenting." Kayla mengangguk pelan, tangisnya mulai mereda. "Tapi kenapa Mama pergi? Apa karena aku nakal?" "Tidak, sayang. Tidak ada hubungannya denganmu," Arya menarik nafas dalam. Bagaimana menjelaskan perceraian pada anak 7 tahun? "Kadang-kadang, orang dewasa punya masalah yang sulit. Papa dan Mama... kami punya perbedaan yang tidak bisa kami selesaikan. Tapi kami berdua sangat menyayangimu." Kayla tidak sepenuhnya mengerti, tapi ia mengangguk. Arya memeluknya erat, menahan air matanya sendiri. Ia teringat pertengkaran terakhirnya dengan Dian. Tentang karirnya yang terlalu menyita waktu, tentang Dian yang merasa diabaikan. Tentang cinta yang perlahan menghilang di antara tumpukan berkas dan jadwal meeting. Setelah Kayla tertidur, Arya turun ke ruang kerjanya. Ia melirik jam: pukul 10 malam. Masih ada beberapa laporan yang harus diselesaikan untuk kliennya. Sebagai konsultan finansial independen, waktunya sangat fleksibel, tapi juga berarti ia sering bekerja larut malam setelah Kayla tidur. Matanya tertuju pada foto di dinding. Foto pernikahannya dengan Dian, dan foto Kayla saat baru lahir. Dua momen paling bahagia dalam hidupnya, kini hanya kenangan. Arya menghela nafas. Ia bertanya-tanya, apakah ia akan pernah menemukan kebahagiaan seperti itu lagi? Ponselnya bergetar. Pesan dari Lintang. "Lintang: Hei, aku baru sadar kita belum menentukan jam untuk besok. Bagaimana kalau jam 4? Aku bisa kabur lebih awal dari kantor. π" Arya tersenyum. Lintang. Wanita muda yang penuh semangat dan ambisi. Yang membuatnya tertawa dengan candaan sarkastis nya. Yang membuatnya ingin menjadi pria yang lebih baik, bukan hanya untuk Kayla, tapi juga untuk dirinya sendiri. "Arya: Kedengarannya sempurna. Kayla akan dengan ibunya besok, jadi aku bisa menjemputmu. Kita rayakan promosi mu dengan benar." Setelah mengirim pesan itu, Arya kembali ke pekerjaannya dengan semangat baru. Ia teringat kata-kata mentornya dulu: "Arya, uang itu penting. Tapi waktu dan cinta? Itu tak ternilai." Dulu, Arya terlalu fokus pada uang, pada membangun karir yang gemilang. Ia lupa menikmati waktu dengan Dian, lupa menunjukkan cintanya. Dan ia kehilangan segalanya. Tapi sekarang, menatap foto Kayla di mejanya, membaca ulang pesan Lintang, Arya paham. Ya, ia seorang duda. Ya, ia punya tanggung jawab besar. Tapi itu tidak berarti ia tidak berhak bahagia lagi. Tidak berarti ia harus melewatkan kesempatan kedua yang ditawarkan hidup. Besok, ia akan bertemu Lintang. Bukan sebagai klien yang butuh nasihat finansial, bukan sebagai duda yang mencari pengasuh, tapi sebagai Arya. Seorang pria yang, meski dengan masa lalu yang rumit, masih punya banyak cinta untuk diberikan. Dengan tekad baru, Arya kembali pada laporannya. Setiap angka yang ia ketik, setiap strategi yang ia rancang, semua demi masa depan. Masa depan di mana Kayla bisa kuliah di universitas impiannya. Masa depan di mana, mungkin, ada tempat untuk seorang wanita muda bernama Lintang. Karena Arya mulai percaya, bahwa sebagai duda dengan satu putri, hidupnya belum berakhir. Malah, mungkin, baru saja dimulai. (ββΏβ) Pukul dua pagi, Arya akhirnya menekan tombol "kirim" pada email terakhirnya. Ia merenggangkan tubuh, mendengar bunyi 'krek' dari tulang punggungnya yang kaku. Matanya perih karena terlalu lama menatap layar. "Harusnya aku investasi di kursi yang lebih ergonomis," gumamnya sambil berjalan ke dapur. Di kulkas, ia menemukan sisa lasagna buatannya dan Kayla kemarin malam. Mereka memutuskan untuk membuat makan malam bersama sebagai 'proyek ayah-anak'. Hasilnya? Dapur berantakan, lasagna sedikit gosong di pinggirnya, tapi tawa Kayla membuat semuanya setimpal. Arya tersenyum mengingat momen itu. Ia mulai menghargai saat-saat kecil seperti ini sejak perceraiannya. Dulu, saat masih bersama Dian, ia terlalu sibuk mengejar 'saat-saat besar': rumah mewah, mobil mahal, liburan ke luar negeri. Ia lupa bahwa kadang, kebahagiaan terbesar datang dari hal-hal sederhana. Selesai makan, Arya naik ke lantai atas. Ia mengintip kamar Kayla. Putrinya tidur pulas, memeluk boneka beruang dan mengenakan piyama unicorn pemberian Lintang saat Natal lalu. Ya, Lintang. Wanita muda yang entah bagaimana telah menjadi bagian penting dari hidup mereka. Awalnya, Lintang hanya klien - seorang eksekutif muda yang ingin menginvestasikan bonusnya dengan bijak. Tapi kemudian, secara mengejutkan, ia menjadi teman. Arya ingat saat pertama kali Lintang bertemu Kayla. Itu hari Sabtu, sekitar tiga bulan lalu. Kayla demam, dan Arya terpaksa membawanya ke pertemuan dengan Lintang di kafe. Ia sudah siap menerima tatapan tidak senang atau ketidaknyamanan dari wanita muda itu. Tapi Lintang? Ia membeli sup ayam hangat untuk Kayla, membacakan cerita dari tabletnya, dan bahkan mengajari Kayla cara melipat pesawat kertas dari tisu. "Tante Lintang baik ya, Pa," Kayla berkata malam itu, setengah mengigau karena obat demam. "Kayak Mama, tapi... lebih senyum." Arya menghela nafas, duduk di tepi tempat tidurnya sendiri. Hubungannya dengan Dian memang sudah berakhir, tapi kadang ia masih menyesal. Menyesal tidak cukup berusaha, tidak cukup mendengarkan. Mungkin jika ia lebih sering 'senyum' seperti kata Kayla, semuanya akan berbeda. Ponsel di meja samping tempat tidur bergetar. Pesan dari Dian. "Dian: Arya, maaf mendadak. Besok aku tidak bisa ambil Kayla. Ada meeting penting dengan klien dari Singapura. Kamu bisa atur pengasuh kan?" Arya mengerutkan dahi. Ini bukan pertama kalinya Dian membatalkan jadwal. Ia tahu mantan istrinya itu sibuk dengan karirnya yang menanjak sebagai arsitek, tapi tetap saja... "Arya: Mendadak sekali, Dian. Besok aku ada janji penting." "Dian: Ayolah Arya, kamu kan kerja di rumah. Lebih fleksibel. Please?" Arya menghela nafas panjang. Fleksibel. Ya, itulah alasan ia memilih jadi konsultan independen setelah cerai. Agar bisa lebih banyak waktu dengan Kayla. Tapi kadang, ia merasa Dian memanfaatkan hal ini. Saat hendak membalas, pesan lain masuk. Dari Lintang. "Lintang: Btw, aku bisa masak lho. Mau aku bawakan sesuatu besok? Merayakan promosinya tidak harus di restoran mahal π" Arya tertegun. Lintang mau memasak untuknya? Untuknya dan Kayla? Sesuatu yang hangat menyebar di dadanya. Sebuah ide muncul di benaknya. "Arya: Maaf Dian, aku tidak bisa cari pengasuh mendadak. Kita tukar saja, Kayla denganku minggu ini, denganmu minggu depan." Kemudian, ia beralih ke chat dengan Lintang. "Arya: Sebenarnya... bisa kita ubah rencana sedikit? Kayla harus ikut. Gimana kalau kita rayakan di rumahku saja? Kamu, aku, dan Kayla. Makan malam keluarga kecil." Arya mengirim pesan itu dengan jantung berdebar. Apa terlalu cepat? Terlalu jauh? Bagaimana kalau Lintang keberatan? Ia seorang wanita karir muda, pasti lebih suka merayakan dengan teman-teman sebayanya, bukan dengan duda dan anak kecil. Tapi balasan Lintang membuatnya lega bukan main. "Lintang: Kedengarannya sempurna β€οΈ Aku akan bawa bahan-bahannya. Kita masak bersama ya? Ajari Kayla juga. Quality time!" Arya tersenyum lebar, perasaan hangat itu kembali menyebar. Ia membalas Lintang, lalu berbaring di tempat tidur dengan perasaan yang sudah lama tidak ia rasakan: harapan. Ya, ia seorang duda dengan satu putri. Hidupnya rumit, penuh tanggung jawab. Tapi malam ini, menatap langit-langit kamarnya, Arya sadar. Tidak ada yang salah dengan statusnya. Ia adalah ayah yang mencintai putrinya. Profesional yang dihormati. Dan mungkin, hanya mungkin, ia juga pria yang masih bisa menemukan cinta. Dengan pikiran itu, Arya tertidur dengan senyum di wajahnya, memimpikan aroma masakan, tawa Kayla, dan senyum Lintang yang mungkin akan menjadi bagian dari 'momen-momen kecil' berharganya mulai besok. (ββΏβ)Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan."Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya."Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! π"Balasan datang hampir seketika."Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara
Arya duduk di ruang kerjanya, mata terpaku pada layar laptop. Jari-jarinya menari di atas keyboard, mengedit proposal desain interior untuk sebuah kafe baru di pusat kota. Namun, pikirannya sesekali melayang ke percakapan di kafe tadi pagi. Lintang. Kayla. Nasi goreng dan telur mata sapi. Suara ketukan di pintu membuyarkan lamunannya. "Papa?" Arya tersenyum. "Masuk, sayang." Kayla melongok masuk, rambut hitamnya yang panjang diikat satu. Di tangannya, sebuah buku cerita bergambar. "Papa lagi apa?" "Kerja sedikit," Arya menyimpan filenya. "Kenapa? Kamu mau baca buku?" Kayla mengangguk, berlari kecil ke arah Arya. Dengan gesit, ia memanjat ke pangkuan ayahnya. Aroma sampo stroberi menguar dari rambutnya. "Ceritain yang ini dong, Pa," pintanya, membuka buku. "'Putri dan Naga'," Arya membaca judul buku. "Hmm, buku baru ya?" "Iya! Tante Lintang yang beliin waktu kita ke toko buku minggu lalu. Tante bilang, aku kayak putri di buku ini." Arya tertegun. Ia teringat hari itu. Lintang m
Lintang membuka mata perlahan, silau cahaya pagi menerobos masuk melalui tirai kamarnya yang tidak tertutup sempurna. Ia menggapai ponsel di meja samping tempat tidur. Pukul 6:30. Masih ada waktu sebelum harus bersiap ke kantor. Jarinya mengusap layar, membuka galeri foto. Berhenti pada satu gambar yang diambil dua malam lalu. Foto dirinya, Arya, dan Kayla, berpose di depan meja makan penuh sisa-sisa nasi goreng dan telur mata sapi. Wajah mereka berseri-seri, Kayla di tengah dengan senyum lebar, sementara tangan Arya melingkar lembut di pinggang Lintang. Lintang tersenyum, tapi senyum itu perlahan memudar. Ia teringat apa yang terjadi setelah foto itu diambil. Setelah Kayla tertidur. Ciuman itu. Ciuman lembut di teras belakang rumah Arya, di bawah langit berbintang. Ciuman itu seharusnya membuatnya bahagia. Tapi kenapa sekarang, saat sendirian di kamarnya yang sepi, ia justru merasa... takut? Ponselnya berdering. Pesan dari Arya: "Pagi, Lin. Mimpi indah? π" Lintang memandang
Lintang melirik jam di dinding kantornya. 11:45. Lima belas menit lagi sebelum makan siang dengan Arya. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan jantungnya yang berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka bertemu berdua saja sejak... sejak malam itu. Malam di teras belakang, di bawah bintang.Ponselnya bergetar. Pesan dari Arya: "Aku sudah di lobi. Kau siap?"Lintang memandang bayangannya di cermin. Ia sengaja memilih blazer merah muda favoritnya hari ini. Warnanya cerah, kontras dengan kegundahan hatinya. Setelah memastikan riasannya sempurna, ia membalas pesan Arya."Iya, turun sekarang."Di lobi, Arya menunggu dengan kemeja biru langit yang membuatnya tampak lebih muda. Ia tersenyum lebar melihat Lintang. "Hai," sapanya lembut."Hai," balas Lintang, berusaha tersenyum senormal mungkin. "Kita mau makan di mana?""Ada restoran Italia baru di dekat sini. Kayla bilang kau suka pasta."Lintang tertegun. Arya ingat. Tentu saja ia ingat. Lintang pernah bercerita tentang kecintaannya
Arya terbangun lebih awal dari biasanya. Bukan karena alarm atau telepon dari klien, tapi karena mimpi. Mimpi yang telah lama tidak menghantuinya. Mimpi tentang malam itu, dua tahun lalu, saat Dian pergi.Ia duduk di tepi tempat tidur, memandang foto di meja samping. Foto pernikahannya dengan Dian, diambil lima tahun lalu. Mereka terlihat bahagia. Dian dengan gaun putihnya, tersenyum lebar. Arya memeluknya dari belakang, wajahnya penuh harap. Kayla kecil berdiri di depan mereka, memegang buket bunga, polos dan tidak mengerti apa-apa.Arya mengusap wajahnya kasar. Kenapa sekarang? Kenapa mimpi itu kembali sekarang, saat ia akhirnya menemukan keberanian untuk membuka hati lagi? Untuk Lintang?Suara ketukan di pintu mengalihkan perhatiannya. "Papa?" suara Kayla terdengar ragu. "Papa nggak apa-apa?"Arya cepat-cepat menyembunyikan foto itu ke laci. "Papa baik-baik aja, sayang. Ayo sarapan."Di meja makan, Kayla menyantap sereal cokelatnya dengan semangat. Arya hanya mengaduk-aduk kopi, pi
Lintang memarkirkan mobilnya di depan TK Bunga Matahari. Ia melirik jam tangannya: 11.45. Masih ada waktu 15 menit sebelum bel pulang berbunyi. Ia mengeluarkan kotak makan berwarna merah muda dari tas belanjanya. Di dalamnya, sandwich tuna kesukaan Kayla.Ini bukan pertama kalinya Lintang menjemput Kayla. Tapi entah kenapa, hari ini terasa berbeda. Mungkin karena percakapan dengan Arya semalam. Atau mungkin karena hari ini, untuk pertama kalinya, Arya memintanya menjemput Kayla sendirian."Aku ada rapat mendadak," Arya menelepon pagi tadi, suaranya cemas. "Maaf, Lin. Aku tahu harusnya aku yang jemput. Tapi...""Nggak apa-apa," Lintang menenangkan. "Aku bisa kok. Kamu fokus aja rapatnya."Sekarang, duduk di mobil, Lintang merasa gugup. Ini pertama kalinya ia akan bersama Kayla tanpa Arya. Bagaimana kalau Kayla menangis mencari ayahnya? Bagaimana kalau...Lamunannya terpotong oleh bunyi bel. Seketika, halaman TK dipenuhi anak-anak berlarian. Lintang turun dari mobil, matanya mencari-car
Siang itu, mal Grand Jakarta tampak ramai. Wajar, mengingat ini hari Sabtu dan musim liburan sekolah. Di antara kerumunan pengunjung, Lintang dan Kayla berjalan beriringan, tangan mereka bertautan erat."Tante, kita mau beli apa?" tanya Kayla, matanya berbinar melihat toko-toko yang berjajar.Lintang tersenyum. "Kita mau beli kado ulang tahun buat Aisyah, inget kan?"Kayla mengangguk antusias. Aisyah, sahabatnya di TK, akan berulang tahun minggu depan. "Aisyah suka boneka. Kita beli boneka ya, Tante?""Oke," Lintang menyetujui. "Tapi inget, nggak boleh terlalu mahal. Papa udah kasih uang pas."Mereka memasuki toko boneka di lantai dua. Mata Kayla langsung tertuju pada rak boneka beruang. Ada beruang cokelat dengan pita merah, beruang putih dengan baju ballerina, dan..."Tante! Lihat!" Kayla menunjuk ke atas. Di sana, di rak tertinggi, duduk sebuah boneka beruang panda besar. Matanya hitam mengkilap, perutnya gemuk dan lembut. "Panda! Aisyah pasti suka!"Lintang mengambil boneka itu, m
Bunyi dering telepon memecah keheningan Minggu pagi di apartemen Lintang. Ia melirik layar ponsel, mengerutkan dahi. "Papa?" gumamnya, sedikit heran. Ayahnya jarang menelepon sepagi ini."Halo, Pa?" Lintang menjawab, sambil berjalan ke dapur untuk membuat kopi."Lintang, kamu di mana?" suara ayahnya terdengar tegang.Lintang mengernyit. "Di apartemen, Pa. Kenapa? Ada apa?"Terdengar helaan napas panjang. "Nggak. Nggak apa-apa. Papa kira kamu... lupa.""Lupa?" Lintang bingung. Tapi kemudian ia tersadar. "Astaga! Makan siang keluarga! Pa, maaf banget, akuβ""Udah, nggak apa-apa," potong ayahnya, tapi Lintang bisa mendengar kekecewaan dalam suaranya. "Kamu sibuk, Papa ngerti."Lintang menutup wajahnya. Makan siang keluarga. Tradisi bulanan yang sudah mereka jalankan sejak ibunya meninggal tiga tahun lalu. Bagaimana ia bisa lupa?"Pa, aku ke sana sekarang ya? Satu jam lagi akuβ""Nggak usah," ayahnya memotong lagi. "Papa sama Kak Dimas udah mau keluar. Lain kali aja."Telepon ditutup. Lin