Share

Bab 5 Kafe yang Sama, Hari yang Berbeda

Musim hujan di Jakarta selalu membuat jalanan macet luar biasa. Lintang menggerutu di balik kemudi, melirik jam di dashboard mobilnya. 10:05. Ia sudah terlambat lima menit dari waktu yang dijanjikan.

"Sial," gumamnya, mengirim pesan cepat ke Arya.

"Lintang: Macet parah. Mungkin telat 15-20 menit. Maaf! 😖"

Balasan datang hampir seketika.

"Arya: Tidak apa-apa. Hati-hati menyetirnya. Aku dan Kayla menunggu di kafe."

Lintang tersenyum. Dua minggu sejak 'makan malam keluarga' pertama mereka, dan entah bagaimana, Arya dan Kayla sudah menjadi bagian rutin dari hidupnya. Setiap Selasa dan Kamis, mereka bertemu di kafe yang sama. Kadang hanya Lintang dan Arya, kadang bertiga dengan Kayla.

20 menit kemudian, Lintang akhirnya tiba di kafe. Rambutnya sedikit lembap karena hujan, blazernya ia lampirkan di lengan. Matanya langsung mencari sosok familiar di sudut kafe.

Di sana, di meja favorit mereka dekat jendela, duduk Arya dan Kayla. Arya sedang membantu Kayla dengan PR matematikanya, sementara gadis kecil itu mengerucutkan bibir dengan pensil tergenggam erat.

"Maaf terlambat," Lintang menghampiri mereka. "Macetnya gila."

"Tante Lintang!" Kayla melompat dari kursinya, memeluk pinggang Lintang erat. "Tante bau hujan!"

Lintang tertawa, mengacak rambut Kayla. "Iya dong, tadi Tante kehujanan sedikit."

Arya berdiri, matanya menyapu Lintang dari atas ke bawah dengan tatapan khawatir. "Kamu tidak apa-apa? Tidak masuk angin?"

"Tenang, aku baik-baik saja," Lintang meyakinkan, tapi hatinya menghangat melihat perhatian Arya. "Jadi, apa yang sedang kalian kerjakan?"

"PR matematika," Kayla cemberut. "Susah, Tante!"

"Coba Tante lihat," Lintang duduk, mendekatkan kertas PR Kayla. Soal perkalian dan pembagian dasar. "Oh, ini gampang kok. Mau Tante ajari trik?"

Mata Kayla berbinar. "Mau!"

Selama setengah jam berikutnya, Lintang dengan sabar mengajari Kayla. Arya memperhatikan mereka, senyum lembut tersungging di bibirnya. Sesekali, mata mereka bertemu, dan Lintang merasa jantungnya berdebar lebih cepat.

"Nah, selesai!" Kayla berseru gembira, memamerkan kertas PR-nya yang penuh dengan coretan dan lingkaran.

"Pintar!" Lintang mengacungkan jempol. "Nanti kalau dapat nilai bagus, kita rayakan ya."

"Es krim?" Kayla bertanya penuh harap.

"Tentu," Arya menyela, mengedipkan mata pada Lintang. "Tapi sekarang, bagaimana kalau kita pesan makanan? Tante Lintang pasti lapar setelah mengajar matematika."

Mereka memesan sandwich dan jus untuk Kayla, kopi dan pastry untuk orang dewasa. Selama makan, Kayla berceloteh tentang sekolahnya, tentang Lia yang sekarang jadi temannya ("Dia minta maaf sudah bilang aku aneh, Pa!"), dan tentang pertunjukan seni bulan depan di mana ia akan menari.

"Tante Lintang harus datang!" Kayla berseru.

Lintang tersedak kopinya. Ia melirik Arya, yang menatapnya dengan alis terangkat, seolah menantang.

"Umm, kita lihat nanti ya, sayang," Lintang menjawab ragu. "Tante kan sibuk..."

"Tapi kamu datang ke kafe ini dua kali seminggu," Arya menyela lembut. "Kurasa kamu bisa meluangkan satu malam untuk Kayla, kan?"

Lintang terdiam. Ya, kenapa ia ragu? Bukankah minggu-minggu belakangan ini ia memang meluangkan waktu untuk mereka? Tapi ini berbeda. Menonton pertunjukan Kayla... itu terasa seperti melangkah ke level yang lebih dalam. Lebih... keluarga.

"Tentu, Kayla," akhirnya Lintang menjawab. "Tante pasti datang."

Senyum lebar Kayla membuatnya lupa akan keraguannya.

Setelah makan, Kayla sibuk dengan buku gambarnya. Lintang dan Arya berbicara pelan, membahas pekerjaan dan hal-hal ringan lainnya. Tapi ada sesuatu yang mengganggu Lintang.

"Arya," ia memulai ragu. "Apa tidak apa-apa? Maksudku... aku dan Kayla... aku tidak mau dia bingung."

Arya menatapnya lama. "Maksudmu, kau takut dia menganggap mu sebagai... pengganti ibunya?"

Lintang mengangguk, tenggorokannya terasa kering.

Arya menghela nafas. "Lintang, aku sudah memikirkan ini. Hubungan kita memang... rumit. Tapi aku tidak pernah berbohong pada Kayla. Dia tahu kau temanku, teman spesial. Dan dia menyukaimu apa adanya."

"Tapi bagaimana kalau suatu hari..." Lintang tidak menyelesaikan kalimatnya. Bagaimana kalau suatu hari mereka putus? Bagaimana kalau Kayla terlanjur terikat padanya?

Seolah membaca pikirannya, Arya mengulurkan tangan, menggenggam tangan Lintang di atas meja. "Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku tahu, setiap momen yang Kayla habiskan denganmu adalah momen berharga. Kau memberinya perhatian, kasih sayang. Itu tidak pernah salah."

Lintang menatap tangan mereka yang bertautan. Tangan Arya besar dan kasar, penuh garis-garis kehidupan. Tangannya sendiri lebih kecil, lembut tapi dengan kapalan kecil di jari telunjuk dan ibu jari—hasil dari jam-jam mengetik.

"Oke," akhirnya Lintang mengangguk. "Aku akan ada di baris depan saat pertunjukan Kayla."

Senyum Arya melebar, dan untuk sesaat, Lintang lupa cara bernafas.

"Ini dia, pesanan yang benar!" barista rambut hijau datang, meletakkan nampan dengan latte dingin dan cheesecake. "Sekali lagi maaf, ya. Ini ada tambahan croissant sebagai permintaan maaf."

"Terima kasih," Lintang tersenyum. Mungkin, pikirnya, kesalahan kecil seperti pesanan tertukar tidak selalu buruk. Terkadang, hal-hal kecil yang tidak direncanakan bisa membawa pada sesuatu yang luar biasa.

Seperti saat ini. Di kafe yang sama tempat mereka pertama bertemu, di hari yang berbeda, dengan perasaan yang terus berkembang. Lintang tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi saat ia melihat Arya membantu Kayla mewarnai, ia sadar. Apa pun yang terjadi, saat-saat seperti ini, saat-saat kecil penuh kehangatan, akan selalu ia hargai.

Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah awal dari sesuatu yang jauh lebih besar, jauh lebih indah, dari yang pernah ia bayangkan.

(◕‿◕)

Waktu berlalu dengan cepat di kafe itu. Sebelum Lintang sadari, jam di dinding sudah menunjukkan pukul 11:30. Ia tersentak.

"Astaga, aku harus kembali ke kantor!" Lintang buru-buru membereskan barangnya. "Ada rapat strategi jam 12."

"Rapat apa?" tanya Arya, membantu Kayla membereskan alat gambarnya.

"Strategi marketing untuk kuartal depan," Lintang menjelaskan sambil mengenakan blazernya. "Sebagai manajer baru, mereka ingin aku yang memimpin."

Arya mengangguk paham. "Kau pasti gugup."

"Sedikit," Lintang mengakui. "Tapi lebih banyak bersemangat. Aku punya banyak ide untuk revitalisasi brand."

"Tante Lintang pasti bisa!" Kayla berseru, mengacungkan kedua jempolnya. "Tante kan pintar, seperti Papa!"

Lintang tertegun. Ia menatap Kayla, lalu Arya yang tersenyum bangga pada putrinya. Rasa hangat menyebar di dadanya. Dukungan sederhana dari gadis kecil ini entah mengapa terasa lebih berarti daripada pujian dari para eksekutif.

"Terima kasih, sayang," Lintang berlutut, memeluk Kayla. "Doanya ya."

"Mau ku antar ke kantor?" tawar Arya. "Mobilku di parkiran depan."

Lintang menggeleng. "Tidak usah, aku bawa mobil. Tapi terima kasih."

Mereka berjalan keluar kafe bersama. Di trotoar, Lintang berhenti dan berbalik menghadap Arya dan Kayla. Entah mengapa, ia merasa berat berpisah, meski hanya untuk beberapa jam.

"Nah," Arya memulai, satu tangan di bahu Kayla, "selamat berjuang di rapat. Tunjukkan pada mereka kenapa kau layak jadi manajer termuda."

"Akan ku usahakan," Lintang tersenyum. Ia sudah akan berbalik saat Kayla menarik tangannya.

"Tante," gadis kecil itu berkata serius, "kalau rapatnya sukses, nanti kita rayakan lagi ya. Tapi kali ini Tante yang masak di rumah kami. Tante bisa masak kan?"

Lintang tertawa kecil, teringat malam beberapa hari lalu saat ia datang ke rumah Arya membawa bahan-bahan untuk membuat pasta. Malam yang diisi dengan tawa Kayla saat mencoba memotong tomat, celotehan Arya tentang klien-kliennya yang unik, dan perasaan hangat yang menyeruak di dada Lintang saat ia menyadari betapa nyamannya mereka bertiga bersama.

"Bisa dong," Lintang mengedipkan mata. "Pasta lagi?"

"Jangan!" Kayla mengerucutkan bibir. "Aku mau yang lain. Papa, aku mau apa ya?"

Arya tampak berpikir sejenak, matanya menatap Lintang dengan senyum jahil. "Hmm, bagaimana kalau nasi goreng? Tante Lintang pernah cerita dia bisa buat nasi goreng enak."

Lintang tersipu. Itu cerita yang ia bagi saat mereka makan siang berdua minggu lalu, saat Kayla di sekolah. Ia tidak menyangka Arya masih mengingatnya.

"Oke, nasi goreng!" Kayla berseru gembira. "Tapi Papa yang goreng telurnya ya. Papa jago bikin telur mata sapi!"

Melihat interaksi ayah-anak ini, Lintang merasa sesuatu dalam dirinya bergeser. Sebuah dinding yang tidak ia sadari ada, perlahan runtuh. Dinding yang ia bangun untuk melindungi diri dari emosi, dari keterlibatan yang terlalu dalam. Dinding yang memberinya fokus pada karir, tapi juga membuatnya kesepian.

"Baiklah," Lintang berkata lembut. "Kita buat kesepakatan. Kalau rapat siang ini sukses, aku akan buat nasi goreng terenak yang pernah kalian makan. Dan Arya, kau tanggung jawab atas telur mata sapinya."

"Deal!" Kayla menjabat tangan Lintang dengan semangat, membuat kedua orang dewasa tertawa.

"Tante Lintang," Kayla berkata lagi, matanya berbinar, "aku senang kita bisa main lagi. Aku suka main sama Tante."

Kata-kata polos itu menghantam Lintang dengan kekuatan yang tak terduga. Ia berlutut, memeluk Kayla erat. "Tante juga suka main sama kamu, Kayla," bisiknya, mati-matian menahan air mata.

Saat Lintang berdiri, ia melihat Arya menatapnya dengan tatapan yang membuat napasnya tercekat. Bukan kasihan atau simpati, tapi pengertian. Seolah ia tahu betapa kata-kata Kayla telah mengguncang Lintang sampai ke inti.

"Hati-hati di jalan," Arya berkata pelan, tangannya menyentuh siku Lintang sekilas. "Kirim pesan kalau sudah sampai kantor, ya."

Lintang hanya bisa mengangguk. Ia berbalik dan berjalan cepat ke arah mobilnya, detak jantungnya masih tidak karuan.

Di dalam mobil, Lintang bersandar pada setir, memejamkan mata. Apa yang terjadi padanya? Sejak kapan ia, Lintang si wanita karir ambisius, jadi begitu terikat pada seorang duda dan putrinya?

Tapi saat ia membuka mata dan melihat bungkusan croissant di jok penumpang, Lintang sadar bahwa mungkin, inilah yang selama ini ia butuhkan. Bukan hanya kesuksesan karir, tapi juga kehangatan keluarga. Kebahagiaan sederhana dari bermain dengan seorang anak, memasak bersama, dan tatapan lembut seorang pria yang mulai ia percayai.

Lintang menyalakan mesin mobil, tekad baru membara dalam dirinya. Ia akan memenangkan rapat ini. Bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk dua orang yang menunggunya dengan janji nasi goreng dan telur mata sapi.

Karena di kafe yang sama hari ini, Lintang menyadari sesuatu. Bahwa kadang-kadang, kebahagiaan datang dalam bentuk yang tidak terduga. Dalam bentuk seorang ayah tunggal yang cerdas dan lembut, dan seorang gadis kecil yang cerianya menular.

Dan mungkin, hanya mungkin, inilah awal dari kisah cinta yang tidak pernah ia bayangkan akan ia miliki. Kisah yang dimulai dengan pesanan kopi yang tertukar di kafe yang sama, tapi di hari yang sangat berbeda.

(◕‿◕)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status