Jingga tertegun, matanya berkaca-kaca penuh haru. Davin yang melihat mata wanita itu langsung terkejut. “Sayang, kenapa? Apa ucapanku barusan menyakitimu?” tanya Davin tanpa menyembunyikan kepanikannya. Jingga menggeleng, ia menggenggam tangan Davin yang menyentuh pipinya. “Nggak. Sama sekali nggak,” sanggahnya cepat. “Aku... terharu mendengar rencana kamu buat Oliver, Dave.” Helaan napas Davin terdengar lega. “Aku kira ada yang salah dengan ucapanku,” ujarnya seraya menggenggam balik tangan Jingga. Ia memandangi wanita itu lamat-lamat. “Jadi? Kamu setuju mengenai rencanaku?” “Mm-hm.” Jingga mengangguk. “Aku setuju.” Kedua sudut bibir Davin terangkat tinggi. “Terima kasih,” ucapnya, karena Jingga sudah setuju dengan rencananya. “Ngomong-ngomong, kamu ingin konsep pesta seperti apa?” “Em... untuk saat ini aku belum punya gambaran, sih. Boleh aku cari referensi dulu?” “Tentu.” Davin mengangguk seraya mengerjap pelan. “Kalau sudah ketemu, beritahu aku untuk berdiskusi. Aku
“Dave, aku sudah punya konsep untuk pesta ulang tahun Oliver!” seru Jingga dengan mata berbinar-binar. Davin menaruh gelas kosong di meja, ia berbalik, menatap istrinya yang berjalan cepat menghampiri sambil memeluk iPad. “Pagi-pagi nggak mau menyapaku dulu, gitu?” Davin mendaratkan kedua telapak tangannya di pinggang Jingga yang ramping. Lalu menunduk hendak mencium bibirnya, tapi dengan cepat Jingga meraup wajah Davin dan melirik pada Arum yang sedang mencuci piring. “Lihat-lihat tempat dulu kalau mau melakukan sesuatu,” gumam Jingga dengan bibir sedikit manyun. “Tapi aku nggak bisa melihat hal lain kalau ada kamu. Semuanya jadi buram selain kamu.” Mata Jingga merotasi menanggapi gombalan Davin yang diucapkan dalam ekspresi datar itu. “Aku sudah punya konsep pestanya. Mau dengar atau nggak?” Jingga mengalihkan pembahasan mereka ke topik awal. Davin mengangguk. “Tentu saja. Keinginanmu adalah perintah bagiku, Sayang.” Ia tersenyum dan mengikuti Jingga yang duduk di meja
Pria berpenampilan rapi itu tersenyum manis. “Selamat pagi,” sapanya, “maaf, pagi-pagi membuatmu terkejut dengan kedatanganku yang tiba-tiba.” “Aku memang kaget kedatangan tamu yang nggak disangka-sangka.” Jingga menjawab jujur seraya terkekeh kecil. Ini kunjungan pertama Kalil ke rumah Davin dan itu sangat mengejutkannya. Ia berpikir, pasti ada sesuatu yang penting yang ingin Kalil bicarakan dengannya. “Em... kalau begitu, ayo masuk.” “Terima kasih.” Kalil mengikuti langkah kaki Jingga menuju ruang tamu. “Tadinya aku ingin mengajakmu bertemu di luar, tapi aku rasa itu kurang sopan.” “Sejak aku resign dari Madava Studio, sepertinya kamu sama sekali belum mentraktirku makan di luar.” Jingga menoleh, pura-pura cemberut, yang membuat Kalil tersenyum. “Maaf. Aku yakin, suamimu nggak akan menyukai ide itu.” Kalil terkekeh-kekeh."Iya, kamu benar." Jingga mengangguk membenarkan, sambil tertawa kecil.Jingga memang sudah berhenti bekerja dari Madhava Studio sejak akhir bulan Januari lalu
Jingga berjalan seraya mengikat rambut panjangnya ala ponytail. Langkah kakinya seketika terhenti di tengah-tengah ruangan, saat ia mendengar suara presenter berita di televisi menyebut-nyebut nama Chelsea dan Emran. Jingga menurunkan kedua tangan dari kepalanya, meraih remote di meja, membesarkan volume. Ia terpaku menatap Chelsea dan Emran yang digiring polisi ke dalam mobil tahanan, dan mereka dikerubungi wartawan. Seragam orange yang dikenakan sepasang ayah dan anak itu, membuat wibawa mereka hilang dalam sekejap. Wajah kuyu, mulut bungkam, kepala tertunduk. Emran, orang yang cukup berkuasa itu kini tampak tak berdaya, harga dirinya terinjak-injak. Begitu pula Chelsea, wajah cantik dan mulusnya kini dipenuhi lebam. Ia dan sang ayah menjadi topik hangat yang dibicarakan dalam seluruh media pagi ini. Keduanya kini dikenal sebagai sepasang ayah dan anak pembunuh. Perusahaan Emran pun terancam hancur. Orang-orang pergi meninggalkannya akibat kasus tersebut. “Semuanya berawal d
“Hm. Bagi aku juga begitu.” Jingga tersenyum manis, hatinya sedang merasa bahagia, jadi ia tak berpikir dua kali saat ia berjinjit lalu mengecup bibir Davin sesaat. “Terima kasih, ya. Oliver pasti bahagia.” Davin mengerjap. Ia menatap Oliver yang masih terlelap nyaman, lalu melihat angka di atas tombol panel yang terus berubah. Restoran yang mereka tuju ada di lantai sebelas. “Jangan memancingku di tempat seperti ini, Sayang,” ucap Davin seraya menundukkan kepala ke arah Jingga. “Karena aku nggak bisa menahan diri kalau itu sesuatu yang berhubungan dengan kamu.” Jingga mengerjapkan matanya berkali-kali, ia mundur dengan waspada. “Dave, jangan berpikir mau menciumku di sini. Ini tempat umum, oke? Kamu bisa melakukannya di—“ Jingga menghela napas pasrah karena ia terlambat menghindari Davin. Bibir pria itu bergerak lembut di atas bibirnya. Jingga tak bisa menahan jantungnya untuk tidak berdebar-debar kencang. Pada akhirnya Jingga terbuai, ia memilih untuk memejamkan mata dan mem
Davin William: Sayang, aku tunggu di kantor jam 12 ya. Kita makan siang bersama di sini. Aku sudah pesan makanan untuk kita. Wife: Astaga. Kenapa baru bilang sekarang? Aku belum ngapa-ngapain ini. Davin William: Masih ada waktu satu jam, Sayang. Jangan terburu-buru. Wife: Baiklah... aku mandi dulu deh. Oliver bawa? Davin William: Iya, bawa. Aku rindu kalian berdua. Wife: ckck gombal teruus. Davin William: Ini bukan gombal, ya. Aku serius. Tadinya aku mau pulang, tapi pekerjaanku belum bisa ditinggal. Wife: Oke, oke. Tunggu kalau begitu. Aku siap-siap dulu. Davin William: Iya. I love you, Sayang. Wife: Love you too. Senyuman Davin mengembang semakin lebar saat Jingga mengirim pesan terakhir itu yang dibubuhi emoticon hati berwarna merah dan ciuman, di akhir kalimat. Menaruh ponsel ke meja, Davin lantas menekan interkom di sebelahnya dan langsung terhubung dengan Mia. “Mia, makan siang yang saya pesan sudah sampai mana?” “Sedang diantar kemari, Pak. Kemungkinan
“Apa... ibuku yang memintamu datang ke sini?” Rachel mengerutkan kening, lalu tertawa renyah sambil menggeleng. “Aku kebetulan sedang menemani ibuku ke acara ini, lalu tanpa sengaja kami bertemu Tante Lucy,” ujarnya seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. “Kami mengobrol cukup banyak tadi, dan Tante Lucy juga sempat membahas kamu.” Sial. Davin menggeram dalam hati. Ibunya berhasil menjebaknya datang kemari dan mempertemukannya dengan wanita ini. Ya, Davin yakin sekali, ibunya benar-benar berniat menjodohkannya dengan wanita lain. “Lalu di mana ibuku sekarang?” tanya Davin seraya melihat ke sekeliling restoran sekali lagi. “Tante Lucy sudah pulang, tadi sepertinya dia buru-buru sekali. Kalau Mama aku, dia lagi ada pertemuan sama teman-temannya di lantai atas,” ujar Rachel, lalu ia menunjuk ke arah meja yang terletak tak jauh dari mereka. “Kita minum dulu di sana? Bagaimana?” “Maaf.” Davin melirik arloji seraya mengembuskan napas kasar. “Aku harus pulang sekarang. Terima k
“Light Gallery? Di sana lagi ada pameran, ‘kan?” “Mm-hm. Kamu mau lihat pamerannya?” Mata Jingga seketika berbinar-binar seraya menganggukkan kepala. “Iya, aku mau.” Davin tersenyum, ia tak sampai hati menghilangkan binar di mata istrinya. Jadi Davin memilih untuk tidak mengatakannya sekarang mengenai rencana Lucy. “Baiklah. Besok aku akan menemanimu ke sana.” “Terima kasih!” seru Jingga sambil tersenyum lebar dan mengecup hidung Davin, membuat pria itu seketika menegang. Jingga tertawa melihat ekspresi suaminya. “Sayang...,” panggil Davin dengan suara yang mendadak berat. “Jangan berpikir yang aneh-aneh.” Sekali lagi Jingga mengecup Davin, kali ini di bibirnya. Lalu turun dari pangkuannya. “Karena kita harus makan siang sekarang, perut aku sudah lapar. Dan yang paling penting, handphone kamu bunyi itu. Angkat dulu, deh.” Davin mengerjap. Ciuman Jingga membuat perhatiannya terserap habis pada wanita itu, hingga Davin baru sadar ponselnya berbunyi. Panggilan dari Lucy. Davin