Share

Bab3 Rencana Untukmu

Bab3 Sebuah Rencana

"Ini istri gue, Bro," ujar Mas Farel tersenyum bangga.

"Lho, bini Lo ganti atau Lo punya dua istri?" 

Deg!

Ya Tuhan, kenyataan apalagi ini? Sampai detik ini aku masih berharap apa yang aku lihat di rumah Tasya, itu hanya mimpi dan suamiku tetaplah lelaki setia yang aku kenal tapi sekarang, hatiku sungguh sakit, Ya Allah.

"Hahaha, becanda Lo Bro, bini satu aja gak habis-habis gimana mau punya istri dua. Belum siap gue polingami dan gak akan poligami sih," ucap Mas Farel memandang mesra kearahku.

"Eh tapi serius itu Ri," ujar Ali, tapi belum sempat melanjutkan ucapannya sudah di potong oleh Mas Farel.

"Ehh, ngomong-ngomong anak Lo berapa? Eh kita kan mau ngomongin bisniskan, kok malah ngomongin pribadi ya," ujar Mas Farel.

"Ouh, iya Bro, sorry. Oh ya nama istri kamu ini siapa?" 

"Oh iya, kenalin, ini istri Gue namanya, Ane." 

Lelaki itu ternyata bernama Ali dan Ali adalah teman dekat Mas Farel. Namun, kemudian jauh karena terpisahkan oleh jarak. Ali kuliah di luar negeri dan Mas Farel kuliah di sini. Sepanjang percakapan kami Ali tampak sering salah sebut nama dan mengucap nama "Ri" padaku namun kemudian Mas Farel buru-buru memotong ucapan Ali.

Hal ini membuat aku semakin yakin ada sesuatu yang disembunyikan oleh mereka berdua. Lalu apakah 'Ri' itu nama panggilan Riana? Dan memang benar Mas Farel memang sedang berbohong saat ini untuk menutupi kecurangannya?

Tunggu saja!

Setelah ini aku akan bertanya dan meminta pengakuan Mas Farel tentang apa dan kenapa dia membohongiku tentang statusnya, jika dia mengelak aku akan merencanakan sesuatu yang aku yakin dia pasti tak akan bisa mengelak lagi. Setelah berbicara panjang lebar kami pun pulang. 

"Mas, maksud Ali tadi apa? Kok dia selalu panggil aku, Ri?" tanyaku di dalam mobil.

Mas Farel melirikku sekilas lalu kembali fokus setir mobilnya, ekspresi mukanya juga datar tak ada reaksi apapun.

"Mantannya namanya Rina, dia susah melupakan mantannya itu, makanya sering salah sebut." 

"Rina atau Riana, Mas?" ujar menyindir. Sungguh hatiku perih bagai teriris-iris saat menyebut nama itu.

"Rina, kalau Rianakan pesulap." 

Biasanya aku suka jika Mas Farel membahas tentang Riana si pesulap seram itu, entah kenapa aku begitu ngefans padanya, tapi hari ini aku tak berminat sama sekali untuk membahasnya. Pikiranku tetap terfukus pada ucapan-ucapan mencurigakan Ali.

Aku tak membahas apa-apa lagi, walau di kepala ada berjuta pertanyaan yang ingin kutanyakan pada Mas Farel. Tentang foto itu, tentang pengakuan Mbak Riana, tentang Tasya tapi entah bibirku kelu, aku masih belum siap menghadapi kenyataan jika semua itu benar adanya. 

****

"Sayang, Mas kangen nih," ujar Mas Farel mengelus lenganku saat kami mau tidur.

Aku cukup paham dengan keinginan Mas Farel, tiga tahun menikah membuatku hapal di mana saat suamiku menginginkan nafkah batin dariku. Namun, entah kenapa aku tak  begitu  bergairah  malam ini.

Jika malam-malam sebelumnya aku cukup lincah di ranjang, malam ini aku biarkan saja Mas Farel yang dominan.

Kalau saja aku tak ingat dosa seperti apa jika seorang istri menolak suami yang menginginkan nafkah batin dan bahkan katanya sampai pintu surga juga akan tertutup baginya, aku sudah tentu menolak melayaninya malam ini.

Sebuah kecupan lembut mendarat di pipiku setelah percintaan kami. Namun, entahlah bagiku rasanya tetap hambar. Aku tidur dalam gelisan membayangkan Tasya dan Riana, saat ini mereka pasti merindukan Mas Farel. Tapi aku malah begitu egoisnya memeluk Mas Farel di sini.

"Sayang, kok kamu belum tidur?" 

Jantungku hampir lompat mendengar suara itu, ternyata Mas Farel belum tidur dan memperhatikan aku, sepertinya dari tadi.

Mas Farel melingkarkan lengannya di pinggangku dan menghirup wangi rambutku. Dulu aku merasa nyaman diperlakukan seperti ini tapi sekarang aku merasa risih. Ingin rasanya kudorong tubuh Mas Farel namun aku tak mampu.

"Ada apa Sayang? Mas minta maaf ya, kalau perhatian Mas kurang akhir-akhir ini, tapi hati Mas tak berubah kok sayang." 

Aku mendesah perlahan, ingin kembali bertanya tapi lagi-lagi lidahku keluh untuk membuka suara.

***

"Pertemukan saja mereka, lihat reaksi Farel sepeti apa," ucap Arin sahabatku lewat telpon. Tak tahan memendam sendirian aku memutuskan untuk bercerita pada Arin tentang masalahku.

"Maksudnya?" 

"Coba saja undang ke rumah, ajak makan atau apa gitu, kamukan dekat dengan mereka. Jika mereka bertemu pasti Farel tak akan mengelak lagi," ujar Arin.

Aku akhirnya menyetujui saran Arin, jika Mbak Riana masih tak sehat aku akan membujuk Mas Farel untuk menemaniku ke rumah Mbak Riana dengan alasan untuk menjenguknya, dengan begitu akan kelihatan siapa yang bohong dan siapa yang enggak.

***

Sore harinya aku mengajar di bimba seperti biasa. Aku tersenyum saat melihat Tasya dan Mbak Riana, walaupun masih sedikit pucat tapi dia tampak jauh lebih sehat. Mbak Riana tersenyum melihatku sementara aku, ada rasa perih didada ini.

"Apa kabar Mbak, sudah sehat?" tanyaku pada Mbak Riana.

"Alhamdulilah Mbak, sudah jauh lebih baik," jawabnya.

"Syukurlah, Tasya pasti senang," jawabku.

"Oya Mbak, nanti malam ada syukuran kecil-kecilan dirumah, Mbak Ane datang ya. Ajak suami Mbak Ane juga!" 

Aku terhenyak, apa ini yang dikatakan takdir, aku yang ingin mengundang tapi malah dia yang mengundang duluan untuk datang.

***

Di rumah saat bersama Mas Farel.

"Ada wali murid ngundang kita untuk acara syukuran di rumahnya," ujarku saat sampai dirumah.

Mas Farel tersenyum, "ok Sayang. Kalau gitu aku mandi dulu ya." 

Aku sengaja tak mengatakan siapa yang mengundang untuk mengantisipasi kalau Mas Farel tak mau ikut jika tahu siapa yang mengundang kami.

Semua harus selesai malam ini, aku bahkan sudah memantapkan hati dan perasaannku untuk apapun yang terjadi nanti. Jika memang aku adalah istri kedua aku akan mundur, hanya orang tak punya hati saja yang mau merusak rumah tangga orang yang bahkan nyawanyapun sudah ada di ubun-ubun.

Aku hanya berharap agar kesehatan Mbak Riana tetap baik-baik saja setelah ini.  Maaf Mbak tapi aku tak ada jalan lain. Wajah Mas Farel sedikit menegang begitu sampai di rumah Mbak Riana, walaupun dia berusaha tenang tapi aku dapat menangkap ekspresi gelisahnya.

"Ayo Mas turun, kok malah bengong," ujarku saat Mas Farel yang lama tak turun dari mobil.

"Iya," jawab Mas Farel gugup. Namun kemudian segera membuka pintu mobil untuk keluar dari mobil.

"Papa!" 

Tasya berlari memeluk Mas Farel saat kami baru saja turun dari mobil. Wajah Mas Farel berubah pias dan tegang saat Tasya memeluknya erat. Rasakan kamu Mas, kamu gak akan bisa menghindar kali ini!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status