Bab 18 Cintai musuhmuKeesokan paginya, sebelum ke Joli Flower, Bening mengajak Ajeng bertemu. Muka wanita itu keruh dan tampak lingkaran hitam yang mewarnai wajahnya.“Kakak terima kamu bekerja di Joli Flower dan membayar gaji di muka, sesuai keinginanmu, tapi dengan syarat. Tolong nasehati Mas Ibra supaya dia tidak mengganggu hidup Kakak dan Evan lagi. Satu lagi, tolong bujuk dia untuk segera menyegerakan menerima perceraian. Kakak tidak mau digantung terlalu lama.” Bening mengamati wajah Ajeng yang tegang.Gadis muda di hadapannya kelihatan berpikir. Lama ia terdiam.“Bagaimana, apakah kamu sanggup?” tanya Bening tegas. Ia tahu menerima Ajeng sebagai karyawan seperti buah simalakama. Diterima salah, gak diterima ia khawatir, Ibra makin menekannya.Bening berpikir, Ibra bisa melembut setelah Ajeng bekerja dengannya, dan ia lebih memilih menerima adik iparnya itu sebagai tameng melindungi diri dari keganasan Ibra.“Baik, Kak. Ajeng terima,” jawab Ajeng gugup, meskipun ia tidak tahu b
Bab 19 Tak seindah impian“Jeng Sri, ngapain kita ke sini,” ulang Herni cemas.“Kita mau bersenang – senang bersama teman Om Ha. Dia lebih royal dari Om Ha. Nanti Jeng Herni minta apa saja, pasti dikabulkan” Hidung Sri kembang kempis saat mengatakannya. “Jeng Herni suka uang kan? Nanti uangnya bisa ditabung atau buat senang – senang. Biar gak usah minta dan ngemis – ngemis sama anak. Bener kan, Om Ha?”“Iya, Ibu Herni bisa membeli dan membelanjakan uang semaunya tanpa takut.” Pria berkepala lonjong itu melirik Herni yang duduk di belakang dengan tatapan penuh arti.“Iya, tapi kenapa harus ke hotel?” Herni semakin khawatir. Saat Om Ha membuka pintu mobil.“Nanti Jeng Herni tahu. Kita cuma disuruh mengerjakan apa yang mereka mau, dan itu gampang sekali pekerjaannya. Ndak usah banyak tanya, ayo masuk.” Sri menggandeng tangan Herni dan mengajak masuk ke dalam hotel mengikuti Om Ha yang berjalan terlebih dahulu.Herni tak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya, ketika mereka melewati lobi ho
Bab 20 Rayuan setan Semakin Herni berontak, lelaki itu semakin beringas memuaskan dahaganya. Sedangkan Herni hanya bisa menangis, tanpa berani melawan. Inikah yang disebut Sri ada lelaki yang mau memberinya uang? Inikah yang disebut Sri, pekerjaannya gampang? Wanita itu baru sadar, Sri telah tega menjual dirinya pada lelaki hidung belang. Air mata deras membanjiri pipinya, dan ia merasa dirinya kotor. Ia berlari ke kamar mandi, dan berkali – kali mencuci area intimnya. Sayangnya, perbuatan itu membuat dirinya merasa makin kotor dan bodoh. Herni menyandarkan dirinya ke dinding kamar mandi dengan rasa sesal menggunung. Ketakutan menghantui dirinya. Bagaimana jika anak – anaknya tahu? Saat itu juga dirinya ingin lenyap dari muka bumi. Lelaki itu mengetuk pintu. “Cepatlah, aku mau mandi.” Herni keluar kamar mandi dengan muka lesu dan mata sembab. Dia melewati lelaki itu tanpa bicara lalu memakai pakaiannya. “Uangnya sudah kutaruh di atas kasur, kapan kita bisa bertemu lagi?” teriak
Bab 22 Penguntit Bening memperhatikan Ajeng yang lebih banyak melamun. “Apakah tugas yang Kakak berikan terlalu berat?” tanyanya suatu sore yang lembab. Ajeng menggeleng. “Tidak, Kak, hanya saja aku belum bisa merayu Mas Ibra?” keluhnya pelan. Menutupi kegelisahan hatinya memikirkan ibunya yang belum pulang dari semalam. Bening tersenyum tipis. “Setidaknya kamu sudah berusaha,” ucap Bening menenangkan. Dia cukup puas dengan kinerja Ajeng, dan hendak memberikan bonus untuknya. Ia lalu duduk di kursi miliknya, memeriksa email. “Oh, ya, apa ada pesan menarik yang mau kamu bagikan dari media sosial?” Semenjak Ajeng turut bergabung dengan Joli Flower, ia memiliki meja sendiri. di pojok ruang. Sehingga ia nyaman melakukan pekerjaannya. Di seberang, Ajeng tersedak, lalu terbatuk – batuk. Trik jitu agar tidak menjawab pertanyaan Bening. Beberapa hari ini, dirinya menerima pesan masuk yang isinya kata – kata tak senonoh tentang Bening dan Joli Flower, dan ia berulang kali menghapus pesan
Bab 23 Dia yang cemburu Perlahan Kama menjalankan mobilnya membelah jalan raya. Mata lelaki itu tegang dan waspada melihat kaca spion. Mobil itu masih mengikutinya. “Ayo kita lihat siapa yang paling lihai di sini,” gumam lelaki itu pelan, sembari terus awas mengawasi keca spion. Sebelum lampu merah, dia menancap gas, kemudian dengan lihai ia berbelok ke kiri lalu berputar melewati jalan tikus yang tembus ke jalan utama yang sepi. Tak berselang lama, ponsel Kama berdering. Pria itu mengangkatnya. “Oke, terima kasih.” Senyum lelaki itu menyeringai setelah mendapat informasi dari sekretarisnya. “Jadi kamu mau menguntitku. Silahkan saja dan tunjukkan sampai di mana keberanian kamu,” gumamnya. Kening Kama tampak berkerut, kelihatan sekali ia berpikir keras mengatur strategi. Setibanya di ujung jalan, dia sengaja berhenti, sedangkan matanya awas memperhatikan jalan. Selanjutnya setelah melihat mobil hitam itu melintas di depannya, Kama langsung tancap tas mengejar mobil itu. Setelah mo
Bab 21 Ketahuan “Ma, Papa tahu, tapi kita tidak memaksa Bening menyewa pengacara untuk menyelesaikan masalah. Kamu tahu sifat anakmu bagaimana. Semakin kamu tekan, Bening akan menjauh. Buktinya dia tidak bercerita kenapa dia mengajak Ajeng bekerja bersamanya. Coba Mama sekarang tanya Atun, dia tiap hari bersama Bening.” Iswati menoleh pada Atun yang duduk di sampingnya. “Tun, coba ceritakan pada kami apa yang kamu tahu.” Atun serba salah, dan dia menceritakan sebatas yang dia tahu. Iswati yang mendengarnya tercengang. Selama ini Bening tidak pernah menceritakan masalahnya di rumah. “Masak begitu, Mba Atun? Ibra benar – benar kejam dan dia manipulative. Apa yang harus kita lakukan, Pa?” “Kita awasi saja dia Ma, tapi jangan terlalu frontal, supaya Bening tidak jengah.” Sesampainya di Mall dan mau naik elevator, mata Iswati tertumbuk pada sepasang pasangan yang sedang makan dengan riang. Mereka tampak akrab. Buru – buru dia mengambil foto lalu mengirimkannya pada Ajeng. Dengan dad
Bab 24 Curiga “Ada apa? Kamu seperti melihat sesuatu yang mencurigakan,” tanya Kama ketika melihat kerutan di dahi Bening. Matanya cepat menyisir ke sekeliling, siapa tahu Ibra nekad membuntuti mereka. “Tidak ada apa – apa.” Sebenarnya Bening tadi melihat Herni - mertuanya bersama seorang pria muda, masuk ke tempat penjual lalapan yang mau mereka tuju. Masalahnya ia terlalu malas untuk sekedar menyapanya. Wanita itu lalu melemparkan pandangan pada deretan penjual lapak yang berderet rapi di sepanjang jalan Hang Tuah. Tempat ini seperti pusat kuliner, dan menjadi tempat murah meriah untuk nongkrong bersama keluarga, karena menjual aneka makanan dan minuman. Pembeli tinggal memilih sesuai dengan budget masing – masing. “Bagaimana kalau kita makan di situ saja.” Bening menunjuk Lalapan Pak Shodiq yang posisinya menyempil, tertutupi oleh penjual bubur ayam. “Kamu yakin?” tanya Kama. Dibandingkan dengan tempat lain Lalapan pak Shodiq sepi. “Yap! Siapa tahu, kita merupakan pelanggan p
Bab 25 Mulai kelihatan busuknya“Uang! Uang terus yang kamu pinta! Apa kamu tidak tahu, aku sedang capek!”Ibra mendengkus kesal dan melemparkan tubuhnya pada kursi di ruang tengah.Darah Intan mendidih, gelas minum yang dibawanya ia lemparkan ke lantai dan pecah seribu. “Bagaimana kamu tidak capek, setiap hari kamu kerjanya keluyuran, main slot dan nyabu. Cari kerja dong Mas, uang kita sudah habis.”Muka Ibra makin berkerut. Rahang kedua lelaki itu mengatup rapat. Matnya nanar menatap Intan yang semakin lama ia amati sikapnya makin menjengkelkan.“Aku keluyuran buat cari kerja. Bukan seperti kamu yang bisanya menghambur – hamburkan uang. Coba hitung, berapa banyak uang yang kukasih selama ini kepadamu. Semuanya habis tanpa sisa, bahkan uang hasil penjualan rumah Bening, sebagian besar kamu pakai. Sedangkan Ibu dan adikku tidak mendapatkan jatah sama sekali.”Intan tidak terima. “Hey! Jangan mengada – ada, mana hasil keluyuranmu itu! Terus, memangnya untuk perjalanan kita ke Eropa, te