Kama menelan saliva kelat, matanya melirik ke arah Arsha yang berjalan mendekat kemudian beralih pada nasi goreng yang sedang ia masak lalu kembali lagi pada Arsha dan detik berikutnya kembali memusatkan perhatian pada nasi goreng, terus saja begitu. Ia gugup.Mengumpat berkali-kali karena tadi malah mengijinkan Arsha memilih sendiri pakaian dari dalam lemarinya.Kamar Kalila terkunci, Kama tidak mengerti kenapa adiknya harus mengunci kamar padahal hanya dirinya dan pelayan yang masuk ke apartemen ini, itu pun sang pelayan tidak tinggal di sini, para pelayan hanya akan datang siang hari untuk membersihkan rumah dan mencuci pakaian.Kama jadi tidak bisa meminjam pakaian Kalila untuk Arsha, akhirnya Arsha memilih sendiri pakaian Kama yang nyaman untuk ia kenakan dan pilihan jatuh pada kemeja putih yang tampak kebesaran di tubuh mungilnya.Pasalnya baju dalam Arsha yang berwarna hitam tampak jelas menerawang menembus kemejanya.Dengan santai Arsha duduk di kursi tinggi meja bar, menopang
“Pagi Tuan Putri ... .” Langkah Arsha terhenti ketika mendengar sapaan seorang pria berbahasa Indonesia.Di ruang makan telah duduk Kama di ujung meja dan seorang pria yang menyapanya tadi duduk di samping sang Tuan rumah.Kedua bola mata mereka menatap Arsha membuat Arsha menengok ke kiri dan ke kanan kemudian ke belakang.Mencari orang yang dipanggil Tuan Putri oleh pria tersebut.Tidak mungkin dirinya, kan? Karena Tuan putri tidak akan memakai hotpan seperti yang ia kenakan pagi ini.Mesin cuci Kama sangat canggih bisa mencuci sekaligus mengeringkan pakaiannya dengan cepat sehingga pagi ini ia bisa memakai pakaiannya sendiri tanpa harus meminjam pakaian Kama lagi.Pria tersebut tergelak. “Lucu ya dia,” ucapnya kepada Kama.Kama tidak menanggapi, mengalihkan tatapannya pada roti sandwich yang dibuatkan pelayan“Hallo Arsha ... gue Fabian, yang hari ini akan menemani kemanapun lo pergi,” ujar pria tersebut seraya mengulurkan tangan.Arsha menarik kursi meja makan tepat di depan Fabi
Arsha membuka dus kecil berisi ponsel baru yang dibelikan Fabian, di dalamnya sudah ada provider yang dapat ia gunakan selama di Vietnam.Memasukan beberapa nomor keluarga dan sahabatnya untuk kemudian menghubungi mereka.Dalam sekali panggilan video, Arsha dapat menjangkau kedua orang tua bersama kedua Kakak kembarnya.Berturut-turut ke empat keluarganya menjawab panggilan Arsha. Hari sudah sore di Jakarta, Daddy dan kedua Kakak kembarnya tampak sedang berada dalam perjalanan pulang namun tidak dengan sang Mommy yang sedang sibuk di dapur, memasak untuk makan malam orang-orang tercinta.“Hai Caca sayang,” sapa Daddy.“Hallo sayang Mommy, udah makan?” Mommy selalu khawatir Arsha terlambat makan.“Betah enggak di sana, Ca?” Belum apa-apa Aarash sudah bertanya demikian.“Gimana Ca? Udah sampe mana naklukin gunung esnya?” Pertanyaan Aarav lebih parah.Wajah Arsha memberengut membuat kedua Kakak kembarnya tertawa.Tapi tidak berlangsung lama, raut wajah Caca berubah ceria tatkala melihat
Langkah Arsha terhenti ketika hendak memasuki ruang makan, seorang gadis cantik yang mirip dengan Kama sedang duduk menikmati sarapan pagi dengan gerakan anggun.“Itu pasti Kalila, kapan dia pulang?” gumam Arsha.Si gadis menoleh, menatap Arsha tanpa senyum kemudian mengembalikan tatapannya pada mangkuk sup yang sedari tadi ia tekuni.“Si dingin lainnya,” batin Arsha bicara.“Duh!” Arsha berseru, maju selangkah karena Kama menyenggolnya.“Jangan ngelamun depan pintu,” kata pria yang sudah lengkap dengan stelan jas dan wangi masculin yang menyeruak ke dalam indra penciuman Arsha.Bibir Arsha mencebik, perasaan ia tidak berdiri di depan pintu. Masih banyak ruang untuk Kama lewati tapi kenapa pria itu malah menyenggolnya.“Bilang aja pengen pegang-pegang,” tuduh Arsha di dalam hati.Langkahnya ia lanjutkan, menarik kursi di depan Kalila.“Pagi Mbak,” sapa Arsha sambil tersenyum.Kalila menggerakan bola matanya hingga bertemu dengan netra Arsha, lima detik kemudian ia tersenyum samar nyar
Kama melirik ponsel yang sedari tadi berdering, ia mengabaikannya karena nomor yang tertera pada layar adalah nomor tidak dikenal.“Jawab, Kama ...,” ujar Fabian yang saat itu sedang bersamanya membahas suatu proposal.Nufaira juga ada di sana mencatat beberapa hal penting.“Biarkan saja!” Pria itu kemudian kembali fokus pada deretan angka di layar Macbook.“Siapa tau penting,” kata Fabian yang merasa tertanggu.Akhirnya pada dering ketiga Kama berdecak kesal, tak urung tangannya terangkat hendak mematikan ponselnya namun kalah cepat dengan Fabian terlebih dahulu meraih ponsel tersebut.Hal seperti ini sudah sering terjadi, mengingat banyak wanita yang mengejar Kama.Fabian paling senang menjawab panggilan telepon dari nomor tidak di kenal pada ponsel Kama karena sudah dipastikan bila panggilan tersebut dari seorang wanita yang menyukai sahabatnya itu.Lalu Fabian akan berpura-pura menjadi Kama kemudian di akhir sambungan, ia mengaku jika dirinya bukan Kama dan berdusta bila nomor ter
Arsha terhentak ketika mendengar suara pintu terbuka, padahal baru saja ia berusaha terlelap mencoba menghilangkan kekecewaan karena Kama malah memilih meninggalkannya di sini sendiri.Seharusnya Arsha bisa belajar dari Liam dan tidak perlu berharap lagi pada seorang pria apalagi Kama bukan pria yang mencintainya.Akan tetapi hatinya selalu saja mengkhianati logika, mata Arsha melebar berharap seseorang yang mendorong pintu tersebut adalah Kama.Namun untuk yang kesekian kalinya ia harus dilanda kekecewaan karena ternyata yang masuk adalah seorang wanita memakai pakaian putih-putih.Wanita itu hendak memeriksa kondisinya, bertanya banyak hal mengenai apa yang dirasakan Arsha saat ini menggunakan bahasa Inggris yang dijawab malas-malasan olehnya.Wanita itu juga memberi tau apa yang boleh dan tidak boleh Arsha lakukan kemudian bertanya mengenai seseorang yang akan menemaninya selama ia di rawat.Arsha menggelengkan kepala lemah. “Aku sendirian, keluargaku di Indonesia ...,” Arsha melir
Rachel tersenyum menatap ponselnya, satu pesan masuk dari nomor tanpa nama yang terdapat foto Aarash pada profilnya.Arash : Selamat siang.Hanya dua kata itu namun entah mengapa hati Rachel rasanya seperti terbang melayang menuju Nirwana.Rachel : Siang Aarash.Disebrang sana, gantian Aarash yang tersenyum menatap dua kalimat yang dikirim Rachel. Aarash : Aku dapet nomor kamu dari Caca.Rachel : Oh gitu? Ada apa? Ada yang bisa aku bantu?Aarash : Kamu kok kaya mbak-mbak customer service di Bank.Rachel tergelak membaca kelakar Aarash, ia mengirim emoticon tertawa sambil mengeluarkan air mata.Aarash : Aku lagi ada di resto deket toko kue kamu.Rachel : Oh ya? Meeting?Aarash : Nope! Just lunch ... temenin aku makan siang, mau?” Rachel : Boleh.Aarash : Aku tunggu ya!Rachel : 10 menit.Aarash tersenyum lebar, semenjak Arsha ikut bersama Kama ke Vietnam, ia merasa sudah waktunya untuk maju selangkah melancarkan serangan pendekatan kepada Rachel.Pasalnya jika ada Arsha, ia khawatir
“Kama minta maaf, Om!” “Kalau anak saya meninggal, maaf sebanyak apapun tidak akan menghidupkannya lagi!” Akbi berseru kesal.Dari tempat duduknya Rendra sudah bersiap untuk membantu Kama namun sang istri cantik yang duduk tepat di sebelah berkali-kali mengusap dadanya.Rendra memang mengijinkan Akbi untuk memberi teguran kepada Kama, tidak bisa ia benarkan juga tindakan Kama yang membiarkan Arsha pergi tanpa pengawasannya. Ia mengerti, bahkan sangat mengerti karena memiliki dua anak gadis yang juga sangat disayanginya.Tapi bukan berarti Akbi bisa berbuat semena-mena kepada Kama apalagi membuat wajah tampan sang anak babak belur.“Ya! Kama salah, Om ... Kama minta maaf.” Kama mengulang ucapannya.Kata-kata pria itu sangat tegas dengan sorot mata menatap langsung mata elang sang calon Ayah mertua.“Ca, tangan kamu berdarah!” Mommy berseru, baru menyadari banyak darah merembes dari punggung tangan Arsha, tempat menancapnya selang infus tadi.Dengan sigap Kama menggendong Arsha ke ata