Share

Bab 3

SI MISKIN YANG MENDADAK KAYA

(KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN)

bab 3

"Tapi Ri....

"Ooo bagus ya kalian, sekarang sudah berani secara terang-terangan ketemuan disini!" Tiba-tiba saja sebuah suara yang lantang dan cempreng membuat tanganku yang tengah memegang lembaran uang sontak melepaskan uang itu lantaran terkejut.

Kupalingkan wajah melihat siapakah orang dengan suara cemprengnya itu.

"Mbak Meri, " ucapku lirih sembari terbelalak melihat Mbak Meri sudah berdiri di hadapanku.

Mbak Meri adalah Kakak perempuanku yang nomor dua, sedangkan Kakak sulungku laki-laki bernama Mas Tio.

"Jadi benar apa yang dikatakan orang tentangmu kalau kamu ada main sama laki beristri. "

"Mbak, jangan salah paham, itu semua gak benar, demi Allah aku gak seperti itu, Mbak. "

"Iya, Mbak, kami gak melakukan apa pun dan tidak memiliki hubungan apa pun," sanggah Mas Haris.

"Halah, gak usah ngelak, kalau gak ada hubungan ngapain kalian tadi pegang-pegangan tangan?"

"Bukan begitu, Mbak, ini aku cuma mau kembalikan uang Mas Haris tempo hari, aku gak mau terus dipojokkan karena merusak rumahtangga orang lain."

"Alah, Ri, kalau iya pun gak papa, daripada kamu sama si Anam terus bukannya makin enak hidupmu tapi makin blangsak, " cebik Mbak Meri.

"Maksud, Mbak? "

"Ya lebih baik kamu cerai dari Amar, udah jelek, miskin lagi, anak istri ditinggal merantau eh tiap bulannya cuman dikasih uang 500, udah gitu mesti dibayarkan buat nyicil rumah lagi, kalau aku sih ogah, tapi untuk apa kamu setia toh belum tentu di sana dia juga setia. "

"Aku yakin Mas Anam gak seperti yang Mbak katakan, aku yakin dia setia Mbak, dan aku juga akan menjaga hati dan cinta ini untuk suamiku, aku permisi dulu Mbak, Mas, " ucapku pada akhirnya karena aku tidak sanggup jika harus mendengar ocehan dari Mbak Meri, aku sangat tahu watak Mbak Meri itu seperti apa.

"Riri tunggu!" pekik Mas Haris mencoba menghentikan langkahku juga Zahra, tapi aku tak menghiraukannya, aku tetap melanjutkan langkahku menuju rumah.

***

"Riri, buka Ri!" Lagi dan lagi sebuah suara yang memekakkan telinga kembali terdengar.

"Huh, siapa lagi sih, kenapa sih orang-orang itu suka sekali mengusik hidup si miskin ini, " batinku menggerutu. Dan dengan sangat terpaksa aku membukakan pintu karena aku tak mau gedorannya membuat pintu rumahku jebol.

"Heh Riri! Apa benar yang dikatakan orang tentangmu! Berani kamu menghianati Mas Anam!" Kini yang datang adalah Lintang, adik tiri dari Mas Anam.

Oh iya aku belum ngasih tau kalau Mas Anam adalah anak tunggal dari almarhumah Ibu mertua, sedangkan Lintang adalah anak bawaan dari Bapak sambung Mas Anam. Sementara Bapak kandung Mas Anam entah dimana keberadaannya, dari cerita Mas Anam katanya semenjak usianya tiga tahun. Bapak mertuaku pamit pergi merantau, dan awalnya komunikasi mereka masih lancar. Bahkan, masih mengirimi almarhum Ibu mertua uang, tapi tiga bulan kemudian Bapak mertuaku hilang bak ditelan bumi. Sama sekali tidak bisa dihubungi dan entah di mana keberadaannya tidak ada yang tahu. Hingga akhirnya Mas Anam sudah menganggap kalau dirinya adalah anak yatim, baru setelah usia Mas Anam menginjak sepuluh tahun almarhum Ibu mertua menikah lagi dengan Bapak sambung Mas Anam dengan membawa seorang anak perempuan yang kini berdiri dengan tatapan garang di depan rumahku ini.

Mas Anam juga sudah merantau ke jakarta satu tahun setengah lamanya, selama itu juga kami menjalani hubungan jarak jauh. Semisal rindu, hanya video call yang bisa mengobatinya, karena kalau Mas Anam harus pulang kesini tentu akan memakan biaya yang tak sedikit. Sementara jarak dari rumahku ke jakarta akan memakan waktu semalaman. Ah, semoga Allah masih memberikan kesempatan untuk keluarga kecilku berkumpul lagi seperti dahulu, betapa aku merindukan sosok suamiku itu.

"Apa kamu ada bukti menuduhku seperti orang-orang itu? Kalau tidak tahu ceritanya seperti apa jangan sok tahu." Aku terbuyar dari lamunanku, dan akhirnya aku memberanikan diri untuk membela diri. Sudah cukup diri ini dihina dina oleh orang-orang tak berperasaan seperti mereka, kini saatnya aku membela harga diri keluarga ku agar mereka tak seenaknya menginjak-nginjak si miskin ini.

"Berani kamu melawan aku! Atau jangan-jangan benar apa yang dikatakan orang-orang itu tentangmu, dasar pel**ur! "

"Cukup Lintang! Tidak capek kah kalian semua menghina keluarga ku ha! Apa salahku pada kalian, aku tidak pernah mengusik hidup kalian! Dan jangan pernah kau bangunkan macan tidur, selama ini aku diam bukan karena aku lemah tapi aku masih menghargai kalian, tapi jika kalian memintaku untuk bertindak kasar maka akan aku layani!" ucapku dengan tatapan yang tak kalah nyalang dari Lintang.

"Pantas saja hidupmu selalu miskin, mungkin Tuhan memang tidak mau melihat orang sepertimu sukses! "

"Tau apa kau tentang takdir Tuhan? Apa kau kaki tangan Tuhan? Jangan sombong Lintang! Mungkin saat ini kami yang miskin, tapi siapa bisa jamin jika kekayaan suamimu itu akan bertahan lama!" sentakku pada Lintang.

"Cih, dasar perempuan su**al, akan aku adukan tingkahmu ini pada Mas Anam, biar kau diceraikannya dan menjadi ja*da gatal!" ucap Lintang sembari meludahi mukaku.

Cukup sudah, kesabaranku sudah habis, ini betul-betul penghinaan namanya. Aku berjalan mendekati Lintang dengan dada bergemuruh, mungkin saja wajahku memerah lantaran begitu banyak api amarah yang membuat wajahku panas. Tidk pakai aba-aba, aku pun menampar wajah putih mulus Lintang tapi dengan kondisi leher yang coklat atau istilahnya belang, bagaimana tidak jika yang dirawat hanya sebatas wajah saja.

"Kurang ajar! Berani kau menamparku! " hardik Lintang dengan sudut bibir yang sedikit mengeluarkan darah.

"Itu pantas untuk manusia bermulut tajam sepertimu, dan aku peringatkan padamu, berhenti mengusik hidupku karena aku juga tak pernah mengusik hidup kalian. Jangan jumawa jika diatas langit masih ada langit, maka tak menutup kemungkinan suatu saat nanti aku yang berada di atasmu, " ujarku sembari menatap tajam Lintang.

"Jangan mimpi kamu Riri, orang miskin sepertimu tak akan pernah bisa menyaingiku hahahahaha, dan ingat aku tak terima kau perlakukan begini, lihat saja akan kuadukan kau pada Mas Anam biar kau dicerai sama dia," ucap Lintang yang kemudian berlalu meninggalkan rumahku.

***

"Riri sini!" panggil Citra padaku.

Selain Bu Ajeng, Citra juga salah satu manusia yang masih memiliki hati nurani,  dan sejauh ini Citra lah yang menjadi teman terdekatku, hanya dia yang masih sudi berteman denganku yang miskin ini. Ibu dari sahabatku itu juga baik padaku,  Bu Tiar namanya. Namun sayang,  di usianya yang sudah matang, yakni 25 tahun,  Citra juga belum mau menikah,  entah apa alasannya. 

"Ada apa sih Cit,  heboh bener?" tanyaku sembari menghampiri Citra di teras rumahnya. 

"Kamu udah tau belum, kalau di desa ini akan dibangun sebuah pabrik gula?" 

"Belum,  memangnya kenapa?  Kan malah bagus, bisa membuat desa kita semakin maju,  lagian disini kan memang banyak tumbuhan tebu dan kurasa memang cocok jika di bangun pabrik gula. 

"Iya sih,  tapi kamu tau gak kalau pabrik gula yang akan dibangun itu akan mempekerjakan sebagian warga sini juga,  jadi rencananya aku juga mau melamar di pabrik itu,  kamu juga ikut ya?  Ijazahmu kan SMA,  sayang kan kalau gak digunakan."

"Iya sih,  tapi jika aku kerja bagaimana dengan Zahra,  selama ini aku gak cari kerja selain jadi pembantu karena bingung mau nitipin Zahra ke siapa,  karena cuma jadi pembantu  yang kerjanya bisa bawa anak,  itu pun gak semua majikan mau. "

"Iya juga sih,  tapi yah dicoba aja dulu masukin lamarannya,  mana tau kan keterima,  masalah pengasuh nanti kita pikirkan lagi,  nanti aku bantu carikan yang mau mengasuh anakmu. "

"Kamu serius Cit?" tanyaku pada Citra,  dan dijawab anggukan mantap oleh Citra. 

"Terimakasih ya Cit, hanya kamu yang mau berteman denganku yang miskin dan jelek ini," ucapku memeluk Citra. 

"Kamu ngomong apa sih Ri,  kita ini kan sahabat,  jadi sudah seharusnya saling tolong menolong kan. "

"Sekali lagi terimakasih ya Cit, aku janji jika jadi sukses tak akan melupakan jasamu padaku."

"Sama-sama Ri," ujar Citra sembari membalas pelukanku. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status