Share

Bab 2

KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN

bab 2

"Riri! Riri! Keluar kamu! Dasar wanita su*dal! " Ucapan seseorang dengan suara lantang dan gedoran di pintu membuatku terlonjak bahkan tersedak nasi yang sedang ku kunyah. Bergegas aku meneguk air putih yang ada di dalam gelas untuk menghilangkan rasa sakit di tenggorokan yang tersedak.

"Riri! Cepat keluar kamu! Dasar wanita penggoda si*lan, keluar kamu! " Lagi, suara teriakan dan umpatan dari luar terdengar hingga ke dalam.

Sebelum aku memutuskan untuk melihat siapa gerangan di luar sana, aku menyuruh Zahra untuk diam di tempat dan tidak boleh keluar dari rumah. Aku takut kalau anakku melihat hal yang tidak layak nanti, karena jujur saja perasaanku memang tidak enak mendengar suara keributan di luar sana.

Tergopoh-gopoh aku menghampiri pintu depan dan membukanya, kulihat Mbak Fitri sudah berkacak pinggang , napasnya tersengal-sengal dengan mata melotot lebar ke arahku,

"Dasar wanita sundal! Pakai pelet apa kamu mempengaruhi suamiku ha! " hardik Mbak Fitri padaku.

"Maksud Mbak apa?"

"Alah, gak usah berlagak be*o deh, kamu ngerayu suamiku kan biar bisa manfaatin harta suamiku, iya kan! Dasar perempuan su*dal! Perempuan miskin kayak kamu itu cuma mau incar pria berduit! Ngaca kamu Riri! Lihat wajah dan tubuh kamu, cantik nggak, seksi juga nggak, jadi jangan kecentilan kamu! " sentak Mbak Fitri masih dengan tatapan nyalangnya. Bergemuruh dada ini rasanya mendengar caciannya, bukankah ia tahu jika aku wanita bersuami, bahkan hingga detik ini tak terlintas sedikit pun di otakku untuk menghianati Mas Anam.

"Cukup Mbak! Tolong jangan hina aku seperti itu. Aku bukan wanita seperti yang Mbak Fitri tuduhkan, tadi itu aku sama sekali tidak meminta bahkan merayu suamimu. Justru Mas Haris sendiri yang memberikan uangnya pada Bu Ida untuk melunasi hutangku. Kalau tidak percaya tanya saja sama Bu Ida," ucapku sembari menunjuk Bu Ida yang sedari tadi tengah berkumpul bersama para tetangga lantaran mendengar keributan di rumahku.

"Heh Riri! Tadi itu kan jelas-jelas kamu yang menggoda Pak Haris, bahkan kamu juga minta dibayarin hutangmu di warungku, dan aku juga melihat sendiri Pak Haris memberikan uang saku padamu, " ucap Bu Ida yang membuat mataku terbelalak. Bagaimana tidak, jika ucapannya adalah fitnah yang keji terhadapku.

"Sekarang mau ngelak apalagi kamu, Ri! "

"Sumpah Demi Allah Mbak, aku tidak seperti yang Bu Ida katakan, Bu Ida, kenapa tega memfitnahku seperti itu? Bukankah tadi Mas Haris sendiri yang memberikan uang pada Bu Ida terus Bi Ida langsung kantongin itu uangnya? atau Mbak bisa bertanya langsung sama Mas Haris," ujarku mencoba membela diriku. Betapa malu nya aku, karena para tetangga sudah berdatangan ke rumahku, mereka saling berbisik yang tidak enak tentangku, jelas saja aku mendengarnya karena aku ada di situ.

"Alah, gak usah bawa-bawa nama Tuhan, kalian itu munafik! kalian itu sama saja. Mana ada maling ngaku, penjara penuh tau! Aku peringatkan sekali lagi, jangan coba-coba kau dekati suamiku atau kau aku buat menyesal seumur hidupmu!" hardik Mbak Fitri sembari meninggalkan halaman rumahku.

"Huuu, makanya, mau jadi pelakor itu ngaca! Muka bulukan dan miskin aja sok mau jadi pelakor, " ucap seorang tetanggaku dengan menatapku sinis.

"Iya, dasar gak tau malu, laki pergi merantau untuk kerja eh bini dirumah mencari kenikmatan, untung ketahuan, coba kalau enggak, udah habis tuh Pak Haris di porotinnya, " timpal yang lainnya.

"Astaghfirullahaladzim." Aku mengucap dalam hati sembari mengelus dadaku yang berdenyut nyeri.

Sungguh tega sekali mereka kepadaku, entah apa salahku pada mereka hingga mereka begitu membenci dan menatapku dengan pandangan jijik.

Setelah kepergian Mbak Fitri, aku memutuskan untuk kembali masuk kedalam rumah, seketika aku teringat pada Zahra. Ah, anak itu pasti sudah mendengarkan pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi ini.

"Zahra, kamu kok belum tidur, Nak? "

"Bu, kenapa sih orang-orang itu marah-marah sama Ibu, emangnya Ibu punya salah apa? Kenapa mereka selalu saja ngomong kasar sama Ibu, Ibu orang baik, Zahra juga bukan anak yang nakal. Terus kenapa mereka seperti gak suka sama kita?" celoteh polos Zahra sembari menatapku dengan matanya yang bulat itu. Spontan aku langsung menghambur memeluk Zahra, betapa masa kecil yang memilukan, anak sekecil ini sudah berpikiran layaknya orang dewasa, dan itu karena keadaanlah yang memaksanya harus seperti itu.

"Zahra dengar Ibu ya, kelak jadilah wanita yang kuat dan hebat. Seberapa pun usahamu untuk terlihat baik di depan orang, seberapa pun banyak bibir kamu berkata tentang kebaikanmu pada semua orang, percayalah itu tak akan berguna. Marena yang menyukaimu tak membutuhkan itu dan yang tidak menyukaimu tidak mau dengar apa pun yang keluar dari bibirmu itu, paham, Nak? " ucapku pada Zahra dan dijawab anggukan olehnya. Aku percaya meskipun usianya masih balita tapi Zahra paham akan ucapanku barusan, karena aku tahu anakku itu adalah anak yang cerdas, ia bisa mengerti segala kesusahan yang tengah dialami orang tuanya.

***

"Riri, ini upah kamu bulan ini, karena kerjamu sangat rajin dan saya puas, uang gajimu saya naikin jadi 700 ribu perbulan. Oh iya itu juga ada lauk di meja, kamu bungkus saja semua untuk kamu dan Zahra makan. Kebetulan saya dan Bapak juga anak-anak mau makan di luar, jadi daripada masakan saya terbuang mending buat kamu saja, itu masih bagus kok belum ada yang nyentuh."

"Alhamdulilah ya Allah terimakasih, Bu, semoga Allah SWT melimpahkan rezeki berlimpah kepada Ibu sekeluarga, " ucapku dengan mata berbinar sembari menerima uang yang disodorkan oleh Bu Ajeng, majikanku.

"Amin ya Allah, kamu yang sabar ya, setiap manusia yang diberi cobaan, jika lulus Allah pasti akan menaikkan derajatnya, dan saya percaya kalau kamu tidak seperti apa yang orang-orang katakan. Ya sudah saya mau siap-siap dulu ya, sekalian nunggu kamu bungkusin makanan di meja, nanti kalau sudah selesai kasih tau ya," titah Bu Ajeng sembari tersenyum padaku.

"Baik, Bu," ucapku menatap haru pada Bu Ajeng

Sungguh aku sangat percaya disaat begitu banyak orang yang tak menyukaiku bahkan memandangku dengan pandangan jijik di lain itu juga pasti ada orang baik seperti majikanku ini. Alhamdulillah juga Mas Anam sudah mengirim uangnya padaku kemarin sore, setelah uangnya aku bayarkan cicilan rumah nanti, aku juga akan mengembalikan uang Mas Haris tempo hari. Aku tidak mau terus dibayang-bayangi oleh hutang budi yang tidak seberapa itu, terlebih lagi mulut Mbak Fitri teramat tajam hingga tega menuduhku tanpa bukti.

***

Saat aku dan juga Zahra berjalan kaki akan menuju rumah tanpa sengaja aku berpapasan dengan Mas Haris, jadi kuputuskan untuk memanggilnya dan segera mengembalikan uangnya.

" Mas Haris tunggu, ini uang yang tempo hari aku kembalikan, " ucapku sembari menyodorkan selembar uang berwarna biru dan selembar uang berwarna ungu,

"Lho, kenapa dikembalikan? Saya ikhlas waktu itu, Ri, " ucap Mas Haris.

"Tapi, Mas, saya tidak mau di kata berhutang budi, biarlah uangnya saya kembalikan, kebetulan hari ini saya habis gajian, jadi saya bisa mengembalikannya. "

"Tapi Ri ...."

"Ooo bagus ya kalian, sekarang sudah berani secara terang-terangan ketemuan di sini! " Tiba-tiba saja sebuah suara yang lantang dan cempreng membuat tanganku yang tengah memegang lembaran uang sontak melepaskan uang itu lantaran terkejut.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status