Share

KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN
KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN
Penulis: Vyra Fame

Bab 1

KETIKA SI MISKIN YANG DIHINA MENJADI JUTAWAN

Bab 1

"Bu Ida tolong beli telornya dua biji, sama tepung terigu seperempat saja," ucapku saat berbelanja di warungnya.

"Beli apa ngutang nih!" sentak Bu Ida dengan ketus padaku.

"Emm, ngutang, Bu," ucapku sembari menggigit bibirku untuk menguatkan diri. Bukannya aku tak tahu jika aku berhutang pada Bu Ida akan mendapatkan lontaran teramat pedas dari mulutnya yang tajam, tapi aku tak bisa berbuat apa pun karena cuma warung Bu Ida yang bisa dihutangi.

"Orang kok hobi bener ngutang, hutang lima puluh ribu yang dibayar baru lima ribu. Eh, udah ambil hutang lagi, kalau bukan karena dulu Ibu kamu pernah menolong aku, gak sudi aku ngutangin kamu, Ri!" sentak bu Ida ketus padaku.

"Maaf, Bu, saya belum gajian, dan lagi, Mas Anam belum kirim uang, nanti kalau sudah gajian atau Mas Amar kirim uang saya lunasi, Bu. "

"Alah, kayak uang yang dikirim suamimu cukup aja, Ri,m. Sejauh ini juga uang kiriman suamimu itu tidak mencukupi kan? Jngankan untuk membayar hutang, lha untuk makanmu sama anakmu saja gak cukup. Makanya kamu kerja jadi babu di rumah orang, " cebik Bu Ida sembari memberikan barang belanjaanku. Hati ini sudah kebal dengan ucapan yang Bu Ida lontarkan. Sudah teramat sering Bu Ida maupun orang-orang di sini menghinaku dan juga suamiku, hanya karena kami ini orang miskin.

"Terimakasih, Bu, secepatnya aku akan melunasi hutangku, permisi. "

"Eh tunggu, Ri." Tiba-tiba saja ucapan Mas Haris tetanggaku menghentikan langkahku.

"Ada apa, Mas? "

"Tunggu bentar ya. "

"Bu Ida, berapa total belanjaan Riri dan hutangnya?"

"Total semuanya enam puluh ribu, kenapa?"

"Ini, Bu, untuk bayar belanjaan Riri dan hutangnya. "

"Ini beneran?" sahut Bu Ida.

"Iya, Bu, beneran. "

"Yaudah, saya terima ya," ucap Bu Ida sembari memasukkan uang itu ke sakunya.

"Maaf, Mas, tapi gak usah, aku gak mau punya hutang budi."

"Ah enggak kok, Ri, ini kebetulan sekalian aku juga mau belanja, jadi sekalian bayar aja. "

"Tapi, Mas, nanti Mbak Fitri salah paham. "

"Ck, udah kamu gak usah pikirin si Fitri, itu urusanku. Yaudah sana pulang, anakmu pasti udah nungguin."

"Yaudah kalau gitu aku pamit dulu ya, permisi."

Namaku Riri Novianti, aku sudah menikah dengan seorang pria bermama Yazid Khairul Anam dan aku memanggilnya Mas Anam. Pernikahan kami sudah memasuki tahun ke lima dan kami juga sudah dikaruniai seorang putri berumur empat tahun bernama zahra putri.

Saat ini Mas Anam tengah pergi merantau ke kota, dan setiap bulannya ia akan mengirimiku uang sebesar 500 ribu rupiah saja. Memang terbilang sangat pas-pasan, tapi apa mau dikata. Hanya itu yang Mas Anam mampu berikan padaku, dan aku ikhlas menerimanya dengan rasa syukur.

Selain Mas Anam yang bekerja, aku juga ikut membantu perekonomian dengan menjadi pembantu di rumah orang kaya di kampungku. Dari pagi hingga siang saja, asalkan pekerjaanku sudah selesai maka aku diperbolehkan pulang. Yah, meskipun upahnya tidak terlalu besar, yakni hanya 500 ribu rupiah saja tiap bulannya, tapi insyaallah cukup untuk aku dan anakku bertahan hidup.

"Yeaay, Ibu pulang, Ibu Pulang. Bu, kita jadi makan sama telor kan, Bu? " celoteh anakku Zahra sudah menyambutku saat kaki ini sampai di teras rumah.

"Jadi dong, Sayang, ini telornya udah Ibu beli, yaudah yuk kita masuk, Ibu mau masak dulu. "

"Yeay, asik, kita makan enak hari ini, gak selalu makan daun singkong ya, Bu." Ucapan anakku tentu saja membuat hati ini teramat perih.

Telur memanglah makanan mewah bagi kami, sebulan sekali pun belum tentu aku dan Zahra makan dengan lauk telur. Uang yang dikirimkan Mas Anam akan habis untuk bayar cicilan rumah yang kutempati. Yah, karena rumah ini masih menyicil sebesar 650 ribu rupiah setiap bulannya, dan masih belum lunas. Kami bisa membeli rumah ini secara kredit pun pada saat Mas Anam masih bekerja sebagai karyawan pabrik dulu. Setelah Mas Anam terdampak phk besar-besaran karena pabrik tempatnya bekerja gulung tikar. Kini Mas Anam harus bekerja sebagai kuli panggul pasar di jakarta sana.

"Zahra, ayo kita makan, Nak, ini nasi dan telurnya sudah matang," ucapku memanggil anakku yang sedang menonton televisi yang kami beli sewaktu Mas Anam masih bekerja dulu.

"Iya Bu, " jawab Zahra kemudian menyambangiku. Lantas kami berdua pun menikmati makan siang dengan nikmat. Jika biasanya habis dzuhur aku baru pulang bekerja dan baru akan merapihkan rumah dan memasak, tapi karena hari ini aku sedang libur maka jam segini aku sudah merapihkan rumah dan masak untuk Zahra.

"Emmm, nikmat banget, Bu, rasanya, coba kalau tiap hari bisa makan telur, pasti aku seneng, " ucap Zahra dengan mulut penuh nasi.

Betapa hatiku teramat perih mendengar ucapan anak balitaku ini. Bagimana tidak? Jika anak seusianya diharuskan makan penuh gizi dan bisa jajan yang enak tapi tidak dengan Zahra. Di usianya yang sekecil itu sudah kupaksa untuk makan dengan lauk seadanya. Bahkan, tak jarang kami hanya makan dengan garam saja, jika memang aku sudah betul-betul tak memiliki uang lagi.

"Riri! Riri! Keluar kamu! Dasar wanita sundal! "

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Muscle men
cerita yang penuh penuh pengajaran dalam hidup manusia didunia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status