Bab 18Setoran Bank"Siapa, Mas?" Aku bertanya pada Mas Wawan yang tengah berbicara di telepon.Dia tak menjawabnya, mungkin penting hingga dia seperti meminta waktu. Aku yang dibuatnya penasaran, masih saja berdiri di ambang pintu. Ikut mendengarkan Mas Wawan berbicara.Mas Wawan menutup telepon, dan menarik napas dalam, lalu membuangnya."Apa?" Aku berbisik pelan hingga hampir tak terdengar.Mas Wawan keluar kamar, tanpa menjawab pertanyaanku."Aku lagi gak ada duit, Bu!"Aku lega mendengar ucapan Mas Wawan. Bukannya pelit ataupun perhitungan dengan orang tua. Namun keadaan tidak memungkinkan, kami yang harus keluar uang seminggu sekali untuk membeli susu Hawa. Belum juga beras dan kebutuhan lain.Gaji Mas Wawan yang tidak seberapa, masih dipotong cicilan motor dan juga cicilan koperasi.Kadang dengan terpaksa kami harus menjual emas yang aku miliki, dari cincin hingga kalung.Miris ….Ya sangat miris, aku pikir dulu, jika sudah menikah akan lebih mudah. Tidak bekerja dan tidak per
Bab 19Teguran NandaPartini adalah nama ibu mertuaku. Namun jarang sekali aku menyebut dengan menambahkan namanya. Hanya memanggil dengan sebutan, Bu kalau tidak Nenek.Aku langsung menyeka air mata yang menetes di pipi.Aku segera keluar, dan melihat siapa yang datang?"Ada apa, Bu?" Tiba-tiba ibu keluar dari rumah.Aku yang masih diambang pintu, terheran-heran melihat kedatangan ibu yang tiba-tiba muncul dari belakang."Gak ada apa-apa!" Netra Bude Sumi dan juga Ibu saling bertemu. Ada isyarat yang diperlihatkan, aku tak begitu memperhatikan. Namun setelah itu, Ibu mertua ku mengajak Bude Sumi berbincang di kursi depan.Bude Sumi, adalah teman Ibu. Dia selalu pergi bersama kemana pun. Padahal anak menantunya juga ada, tapi setiap ada acara apapun, dia pasti mengajak Bude Sumi. Misalnya akan menghadiri acara hajatan, mereka pasti pergi berdua. Padahal aku sendiri juga akan menghadiri acara tersebut. Bukan kah hal seperti itu terlihat sepele? Namun alangkah baiknya jika dia mengajakk
BAB 20Memulai usaha"Aku sudah tidak tahan lagi dengan perlakuan Ibumu padaku!" Aku terisak hingga membangunkan Hawa.Hawa menangis, dia rewel. Mungkin dia merasakan perih yang sama dengan Ibunya.Aku lantas menggendong dan juga menenangkannya."Dek, ini uang sisa setoran kemarin. Aku juga sudah membeli susu. Sisa sedikit pegang lah!"Aku melihat masih ada lembaran uang seratus ribuan. Mungkin kisaran dua jutaan. Karena emas yang aku beli waktu itu adalah emas yang cukup mahal per gramnya, jadi tidak salah kalau uangnya masih cukup banyak."Mas, belikan aku mesin jahit. Aku akan buka usaha jahitan! Dulu pernah lihat Mbak Ida, menjahit waktu di Klaten. Mbak Ida adalah tetangga ku di Klaten. Dia menerima jahitan dan juga permak pakaian. Dan sering melihatnya, dan sesekali mencoba menjahit baju, jadi sedikit-sedikit aku pasti bisa. Juga ada Mbah Google jadi gampang belajarnya." Mas Wawan terkejut mendengar permintaanku.Aku bertekad apapun keadaannya aku akan membuka usaha jahit ini, ka
Bab 21Ibu mertua meminta uang"Arisan lagi?!" Aku terkejut mendengar pengakuan Ibu. Bukankah Ibu sudah diberi uang untuk arisan oleh suamiku, sehingga uang yang seharusnya dibayar untuk cicilan motor malah diberikan padanya. Dan tempo hari masih meminta uang tiga ratus ribu untuk arisan, meskipun tak diberikan oleh suamiku.Dan sekarang dua ratus ribu, dengan dalil membayar arisan? Berapa banyak arisan yang diikuti oleh Ibu?Astagfirullahaladzim …Aku mengusap dada dan juga beristighfar dalam hati.Padahal aku yang masih mempunyai bayi, dengan pengeluaran banyak seminggu nya, untuk membeli susu dan lain sebagainya. Tidak sebanyak itu, dia yang hanya mengeluarkan uang untuk makan dan juga arisan sebanyak itu? Padahal dia juga memiliki pendapatan sendiri! Kemana uang hasil kerjanya selama ini?"Assalamualaikum," salam Adi dari luar."Waalaikumsalam," Aku menjawab bersamaan dengan Ibu.Dilihatnya wanita berbadan langsing dan juga tinggi. Kulitnya sawo matang dan juga rambutnya terura
Bab 22Calon mantuBerubah sikap lembutnya tadi yang ia perlihatkan, di depan calon menantunya itu.Baru juga calon. Aku hanya memandang Ibu yang berlalu dengan membawa beberapa kantong plastik.**Tidak terasa Hawa genap berumur sepuluh bulan, dia bayi yang aktif. Sudah tengkurap sejak berumur empat bulan. Alhamdulilah, dia makan dengan sangat baik dan juga lahap. Meskipun masih dengan MPASI instan sebab aku belum berani memasak bubur sendiri untuknya. Meskipun sudah banyak tutorial membuat MPASI homemade yang disiarkan di internet.Belum genap satu bulan aku membeli mesin jahit waktu itu hingga sekarang. Aku rasa ini sudah saatnya aku mengatakan pada tetangga.Tanpa berpikir panjang, aku menulis status di aplikasi hijau berlogo gagang telepon.'Menerima permak baju, tambal baju yang robek bukan tambal hati yang terluka' Kurang lebih seperti itu status yang aku tulis, cukup menggelitik dan juga menarik.Tak ada respon maupun tanggapan dari teman maupun tetangga.Ya … Sudahlah. Mun
Bab 23Terbongkarnya sandiwara"Lihat, seperti itukah istrimu, Wan!" Ibu mertuaku berlagak kesakitan, dan masih tersungkur di lantai dapur.Aku terkejut Mas Wawan sudah berdiri di ambang pintu, tanpa rasa bersalah aku langsung menghampiri Mas Wawan.Karena memang aku tidak bersalah.Mulutku menganga ingin mengucapkan kata.Namun tangan Mas Wawan diangkatnya ke atas.Menandakan tak ingin mendengar penjelasan dariku.Aku tertunduk lesu, melihat perlakuan Mas Wawan baru saja.Ibu mertuaku kembali berakting kesakitan.Hu hu hu …"Istrimu memang keterlaluan! Lihat, Ibu tersungkur karena di dorongnya! Kamu percaya kan sekarang sama Ibu!" Ibu seolah-olah menyeka air matanya, padahal jelas terlihat dia tak menangis.Lama Mas Wawan diam tak bergeming, menatap Ibu cukup lama."Aku percaya sama kamu, Nanda!" Mataku terbelalak mendengar ucapan Mas Wawan baru saja."Jangan kau bersandiwara lagi, Bu. Sudah cukup selama ini kamu menghina maupun memfitnah Nanda. Aku tahu Ibu tidak didorong oleh Nanda
Bab 24Rencana"Bicaralah apa yang ingin kamu katakan?" Bapak mertuaku memandang Mas Wawan dengan seksama.Suasana pun menjadi serius, Mas Wawan terlihat menata hati untuk memulai berbicara.Menata hati untuk mendengar apapun yang akan dikatakan kedua orang tuanya."Pak, Wawan ingin membangun rumah sekarang! Sudah ada uang meski tidak banyak," ucap Mas Wawan sangat hati-hati.Bapak tak langsung menjawabnya, dia menghisap rokok pelan lalu membuangnya menjadi asap yang berada di ruangan itu.Menatap langit-langit rumah."Adik mu berencana melamar Kasih, kekasihnya yang sekarang! Bapak saat ini ingin menikahkan Adi dulu, baru nanti setelah uang kamu terkumpul banyak, kita bangun rumah!""Tapi, Pak. Bukannya Adi menikah paling tidak masih tahun depan?""Iya memang, tapi kasihan kalau dia gak dibuatkan pesta, dia kan sudah jadi pegawai, malu sama tetangga!"Kekecewaan nampak jelas terlihat disana, namun suamiku enggan mengatakannya. Tak banyak bicara lagi, dia tertunduk lesu."Memangnya su
Bab 25Adi putus"Apa yang kalian lakukan?!" teriak Bapak mertua di ambang pintu.Bapak mertuaku sepertinya marah. Dia melihat Adi dan juga calon menantu nya bertengkar di depan rumah. Ya … Calon menantu. Kemarin malam tepatnya, Adi bersama keluarga secara resmi telah melamar Kasih.Dengan membawa sekotak kue yang cukup mahal disertai buah dan juga dua pasang cincin, tidak lupa makanan yang dibuat para tetangga sebelumnya.Diterima dengan baik, dijamu layaknya orang kebanyakan. Keluarganya ramah dan juga terlihat bahagia, menerima kedatangan kami.Adi dan juga Kasih, mereka sepasang sejoli yang sedang di mabuk asmara.Serasi dan sangat di eluh-eluhkan oleh Ibu mertuaku.Tidak jarang Ibu mertuaku selalu membicarakannya di depan para tetangga, berbeda dengan ku. Dia selalu saja mencari celah kekuranganku, bukankah setiap orang mempunyai kekurangan?Adi dan Kasih terdiam, setelah mendengar Bapak menegur mereka.Akupun yang semula di kamar, langsung meraih tubuh mungil Hawa, yang sedang