Share

02. Cangkok sumsum tulang belakang

"Kau sudah kembali?" tanya Liam dengan suara berat, berusaha menahan perasaan yang ingin meledak di dalam hatinya.

"Ya, Liam," jawab Bella, menatap Liam dengan tatapan yang penuh harap. Liam mencoba membaca ekspresi wajah istrinya, mencari tahu apa yang bersembunyi di balik sorot matanya. Tatapan berhenti pada mata Bella.

"Bella, ini…"

Liam menggantung kalimatnya, tak tahu harus berkata apa. Dia sungguh tak mengerti dengan penampilan Bella yang berubah. Sungguh berbeda dengan Bella yang dulu.

"Ini?" tunjuk Bella pada dirinya yang hanya memakai tank top dan rok jeans minim bahan.

"Aku akan menjelaskan semuanya tapi sebelum itu, aku ingin meminta maaf padamu, Liam.

Aku bersalah karena pergi disaat kamu sakit. Aku mempunyai alasan atas kepergianku."

"Alasan apa itu?"

"Di saat kamu mengalami sakit leukimia, aku sungguh khawatir padamu. Perusahaan pasti terkena dampak negatif jika media massa tahu kamu mengalami lumpuh permanen. Jadi, aku memutuskan mendonorkan sumsum tulang belakangku, untukmu."

"Apa?!"

Alesya dan Liam terkejut bukan main mendengar pengakuan dari Bella.

"Itu Benar. Karena kondisiku yang butuh pemulihan, aku memutuskan untuk pergi meninggalkanmu, Liam. Maaf."

"Tidak, itu tidak benar! Kamu bohong, Bella!" sanggah Alesya. "Kakak ipar, jangan percaya ucapan–"

"Benarkah itu, Bella?" tanya Liam, memotong ucapan Alesya.

"Tentu saja benar. Untuk apa aku berbohong padamu?"

Liam mendekati Bella, mengikis jarak membuat Alesya tak suka. Ada perasaan cemburu menyeruak dan tak terbendung.

"Lalu, kekasihmu?"

Bella melotot tak percaya, seketika gugup mencari alasan. "Itu bukan hal penting lagi, kami sudah putus. Maafkan aku Liam."

Liam hanya tersenyum sekilas membuat Bella tampak ragu berkata, "ada apa? Apa kamu tak percaya padaku, Liam?

"Aku butuh bukti."

Bella tersenyum bahagia, tentu saja dia mempunyai bukti akurat. Semua sudah dipersiapkan untuk menghindari kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Alesya mendekati Bella. Dirinya sungguh tak terima kakaknya itu akan mengambil alih Liam darinya.

"Kenapa kamu baru menjelaskannya sekarang?"

Bella mendekati Liam tanpa memperdulikan Alesya. Dielus manja dada bidang Liam, "Aku tak ingin kamu menderita, bersanding dengan wanita sepertiku. Aku pikir kita akan hidup bahagia dengan kehidupan masing masing , ternyata aku salah. Aku tak bisa hidup tanpamu dalam tiga tahun ini. Maafkan aku baru menyadarinya.”

Alesya menggigit bibirnya, mengepal erat hingga kukunya memutih. Ingin sekali dia menyobek mulut Bella yang berbisa itu. Semua yang dikatakan hanyalah bualan semata. Jika mencintai kenapa harus pergi?

Saat ini yang mengetahui kebenaran tentang siapa pendonor sumsung tulang belakang pada Liam adalah Dokter yang menangani operasi, dirinya dan Marco, Ayahnya. Alesya tak memiliki bukti sedangkan Ayahnya, bahkan menghilang entah kemana.

"Baiklah. Berikan buktinya besok," ucap Liam datar dan pergi meninggalkan kakak beradik itu. Dirinya masih belum bisa menerima fakta yang baru saja di dengarnya.

Jika benar Bella yang menolongnya, Liam berhutang nyawa pada istri pertamanya itu.

Tak ingin melanjutkan pembicaraan, Liam segera beranjak dari tempat itu, sedangkan Alesya melihat Liam dengan tatapan nanar.

Liam masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Diambil ponsel di saku celana, jari lentiknya mendial salah satu kontak dan memanggilnya.

"Halo, cari informasi tentang Dokter yang menangani operasi tiga tahun lalu."

Liam menutup telepon dan menerawang jauh ke depan. Mengingat kenangan manis bersama Alesya hingga kejadian menyakitkan itu muncul. Tangannya terkepal erat, detak jantungnya berdegup cepat membuatnya sesak.

Bugh.

Bugh.

Liam memukul tembok berkali kali, melampiaskan rasa sakit yang tak kunjung hilang dan kembali menghampiri.

Sejenak, ada perasaan aneh yang menyelimuti Liam. Harusnya ia merasa senang, apalagi ketika Bella berkata jika ia adalah orang yang mendonorkan sumsum tulang belakangnya.

Namun, Liam seakan merasa jika apa yang diucapkan Bella masih belum mengena di hatinya. Jika ia melakukan tindakan mulia seperti itu, kenapa dia harus pergi dengan pria lain?

Rasa benci dan rindu saling berbaur, menciptakan kebingungan di dalam hati Liam. Ia tidak tahu harus berbuat apa, merasa terombang-ambing di lautan emosi yang tak bisa ditebak arahnya. Besok, ya besok kekhawatiran ini akan terjawab.

***

"Siapa wanita yang mendonorkan sumsum tulang belakang untukku, tiga tahun lalu?" tanya Liam pada lelaki tua memakai emblem putih dihadapannya.

"Tuan Liam, minumlah kopinya terlebih dahulu," jawab sang Dokter sambil menyeruput kopinya pelan.

"Aku tak ada waktu untuk basa basi. Cepat beritahu!"

Sang Dokter terlihat tenang, menaruh kopi dan menatap intens seorang Liam. "Kejadian itu sudah tiga tahun lalu, berkas laporan operasi mungkin sudah tidak ada."

Srekh.

Liam membuang kasar satu lembar foto ke atas meja. "Jawab saja, apakah dia orangnya?"

Dokter itu mengamati foto wanita dengan kecantikan sempurna, wanita yang tak asing menyapa ingatannya. "Iya, dialah wanita pendonor sumsum tulang belakang Anda," tunjuk Dokter pada foto Bella.

Liam tersenyum simpul, rasa khawatir dan bimbang sudah terjawab namun entah mengapa dia masih meragukan hal ini.

Tak ada lagi alasan untuk membenci Bella, istri pertama yang selama ini dicintainya.

"Baiklah. Aku akan membayar mahal pengakuanmu, Dokter." Liam pergi meninggalkan Dokter yang masih terpaku melihat kepergian Liam, sikap yang tak bisa dijelaskan.

Sesampai di rumah, Liam segera mencari istrinya, "Bella."

"Dia tak ada di rumah," jawab Alesya yang tadinya duduk di sudut ruangan segera berdiri. Melihat senyuman di bibir seorang Liam meski hanya tipis itu, hatinya seketika hancur.

Liam mendekat dengan ekspresi dingin. "Kemana perginya?"

"Aku tidak tahu." Alesya mencoba menatap suaminya acuh namun matanya malah berkaca kaca, tak bisa menahan rasa sakit.

Tanpa mereka berdua sadari, Bella pergi ke Rumah Sakit setelah Dokter Roy menghubungi dan memberitahu jika Liam baru saja menemuinya

"Kemana kamu Bella," gumam Liam.

Alesya dipandang dengan tatapan sinis, seolah-olah Alesya adalah makhluk yang tak berharga bagi Liam.

Alesya mendekat, mencoba mengikis jarak dengan suaminya. Banyak hal yang ingin dikatakan namun tiba tiba saja Alesya tercekat di kerongkongan. Dengan keberanian ekstra, Alesya ingin mengatakannya.

"Bella baru saja kembali dan kamu sudah mencarinya dengan wajah bersinar, penuh kebahagiaan. Kenapa kamu tak bisa seperti itu padaku, Liam?"

Mendengar Alesya berani menyebut nama dengan lantang, Liam menjadi marah. Alesya tak pernah memanggil Liam dengan nama terang.

"Lihatlah dirimu! Kamu pikir aku bahagia menikah dengan perempuan seperti kamu?" ujar Liam dengan nada menyakitkan.

"Pernikahan paksa ini membuatmu tampak menyedihkan. Bagaimana aku bisa menerima kamu sebagai istriku?"

Alesya mencoba menahan air matanya, namun kata-kata suaminya begitu menusuk hati. Ia merasa seperti tiada harapan dan sangat tidak berharga di mata orang yang seharusnya mencintainya.

Alesya bisa saja mengatakan semuanya saat itu, setelah operasi terjadi. Namun Alesya tak mengatakannya karena dia ingin Liam mencintainya secara tulus dan apa adanya, bukan karena pengorbanan yang diberikan.

"Liam, aku mencintaimu. Apakah kamu tidak bisa melihat lebih dalam cintaku?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status