Tepat pukul lima sore, satu pesan masuk melalui telepon genggamnya.
Zack: Jangan telat pulang! Dan jangan lupa, pesankan makananku, juga bawakan aku champagne.
Satu jam kemudian, Aurora telah siap dengan permintaan Zack. Namun, ia berdecak kala menyadari jika satu-satunya gaun yang ia miliki adalah gaun terbuka yang memamerkan bagian atasnya.
Karena tidak ada waktu lagi untuk membeli gaun baru, Aurora pun memakai gaun tersebut. Tentu, ia menambahkan sebuah scarf di leher untuk membantu menutupi tulang selangkanya—meski kenyataannya, scarf itu justru membuat penampilannya tidak lebih baik.
Kemudian, karena masih ada satu tugas yang harus ia emban—yakni mengambil champagne kesukaan Zack, ia pun segera bergegas. Malang, sesampainya di sana … stok terakhir minuman itu telah terjual ke orang lain.
“Bukankah aku sudah memesan lebih dulu?” Aurora memastikan lagi pada pelayan di sana.
Suara berat kemudian terdengar dari arah samping Aurora. “Anda juga memesan minuman ini, Nona?”
Wanita itu menoleh cepat. Ia menemukan seorang lelaki tampan berwajah karismatik berdiri di sampingnya.
Lelaki itu membawa sebotol champagne favorit Zack. “Iya, itu pesananku.” Aurora menatap lelaki itu dengan pandangan memohon. “Maaf, tapi bolehkah aku yang mendapatkannya? Aku akan membayarnya dua kali lipat!”
Lelaki itu tampak menimbang sembari menatap penampilan Aurora.
Sontak, Aurora yang sadar ke mana arah pandangan liar lelaki itu lantas membenarkan letak scarfnya.
Dengan buru-buru, dan juga karena malas meladeni lelaki itu lebih lama, Aurora mengambil botol tersebut.
Dengan tergesa-gesa, ia berkata, “Tolong tinggalkan saja nomor telepon dan nomor rekening Anda di resepsionis. Saya janji akan membayar minuman ini dua kali lipat.”
Setelahnya, Aurora melesat dengan champagne di tangan.
Begitu sampai di hotel, dadanya bergemuruh hebat. Terlebih, saat ia memasuki lift hotel.
Dengan langkah sedikit ragu, Aurora menuju sebuah kamar yang ia yakini adalah kamar yang Zack pesan.
Ia mengatur napas dalam, sebelum akhirnya membuka pintu kamar. Pandangan Aurora terperangah.
Kamar itu sepi. Hanya ada meja bundar di tengah ruangan yang telah dirangkai cantik disertai bunga. Peralatan makan berwarna perak juga telah siap di atasnya.
Aurora bernapas lega. Semua ini sesuai pesanannya. Namun, kelegaannya itu tidak berlangsung lama. Sebab—
“Wangimu enak.”
Suara itu tepat terdengar di telinga Aurora. Ia bergidik, karena embusan napas itu terasa hangat di tengkuknya.
Cepat, ia membalikkan tubuh dan mundur beberapa langkah.
Zack berdiri gagah di hadapannya dengan setelan jas lengkap.
“Oh, hai, Zack!” Ia berusaha menyapa sesantai mungkin. “Makan malam untuk merayakan ulang tahunmu sudah siap.”
Zack mengamati meja dengan hidangan. Lalu, memandang Aurora yang berdiri kaku di depannya.
"Lepas scarf-mu."
"Tidak. Aku takut kedinginan."
Seringai muncul di wajah Zack mendengar ucapan Aurora. "Aku bisa memelukmu."
Aurora menahan dengusannya, tetapi kemudian ia melepas scarfnya dengan sembrono. Gerakannya sengaja dibuat kasar, tidak elegan karena ia tidak berniat untuk menggoda Zack.
“Ayo, makan!”
Wanita itu sengaja mendahului Zack duduk di meja makan malam mereka. Ia menuangkan champagne ke gelas Zack, sementara gelasnya sendiri hanya ia isi dengan air mineral.
“Kenapa tidak minum?” Lelaki itu mengerutkan dahi. “Kamu seperti tidak menghargaiku!” Kemudian, ekspresi wajah lelaki itu terlihat kesal.
Melihat hal itu, Aurora mengembuskan napas panjang. Akhirnya, wanita itu terpaksa menuangkan sedikit champagne itu ke gelasnya yang lain.
“Bolehkah aku reimburse biaya champagne ini ke kantor sebagai rincian pembelian hadiah ulang tahunmu?”
Mulanya, Zack bingung. Namun, setelah Aurora bercerita perjuangannya mendapatkan champagne ini, lelaki itu mengangguk.
Sejenak keduanya makan dalam diam. Aurora melirik Zack yang makan dengan elegan dan tanpa protes.
Aurora sengaja memesan menu dengan kandungan yang membuat cepat mengantuk. Dipastikan, setelah makan, Zack akan lemas. Aurora pun terbebas dari rayuan lelaki gagah itu.
"Enak?" Basa basi, Aurora bertanya pada Zack yang telah menghabiskan setengah supnya di mangkuk.
"Enak." Zack menjawab singkat.
Aurora tersenyum puas. Semoga saja efek makanan itu akan cepat bekerja. Ia kembali memutar otak agar mendapatkan topik perbincangan menarik.
"Sebelum berangkat ke sini, aku melihat sekuriti membawa beberapa kotak hadiah lagi untukmu."
"Hem."
"Bahkan ada yang menghadiahimu dengan kontrak kerjasama baru."
"Aku tidak mau membahas pekerjaan sekarang."
Makanan Zack di mangkuk habis. Dengan sigap, Aurora memberikan hidangan lain. Zack kembali makan dengan tenang.
"Lalu, kamu mau bicara tentang apa?"
Zack mengelap bibirnya dan menjawab, " Ceritakan tentang dirimu."
"Tidak ada yang menarik. Kamu akan bosan." Aurora menjawab cepat.
Aurora melirik Zack yang berkata bahwa ia sama sekali tidak tau apa pun tentang Aurora. Padahal, Aurora sudah banyak mengenal tentang kebiasaan dan pribadi Zack.
Tentu saja Aurora mendengus pelan mendengar ucapan Zack. Ia menjawab bahwa jika Zack rajin membaca pesan di grup keluarga mereka, ia akan lebih banyak tau tentang apa yang terjadi pada anggota keluarganya.
“Aku lebih senang mengobrol secara langsung.” Zack memberikan alasannya.
"Kalau begitu, kamu saja yang bertanya."
Senyum nakal terukir di bibir Zack. Aurora sampai merasa risih dipandangi dengan senyum begitu.
"Katakan padaku, berapa ukuran bramu."
Aurora mendengus kesal. Tangannya mengacak-acak makanan di piring tanpa ia makan.
"Kamu sudah sering melecehkanku, Zack." Akhirnya keluar juga keluhan dari bibirnya. “Jangan merusak suasana! Kita di sini untuk merayakan ulang tahunmu!”
Zack mengembuskan napas. Lelaki itu terlihat mengalah, tidak ingin membuat Aurora semakin kesal padanya.
"Mana hadiahmu?" tanyanya sembari mengulurkan tangan.
Aurora meraih handbag dan mengeluarkan satu kotak sederhana. “Bukan barang mahal. Aku membuatnya sendiri.”
Sebuah gelang rajut hitam dengan batu giok di bagian tengah kini melingkar di tangan Zack.
Ketika ia pikir ritual memberikan hadiah itu telah selesai, Zack justru berdiri. Lelaki itu menarik lengan Aurora hingga kini mereka berhadapan dengan jarak yang sangat dekat.
“Aku mau hadiah lain. Bisakah kudapatkan malam ini juga?”
“Apa yang kamu berikan padaku semalam? Kenapa aku ketiduran?” Zack memicingkan matanya pada Aurora yang sedang berdiri di depan ranjangnya.Saat Zack berniat merayu Aurora, tiba-tiba ia merasa luar biasa mengantuk. Aurora merasa sangat beruntung, pelukan lelaki itu mengendur hingga bisa menghindar. Zack tidur lelap setelah dipindahkan ke ranjang.Sambil mendengus kesal, Zack masuk ke kamar mandi setelah mendengar penjelasan Aurora. Pagi ini mereka memang akan menjemput Mami dan Alzard di bandara yang khusus datang untuk merayakan ulang tahun Zack.“Chatting siapa pagi-pagi?” Zack merangkul pinggang ramping Aurora dari belakang."Aaahhh." Aurora terkejut hingga telepon genggamnya terlepas dari tangan dan meluncur bebas ke lantai berkarpet."Apa, sih? Jangan berteriak. Pusing kepalaku!" sentak Zack yang langsung melepaskan tangannya dari pinggang Aurora dan menutup telinganya."Kau mengagetkanku!" Aurora membalik tubuhnya dan mendelik pada Zack.Sedetik kemudian, Aurora terdiam. Tangan k
Dengan cepat, Aurora menjelaskan bahwa bukan Zack penyebab ia sulit tidur. Mungkin karena sebentar lagi ia akan menstruasi dan tubuhnya terasa tidak enak saja.Alasan Aurora membuat Carla mengangguk mengerti. Alzard yang sempat khawatir pun akhirnya menimpali dengan candaan bahwa ia tidak mau dekat-dekat Aurora."Wanita dengan PMS bisa sangat berbahaya. Jauh-jauh dariku, Aurora." Alzard tergelak melihat Aurora mendelik padanya."Tapi menurutku, Mami tidak benar juga. Aurora bukannya pucat. Kulitnya memang sangat putih. Apalagi pagi ini tidak mengenakan make up," imbuh Alzard lagi."Sok tau!" Sekali lagi Aurora mencebik pada Alzard.Tawa canda Alzard dan Aurora membuat Zack terganggu. Apa keduanya memang terbiasa akrab begitu? Bagaimana juga Alzard tau Aurora tidak bermake-up?"Saking penasaran, Zack sampai mengamati wajah Aurora. Biasa saja. Penampilan Aurora sama saja seperti hari-hari lain.Namun semakin diamati, wajah Aurora mengingatkannya pada tokoh-tokoh bangsawan zaman dulu. Kla
Malam itu Aurora kembali sulit tidur. Terngiang ucapan Zack bahwa ia akan terus mencoba menggodanya hingga keinginannya terkabul. Wanita itu mengembuskan napas berat.“Apa aku mengadu pada Mami saja?” gumam Aurora. Kemudian dengan cepat ia menggeleng. Mami akan sangat murka pada Zack dan itu baik bagi kesehatannya.Pusing karena tidak menemukan jawaban, Aurora menenggak satu butir obat tidur dan langsung naik ke ranjang.Pagi harinya, pintu kamar Aurora diketuk seseorang. Wanita itu menyeret langkah dan membukanya. Alzard dengan masih menggunakan piyama berdiri di depan pintu.“Hai, temani aku berenang, yuk.” Alzard langsung menarik tangan Aurora.Aurora tidak sempat menolak. Lagipula ia cukup terhibur dengan adanya Alzard hingga ia tak harus selalu bersama Zack. Keduanya berpisah di kamar mandi kolam renang untuk berganti pakaian.Sementara itu, Zack yang masih tidur tiba-tiba terbangun oleh gelak tawa dari arah jendela kamarnya. Awalnya, ia mengabaikan suara itu dengan menutup teling
“H-Hah. Blurp, blurp.”Aurora benar-benar tenggelam. Ia segera berpegangan pada pinggir bathtub dan duduk dengan napas memburu. Tak sadar, ia telah tertidur dan tubuhnya merosot ke dasar bathtub.Di sekelilingnya tidak ada orang. Pasti tadi ia bermimpi ada yang membangunkannya hingga ia tidak kehabisan napas di dalam air. Segera saja, ia keluar dari bathtub dan berpakaian.“Nona sudah ditunggu sejak tadi di meja makan.” Seorang pelayan berkata santun pada Aurora saat ia keluar dari kamar.“Iya, terima kasih.”Kaki-kaki panjang Aurora segera melangkah cepat menuju ruang makan. Ia merasa tak enak hati, anggota keluarga lain menunggunya.“Mami, selamat pagi,” sapa Aurora yang langsung mencium pipi orang tua angkatnya tersebut.Ia juga menyapa Zack yang sama sekali tidak membalas, dan Alzard yang mengedipkan satu mata padanya.“Hai, Aurora sayang. Selamat pagi.” Clara tersenyum pada sang putri angkat dan mempersilahkan duduk di sampingnya.“Maaf, aku terlambat. Sempat ketiduran sebentar s
"Uhuk, uhuk, uhuk!"Zack tersedak minumannya mendengar pernyataan sang sahabat. Dengan cepat, ia mengelap mulut dan menatap tajam wajah Vigor."Jatuh cinta? Kau pikir aku percaya?" Zack sangat kesal mendengar pengakuan Vigor."Normal saja, bukan?" Lelaki itu masih terang-terangan menatap Aurora."Jaga matamu! Dia adikku!" sentak Zack."Adik angkat!" ralat Vigor. "Ya Tuhan, aku tak menyangka kau memiliki adik yang sangat cantik dan bertubuh bagus.""Jangan sentuh dia, Vigor. Atau persahabatan kita berakhir." Zack mengancam tegas.Bukannya takut, Vigor justru tergelak. Ia malah mengingatkan Zack saat lelaki itu merebut kekasihnya ketika mereka kuliah dulu. Tak tanggung-tanggung, Vigor malah menemukan keduanya di atas ranjang."Kau sudah memaafkanku. Kenapa kau ungkit-ungkit lagi masalah itu. Lagipula aku sudah menjelaskan bahwa mantan kekasihmu itulah yang mengajakku ke ranjangnya!""Ya, ya. Memang sudah kumaafkan. Tapi tidak akan kulupakan." Vigor mengibaskan tangannya."Dasar pendenda
Zack bernapas lega lalu menyandarkan tubuh lelahnya pada punggung sofa. Akhirnya pesta usai. Energinya seperti terkuras harus menyapa para tamu.Lagi-lagi, ia mendengar suara tawa. Kepalanya menoleh ke samping. Aurora dan Alzard sedang makan sambil bercanda.“Mereka memang begitu.” Tiba-tiba, Clara duduk di samping Zack. “Kalau bertemu selalu seru berduaan.”Zack tersenyum pada sang mami. “Kenapa Mami tidak istirahat saja? Pasti lelah ‘kan?”Clara menepuk lengan atas sang putra sulung. Wanita setengah baya itu mengatakan bahwa ia rindu mengobrol bersama Zack. Malam ini adalah kesempatan yang menurutnya tepat.Netra Clara berotasi ke sekitar kediaman mewah milik keluarga yang kini menjadi warisan Zack. Bibirnya mengukir senyum, matanya berkaca-kaca.“Terakhir Mami pergi dari sini, tempat ini hanya bangunan besar yang tidak terurus. Kamu memugarnya dengan sangat baik, Zack.”“Butuh hampir tiga tahun. Aku membangunnya satu lantai demi satu lantai, tergantung dananya.” Zack membanggakan d
“Cantik sekali.” Vigor memuji Aurora yang baru saja datang.“Terima kasih.” Aurora menjawab dengan senyum tipis. Ia duduk setelah Vigor mendorong kursi untuknya.Berbasa-basi, Vigor menanyakan perjalanan Aurora ke restoran ini. Dengan singkat, wanita cantik itu menjawab bahwa situasi jalan raya cukup padat yang menyebabkan ia sedikit terlambat.“Menunggu lama pun tak masalah untukku.” Vigor tersenyum penuh pengertian.Makan malam ini akhirnya disetujui Aurora sebagai tanda terima kasihnya karena Vigor memberikan champagne. Lelaki itu menolak dibayar, namun memberikan syarat agar Aurora bersedia pergi dengannya.Di luar dugaan Aurora, Vigor ternyata lelaki yang santun. Sikapnya sangat elegan sesuai dengan wajah karismatiknya. Dengan cepat, Aurora dapat mengurangi ketegangan.Baik Aurora maupun Vigor sama sekali tidak sadar, bahwa ada mata yang terus menerus memperhatikan mereka. Mata emerald milik Zack seolah tidak berkedip menatap pemandangan di depannya. Apalagi saat melihat Aurora d
“Bagaimana hubunganmu dengan adikku?” Zack bertanya penasaran pada Vigor.“Sangat baik. Entah kenapa dengan Aurora, aku merasakan ada ikatan batin yang kuat.”Zack menggeleng keras. “Gombalmu keterlaluan!”Embusan napas panjang dari Vigor membuat Zack yang sejak tadi sibuk bermain games beralih menatap sang sahabat.“Aku harus pulang. Kakek Viscout sudah mencariku.”“Ya, sudah, pulang sana. Kasihan kakekmu itu.”“Visaku masih satu bulan lagi. Sayang, kan? Tapi, sepertinya aku akan pulang setelah reuni kita akhir minggu ini.”Zack mengangguk penuh pengertian. Selain itu ia juga cukup lega karena artinya, Vigor tidak akan berdekatan dengan Aurora lagi.*****“June?” Aurora sedikit memekik kesenangan saat mendengar suara wanita yang meneleponnya.“Hai, cantik.” Suara balasan di sana membuat Aurora tertawa.June adalah sahabat Aurora sejak di bangku sekolah senior. Mereka bahkan satu universitas, hanya berbeda jurusan. June kini adalah seorang desainer yang cukup terkemuka.“Jadi, kamu ak