Makan semangkuk bubur membuat tubuhku kembali bertenaga meski masih sedikit bergetar saat digerakkan, aku sudah kuat melakukan shalat Subuh. Dari lawang pintu kulihat Ibu sudah berdiri hendak ke kamar mandi di bantu Ulfa.Aku segera menghampiri dan menyalaminya.“Terimakasih sudah datang, Nak,” ucap Ibu dengan senyum sayu.Aku mengangguk dan mencoba memapahnya. Namun, Ibu berhenti saat melihat kaki yang kugusur pelan, “Biar Ulfa saja, sepertinya kamu pun sedang sakit,” tolaknya.Aku menurut dan melepaskan genggaman tangan. Mas Aksa tidak terlihat, mungkin ia sedang keluar rumah. Sembari menunggu Mas Aksa, aku mengambil sapu dan membersihkannya, sudah hampir seminggu tidak memegang alat ini, rasanya rindu menjadi seorang istri.Hampir setengah jalan menyapu, Mas Aksa datang dengan barang belanjaan, ia berhenti dan menatapku sejenak.“Aku tidak perlu membayarmu kan?” tanyanya polos.Ya ampun, sebegitu jelekkah reputasiku sekarang? atau jangan-jangan dia sedang mengingatkanku tentang bub
Mobil melaju dengan kecepatan tinggi, mata Mas Aksa masih fokus pada jalanan, sedikit pun ia tidak bersuara apalagi menoleh padaku. Sungguh takut dengan kemarahannya yang seperti ini, aku lebih memilih dicerewetinya sepanjang hari.Mas Aksa membanting pintu mobil saat ia turun, berjalan cepat membuka kunci rumah. Sedang aku masih berdiam di dalamnya, berpikir ulang untuk ikut turun, menunggu sampai emosinya mereda.Tanpa kusadari Mas Aksa ternyata sudah ada di balik pintu mobil, menggedornya dengan keras karena aku menguncinya dari dalam.“Turun!” teriaknya.Penuh rasa takut, aku membuka pintu mobil perlahan, Mas Aksa cepat membukanya lebar, lalu tanpa basa-basi membopong tubuhku masuk ke dalam rumah.Ia menjatuhkannya di atas kasur, aku ketakutan dan meringkuk di dekatan sandaran ranjang. Melihatku yang ketakutakan Mas Aksa meremas rambutnya dan meraung-raung kencang. Aku hanya bisa menelan ludah menyaksikan itu.“Bagaimana kamu bahkan tidak bisa membela dirimu sendiri Hilya!” bentak
Situasi semakin canggung, aku merasa begitu tidak nyaman berada di tengah-tengan mereka semua, banyak hal yang menjadi kekhawatiran. Namun, berbeda dengan Mas Aksa, ia nampak masih menikmati suasana canggung ini. Tangannya perlahan mengambil makanan yang sudah terhidang, menikmatinya sembari melemparkan senyuman, menanggapi beberapa pembicaraan.“Nak Aziel sekarang kerja di mana?” tanya Ibu dengan mata berbinar, ia menyapa dengan suara yang paling lembut yang pernah kudengar. Begitulah Ibu, nada suaranya saja bisa dibeli dengan uang.“Saya bekerja di perusahaan kecil yang bergerak dalam bidang pemotretan,” jawab Aziel sembari melirik ke arahku.“Wah, benarkan?” saat ini suara Mbak Ratna terdengar antusias, dunia itu pasti sangat menyenangkan untuknya. Kami memang saudara dengan spesies berbeda, jangankan dari sifat, dari penampilan pun kami jauh berbeda, seperti air dan minyak yang tidak bisa disatukan. Mbak Ratna dengan rambut terurai dan dress selutut yang terlihat feminim, sedangk
Hari ini serasa mimpi buruk yang masih berlansung, belum cukup dengan kekagetanku melihat Mas Ilham keluar dari villa itu, sesaat setelahnya keluar seorang perempuan dewasa yang dibalut dengan pakaian mewah dan tas branded di tangan, nampaknya ia sedang melakukan panggilan dengan seseorang. Tubuhnya berhenti tidak jauh dari tempat kami terduduk.[Sayang, aku sudah kirim uangnya ya.][Jangan lama-lama liburannnya, aku akan merindukanmu.][Thank’s untuk hari ini.]Dadaku terus bergemuruh mendengar setiap kata yang diucapkannya, mungkinkah Mas Ilham menjual dirinya pada perempuan itu? untuk apa? usahanya selama ini bagus, kalau hanya untuk menghidupi dua orang saja harusnya cukup, karena Mbak Ratna pun masih belum diberi keturunan meski sudah memasuki usia pernikahannya yang ke tiga tahun.“Hilya,” ucap Mas Aksa mengelusik, membuyarkan lamunanku.“Iya Mas, udah baikan?” tanyaku sembari mendongakkan wajah.Mas Aksa menatapku lekat, lalu tersenyum.‘Hah’ hatiku langsung mencelos, senyum it
Sepanjang perjalanan, senyum hangat Mas Aksa seakan menguap entah kemana. Sekarang ia sudah kembali seperti gunung batu es di tengah-tengah gurun, tak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya, atau hanya sekedar menegur, menawari makan, minum atau yang lainnya. Kami sudah melakukan perjalanan hampir dua jam, langit sudah nampak gelap memasuki waktu Magrib. Perutku yang hanya diisi mie cup siang tadi sudah keroncongan kembali, entah aku yang begitu mudah lapar, atau ia pun merasakannya. Tapi, jika dilihat betapa santainya ia dalam perjalanan ini, aku ragu kalau Mas Aksa merasakan kegundahan yang sama.Mas Aksa berhenti di sebuah Masjid yang cukup besar dan bergegas turun agar bisa melakukan shalat Magrib berjamaah. Sedangkan aku yang kebetulan sedang datang bulan, hanya menunggunya di dalam mobil.Ponsel yang berada di dalam tas sejak di Villa tadi, terus berbunyi nyaring. Kulihat ada panggilan dari Ibu. Merasa ia hanya akan melampiaskan kemarahannya karena kejadian tadi sore, aku
Angin malam menusuk sangat dingin, jarang sekali aku berada di luar tengah malam seperti ini, tidak ada tanda-tanda Mas Aksa sudah membaca pesanku, di panggil pun tidak diangkatnya. Siapa yang sangat dikhawatirkannya hingga ia lupa pada istrinya sendiri?Aku menarik kaki untuk lebih dekat dengan dada, menelukupkan tubuh menutupinya, berharap jika saling dekat seperti ini mengurangi rasa dingin. Kendaraan sudah semakin jarang yang lewat, pedar cahaya lampu jalan dari kejauhan yang masih bisa membantu melihat sekitar, aku terduduk menyedihkan di dinding tembok pembatas, sudah mirip orang jalanan atau mungkin orang gila.Aku masih menatap ponsel, berharap ada orang lain yang bisa kuhubungi, tapi siapa? selain Mas Aksa, tidak ada lagi orang yang bisa kumintai tolong. Bukankah aku sudah seperti hidup sebatang kara sekarang?Bibir dan tubuhku terus bergetar, mata semakin berat untuk terbuka, sepi yang kurasa malam ini membuat rasa mengantuk begitu kuat menjalar. Namun, meski rasa itu begit
Aksa~“Hilya! kamu di mana?” teriakku memekikan pagi. Aku sudah memutari seluruh rumah tapi ia tidak ada. Apa mungkin Hilya tidak pulang semalaman? kemana? mungkinkah dia pergi dan meninggalkanku?“Hilya! bagaimana mungkin kamu bisa pergi dari rumah? apa yang akan kamu lakukan di luar sana? itu akan sangat bahaya untukmu yang lugu, polos, dan sedikit b*d*h!” gumamku khawatir, seraya mengeluarkan ponsel dari dalam tas.Mataku terbelalak saat menyadari pesan dari Hilya, ini sudah pagi dan aku baru membacanya, berkali-kali panggilannya pun tidak terjawab, aku terbiasa memakai mode silent karena tidak ingin terganggu, tapi membaca ini membuatku menyesal.Bergegas aku kembali mengunci pintu dan melajukan kemudi ke tempat di mana semalam menurunkan Hilya. Aku yang b*d*h karena berpikir dia bisa melakukannya, ternyata Hilya seperti anak kecil yang tidak tahu jalan pulang.Trotoar masih lenggang, tidak satu pun orang yang terlihat berkeliaran, aku mengemudi perlahan, mungkin saja ia ada di se
Wajah Mas Aksa semakin dekat, matanya yang melebar kini berubah membulat, sudah mirip telur mata sapi. Aih perut jadi laper!“Tunggu sebentar di sini ya Mas!” ucapku melengos, malas meladeninya. Emosi Mas Aksa masih saja meletup-letup kaya anak gadis yang baru datang bulan.Aku segera keluar dan melihat sekeliling.“Hilya!” teriak Mas Aksa yang kesal dengan tingkahku yang mengacuhkannya. Lama-lama aku mulai terbiasa dengan teriakan dan sikapnya yang menjengkelkan itu.“Samping TPS?” gumamku pelan, mendekat ke gerbang tempat pembuangan sampah. Di sampingnya memang terlihat beberapa rumah kumuh yang terbuat dari kayu seadanya dengan tembok yang nampak rusak. Tangisan bayi tiba-tiba terdengar nyaring, seolah ingin menyambut kedatanganku.Mataku celingukan mengintipnya dari jendela yang retak, terlihat seorang Ibu separuh baya mencoba menenangkan anak bayinya dalam gendongan. Aku yakin, ini rumahnya.Aku mengetuk pintu pelan. Cepat, terdengar suara langkah kaki mendekat.“Putri, kamu dari