Rizki berdiri di kejauhan, dalam diam memandang Alya yang sedang bersandar di batu nisan sambil berbicara dengan Nenek.Dia tidak dapat mendengar apa yang dikatakan Alya, tetapi dia dapat merasakan kesedihan dan keputusasaan Alya yang mendalam.Sikap Alya persis seperti dirinya ketika mengetahui kepergian Nenek.Tidak, bahkan ini jauh lebih buruk darinya.Rizki ingat ketika neneknya menjalani operasi 5 tahun yang lalu. Saat itu Alya tenggelam dalam fantasinya sendiri, menunjukkan betapa pentingnya Nenek baginya.Memikirkan hal ini, Rizki pun menyipitkan matanya. Dia mulai mengkhawatirkan kondisi Alya setelah melihat Nenek.Entah berapa lama waktu telah berlalu, cuaca lagi-lagi mulai memburuk. Terdengar suara petir yang bergema di langit.Cahya mendongak dan menemukan bahwa langit sudah terlihat gelap.Jadi dia pun mengerutkan keningnya dan mengingatkan, "Pak Rizki, sepertinya hujan akan turun. Bagaimana kalau kita hampiri Nona Alya dan kembali?"Rizki hanya berdiri dan tidak bergerak.
"Apa maksudmu? Bukankah waktu itu kamu sendiri yang mau cerai?""Aku mau cerai?"Alya seakan-akan baru saja mendengar sebuah lelucon. Dia langsung mendorong Rizki dan melangkah mundur, membiarkan seluruh tubuhnya terkena hujan.Raut wajah Rizki berubah ketika melihat ini, dia pun melangkah maju untuk memayungi Alya lagi.Melihat Alya yang masih ingin melangkah mundur, lengan Rizki segera melingkari pinggang Alya."Kalau mundur terus, kamu akan kehujanan.""Itu bukan urusanmu."Sambil berbicara, dengan wajah dingin Alya pun mencoba melepaskan diri, tetapi Rizki memegang pergelangan tangannya. "Kenapa itu bukan urusanku? Bagaimana kalau kita jelaskan semuanya di depan Nenek hari ini?"Mendengar kalimat terakhirnya, Alya menyadari bahwa mereka masih berada di makam Nenek. Meskipun mereka ingin bertengkar, mereka harus meninggalkan makam Nenek dulu.Mereka tidak boleh kehilangan kendali.Memikirkan hal ini, emosi Alya perlahan mereda. Dia pun mulai menenangkan diri.Dia menurunkan pandanga
Tadinya mereka hendak ke rumah sakit, tetapi sebelum sampai ke sana, Alya sudah bangun.Saat terbangun, dia menemukan dirinya terbaring di dalam mobil. Suhu AC mobil diatur sangat tinggi, tetapi Cahya yang duduk di depan masih basah dan mulai bersin-bersin. Pria itu terus-menerus menarik ingusnya.Alya bingung untuk sejenak. Ketika dia mengulurkan tangan untuk memegang kepalanya, dia bertemu dengan sepasang mata yang dingin.Rizki sedang duduk di ujung kursi belakang dan diam-diam memandangnya.Alya baru sadar bahwa tubuhnya telah mengisi seluruh kursi belakang, sehingga Rizki hanya bisa duduk di ujung.Dia ingin duduk, tetapi kepalanya agak pusing. Jadi dia pun terus berbaring seperti ini.Cahya yang duduk di depan tidak berhenti bersin.Dia tidak tahu kalau Alya sudah bangun. Setelah bersin, dia menjepit hidungnya dan menoleh ke arah Rizki."Pak Rizki, aku lihat punggungmu basah kuyup. Kenapa kamu bisa nggak bersin?"Mendengar ini, Alya tertegun. Melalui ucapan Cahya, dia kurang lebi
Melihat Rizki masih duduk di sana dan tidak bergerak, Cahya terpaksa dengan kasar berkata, "Kalau kamu nggak ganti baju, Nona Alya akan tahu kalau kamu melakukannya dengan sengaja saat melihatmu nanti.""Perkataanmu benar juga."Rizki akhirnya terbujuk, dia berdiri dan melepas jaket serta bajunya yang basah.Setelah berganti baju, Rizki memang jadi merasa lebih nyaman. Saat ini, ponsel Cahya tiba-tiba berbunyi.Cahya baru saja mengeluarkan ponselnya ketika mendengar atasannya bertanya, "Apa yang dia katakan padamu?"Cahya terdiam.Dia bahkan belum sempat membaca pesannya.Setelah membacanya, Cahya berkata, "Nona Alya bilang dia nggak enak badan dan mau tidur siang, jadi dia nggak akan makan siang bersama kita.""Nggak enak badan?" Rizki mengerutkan keningnya. "Telepon dia dan tanya dia mananya yang sakit?"Lagi pula, belum lama ini Alya pingsan. Mendengar bahwa dia tidak enak badan sungguh membuat orang-orang khawatir.Namun, Cahya tidak bergerak, dia hanya memegang ponselnya sambil me
Staf hotel yang melihat mereka berdua pun tampak terkejut."Kalian siapa?"Cahya menunjuk dirinya. "Kami yang tadi memesan makanan untuk teman kami, dia menginap di seberang."Mendengar hal ini, staf hotel tersebut tampak mengerti."Ternyata begitu, tapi sepertinya teman kalian nggak ada di dalam. Saya sudah menekan bel beberapa kali, tapi nggak ada yang menjawab.Saat ini, staf hotel tersebut dengan gugup menyarankan, "Bagaimana kalau kalian meneleponnya untuk memastikan apakah dia ada di dalam atau nggak?"Rizki melihat ke arah Cahya."Telepon."Cahya mengeluarkan ponselnya dan menelepon Alya. Dia kira teleponnya tidak akan diangkat, tetapi ternyata Alya segera mengangkatnya."Pak Cahya."Suara Alya terdengar jernih dan jelas, seolah-olah wanita itu tidak baru saja bangun tidur.Kalau begitu, seharusnya saat ini dia tidak tidur, 'kan? Kenapa dia tidak membuka pintunya?"Nona Alya, apa kamu sudah bangun tidur?"Alya duduk di lobi yang ramai dengan ponsel yang ditempel di telinganya. D
Dengan itu, Alya langsung menutup teleponnya. Di saat yang sama, senyum di bibirnya sudah menghilang.Setelah menutup telepon, Alya menyimpan ponselnya dan menarik koper kecilnya ke pintu pesawat.Di sisi lain, Rizki mengembalikan ponsel Cahya dengan wajah muram.Cahya melirik dan menyadari bahwa teleponnya sudah diputus. Ditambah dengan percakapan yang tidak sengaja dia dengar tadi, dia pun bertanya dengan hati-hati, "Pak Rizki, Nona Alya sudah pergi ke bandara?"Rizki tidak menjawab, tetapi wajahnya yang sehitam pantat panci sudah menjelaskan semuanya."Jadi ... apa yang kita lakukan selanjutnya?"Rizki meliriknya. "Kita kembali ke perusahaan dulu."Dengan itu, Rizki langsung memasuki kamar hotelnya. Ketika hendak mengikutinya, Cahya teringat dengan staf hotel yang telah mengantarkan makanan tersebut. Dia pun berkata, "Kami nggak menginginkan makanan ini lagi, kamu bisa membaginya dengan staf hotel yang lain. Orang di dalam kamar itu sudah pergi."Setelah itu, dia cepat-cepat mengiku
"Aku nggak butuh."Alya bergumam, "Aku nggak berencana untuk memiliki hubungan semacam itu lagi."Jawaban ini agak mengejutkan Angga."Jadi maksudmu, kamu nggak mau mencari pasangan lagi dan hanya ingin hidup sendiri?"Alya membuka matanya lagi. "Kurang lebih begitu.""Sebaiknya kamu pikirkan lagi baik-baik. Orang yang hidup seorang diri, nantinya akan sangat kesepian."Angga menyetir mengikuti lalu lintas dan bergabung dengan jalan utama. Sambil menyetir, dia berkata, "Lagi pula, manusia adalah makhluk sosial. Saat masih muda, kamu punya orang tua dan teman-temanmu yang masih lajang, sehingga kamu mungkin nggak terlalu memikirkan pernikahan. Tapi seiring bertambahnya usia, kalau nggak ada teman, orang tua ataupun anak di sisimu, kamu akan mulai merindukan memiliki seseorang untuk menemani dan makan bersamamu."Alya mendengarkan perkataannya dengan tenang dan tidak merespons.Karena dia sama sekali tidak sendirian.Dia memiliki dua anaknya."Saat aku masih muda dan sombong, aku juga be
Karena pada hari itu di kantor, reaksi Irfan memang terasa agak memaksanya. Dia saja merasakannya, apalagi orang yang menontonnya.Setelah itu, mereka berdua sesekali mengobrol sampai akhirnya mereka tiba di perusahaan.Alya langsung kembali ke kantornya.Dia juga menelepon Lisa, Lisa memberi tahu Alya bahwa hari ini Satya dan Maya masih bersamanya."Oke, pulang kerja aku akan langsung menjemput mereka."...Kota Suryaloka.Rizki kembali ke perusahaannya.Begitu tiba di perusahaan, Cahya langsung menerima berita yang mengharuskannya untuk berkemas dan pindah. Untuk sementara, dia akan bekerja di kantor cabang Kota Juwana.Mendengar hal ini, apa lagi yang Cahya tidak mengerti? Dia pun segera pergi untuk bersiap-siap.Rizki duduk di dalam kantornya. Sambil menekan perutnya yang sakit, raut wajahnya masih terlihat buruk.Hari ini Alya benar-benar membuatnya marah.Saat ini, Rizki benar-benar membutuhkan sesuatu untuk mengalihkan perhatiannya dan meredakan emosinya.Dia pun membuka ponseln