“Miss, you are so beautiful.”Bibir mungil dari pria kecil itu merekahkan senyuman. Sejurus kemudian dia menunjukkan ibu jari dan telunjuk yang dia satukan kepada Vivi. Gerakan tangan yang dipopulerkan oleh orang Korea sebagai lambang cinta.Terang saja Vivi membolakan mata, melirik kepada Reinald, yang berdiri tegak di belakang si pria mungil nan tampan itu.“Miss ini benar-benar cantik. Iya kan, Dad?” si mungil yang tampan itu mendongak, mengajak Reinald berkubu.Vivi merekahkan senyum, sedikit terpaksa. Kalau saja bukan anak kecil ….“Oh, thank you. Siapa namamu?”“Aku Lio, Miss. Lionel.” Lelaki kecil itu memperkenalkan diri tanpa diminta. Lagi-lagi melempar senyum dari bibir mungilnya. Manis sekali.Mata Vivi melirik lagi kepada Reinald.Reinald tergelak lepas.“Like father, like son,” desis lelaki yang berprofesi sebagai dokter itu sembari mengedikkan bahu.Vivi baru akan membuka mulut ketika ada seruan dari arah pintu masuk.“Lionel! Kamu tadi harusnya tunggu aku!”Bocah serupa
Pukul empat persis, mobil Jagat sudah sampai di kantor Riana.Jagat mengajak Vivi untuk turun dan menunggu di lobby kantor, tetapi Vivi tegas menolak. Terpaksalah Jagat menemaninya saja di mobil. Tidak enak juga meninggalkan Vivi di mobil sendirian, meskipun sang mantan ipar itu duduk di belakang. Membuat Jagat kelihatan seperti supir bagi seorang nyonya. Apalagi Vivi benar-benar berdandan sangat cantik hari ini.Lima menit berlalu. Dan Vivi sudah mulai gelisah. Berkali-kali menengok jam tangan lalu melemparkan pandangannya ke pintu gerbang kantor Riana.“Apa perlu Riana kita telpon, Gat, supaya tahu kita udah di sini dari tadi?” tanya Vivi.“Sabar, Kak. Mungkin dia masih beberes.”“Tapi udah jam empat lebih.”“Emang pegawai di kantor Kak Vivi jam empat udah keluar?”Vivi melengos.Jagat tertawa kecil. Dia tahu jika perempuan yang duduk di belakangnya itu pantang sekali jika ucapannya dibantah. Namun Jagat harus bisa belajar bersikap seperti Riana sekarang ini. Jangan selalu mengiyaka
“Ya Tuhan, Anin … kamu udah semontok ini sekarang? Mama kangen.” Riana menciumi pipi bocah gembul itu bertubi-tubi.“Anin kangen enggak sama Mama? Anin enggak lupa sama Mama kan?”Riana terus saja mengajak si bayi cantik itu berbicara.Anin membalasnya dengan tertawa-tawa. Rupanya dia belum terlalu lupa dengan Riana. Terbukti wajah Anin terlihat suka cita, tawa dan celotehnya pun menimpali tiap Riana mengeluarkan ucapan. Bocah itu seperti larut dalam obrolan bersama Riana. Sesekali tangan mungil Anin menyentuh pipi Riana.Sus Dian, yang berdiri di samping Riana dan Jagat tampak tersenyum-senyum. Dia agak merasa lucu, sebab Riana masih menyebutkan dirinya sendiri sebagai Mama kepada Anin. Ternyata setelah kasus kebohongan majikannya terbongkar, Riana tetap sayang kepada bayi Karisma dan Tyo itu.Anin tetap mencengkeram leher Riana saat Jagat hendak mengambil alih tubuhnya yang montok itu. Anin tidak ingin lepas dari pelukan Riana. Bocah itu bahkan mengoceh dengan lengkingan tinggi, sea
Mata Vivi berkilat melihat Karisma dalam bentuk yang tidak berdaya. Dengan tangan bersidekap, dia terus menancapkan pandangan.Sedang Karisma, hanya bisa menggerak-gerakkan bola matanya dengan gelisah. Sekuat tenaga dia sudah menjerit namun benar-benar hanya suara seperti bunyi burung gagak. Namun nadanya lemah, tidak senyaring buruk gagak aslinya.“Ak – ak – ak.”Bersamaan dengan bunyi itu air liur Karisma berlomba-lomba keluar. Dudung mengelap mulut Karisma menggunakan handuk kecil yang memang selalu dia bawa. Dengan gerakan kasar, Dudung meraup mulut Karisma.“Dia ngomong apa, Dung?” tanya Vivi kepada Dudung yang berada di belakang kursi roda Karisma.“Enggak tau, Nyonya. Dia memang hanya bisa berbunyi begitu.”Vivi tertawa. Perempuan cantik itu setengah berjongkok, mensejajarkan matanya dengan mata Karisma.“Makanya kamu jadi perempuan itu ya yang bener, udah bener-bener diciptakan jadi perempuan cantik, malah cosplay jadi binatang, jadi dibikin binatang beneran kan sama Tuhan. It
Sulis melihat kelopak mata istrinya sedikit demi sedikit bergerak, kemudian terbuka pelan-pelan. Wajah Widya masih menengadah ke langit-langit beberapa detik, pada hitungan ke tujuh perempuan itu menggerakkan lehernya.Widya tersenyum. “Pa ….”Sulis membalas senyum. Tangan lelaki itu bergerak, mendarat lembut di kepala dekat dahi. Dielusnya sang istri dengan sayang.“Operasi Mama berhasil,” tuturnya, tidak kalah lembut dengan gerakan tangan Sulis yang terus membelai. “Sekarang serpihan tulang-tulang itu tidak akan mengganggu lagi. Sudah bersih semua.”“Jadi Mama enggak diamputasi kan, Pa?”Sulis menggeleng. Tiba-tiba dia berhenti mengelus, ditariknya tangan kanan itu dan ganti dia pakai untuk mengusap wajahnya sendiri dengan kasar. Tampak jari jemarinya bergetar.“Ada apa, Pa? Apa ada kabar buruk lainnya?” Widya seakan tahu isi hati suaminya.Sulis meringis, menatap mata Widya sekejap kemudian menunduk. Apakah bijak jika Widya diberit
“Tolong batalkan kesaksian Papa dan Mama,” kata Tyo dengan suara tegas.Sulis terkesiap, matanya membuka lebih lebar.“Yo … kamu bercanda kan?”Anak sulung Widya itu menggeleng. Gerakannya setegas kalimat yang dia ucapkan di awal.Sulis menatap putranya dengan pandangan nanar tidak percaya, kemudian dia menelan ludahnya berlahan. “Apa ini ada hubungannya sama pembatalan kesaksian Naren? Jangan berkecil hati, Yo, kita pasti dapat saksi yang lebih bagus, Pak Baskoro bilang kemarin dia—““Enggak, Pa. Ini bukan tentang siapa-siapa. Tapi tentang Jagat.”“Jadi Jagat mengancammu?” Geraham Sulis tiba-tiba mengerat kencang. Tangan pun terkepal. "Anak pembawa sial itu memang tidak pernah berhenti membuat ulah yang menjengkelkan. Papa pastikan dia akan menerima akibatnya, Jagat tidak bisa menyakiti kamu."Tyo menutup wajahnya, sejurus kemudian melenguh kencang.“Yo, kamu tenang saja—““Pa.” Lagi-lagi Tyo memotong ucapan Sulis.Kali ini dia ambil tangan Sulis, kemudian dia genggam telapak tangann
Baskoro Yuda Pratama. Laki-laki berdarah jawa tulen yang sudah menjadi pengacara sejak dirinya berumur dua puluh lima tahun itu, sedang merasa sangat kesal. Baru sekali ini mendapat klien yang sungguh-sungguh tidak jelas.Pada awalnya mereka yang memaksa-maksa untuk menang dengan berbagai cara. Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba mengibarkan bendera putih. Bahkan pertempuran baru saja mulai.“Mereka pikir urusan begini seperti main karambol di pos ronda, yang gampang dibubarkan sewaktu-waktu,” gerutu Baskoro.“Ya, sudahlah, Pak, pada akhirnya kita juga akan tetap kalah. Kita sudah tau itu dari awal kan?” hibur Heru, asisten pribadinya.“Tapi enggak gini juga caranya, Her. Tersinggung aku diperlakukan begitu tadi.”“Bapak sebenarnya kesal karena enggak bisa dapat uang dari Pak Sulis lagi, bukan perkara yang lain. Iya apa iya?”Heru tergelak, dan Baskoro melengos. Namun bibir pengacara tam
“Ini rumahku, Kak. Total luasnya hampir sama ama kamar Kakak, kan?” Riana melempar canda.Vivi diam saja. Dia membuka helm, dan merapikan rambutnya. Kemudian dia mengikuti Riana untuk masuk.“Duduk dulu ya, Kak. Aku ambilkan minum, sekalian panggil Mas Jagat,” ujar Riana sembari terus masuk.Lagi-lagi Vivi diam saja. Mata perempuan cantik itu mengedar sekilas, lalu duduk berlahan. Seumur hidupnya, dia baru beberapa kali masuk ke rumah sempit macam ini. Hitungannya mungkin tidak melebihi jumlah jari di kedua tangannya. Rumah pengasuhnya, rumah salah satu pegawainya, dan entah rumah siapa lagi. Yang jelas Vivi ingat, dia mendatangi rumah-rumah itu untuk melayat. Baru sekali ini dia ada di bangunan seperti ini untuk bertamu.Viona Diandra Latif adalah anak manusia yang bergelimang harta sejak dilahirkan. Dia menghuni rumah luas nan megah, dengan ruang-ruang banyak yang diisi perabotan mewah. Akan tetapi selalu dihuni berdua, dan pada akhirnya menjadi sendirian.Vivi tertunduk, teringat s