Maaf sekali karena baru sempat updateššš
"Damar? Kamu kok ada di sini. Liana mana? Terus Om Sahid?" ucapku mengabaikan seringainya. Ini Damar yang sama seperti yang beberapa menit lalu ketemu aku di sini kan? Aku sampai meragukan penglihatanku. "Ada urusan katanya. Jadi dia pulang duluan."Sontak, aku mengerutkan dahi. Kok Liana pulang nggak bilang aku? Aneh."Yang bener?" ucapku sambil meraih ponsel dalam tas. Namun, Damar yang sudah duduk di sebelahku merebutnya lalu mematikan panggilan yang sudah tersambung. "Lo itu apa-apaan si, Mar! Kembaliin handphone gue.""Duh, galak banget. Tapi nggak pa-pa deh. Kalau lagi marah gini jadi makin cantik."What? Apa telingaku nggak salah denger. Aku yakin orang di hadapanku ini hanya meminjam raga Damar, sedangkan isinya fixed orang lain."Aku masih menengadahkan telapak tangan. "Jangan bercanda, Mar. Cepet kembaliin!"Meski berusaha bersikap biasa tapi jujur saja jantungku sudah melaju cepat. Terlebih Damar yang kian menempel padaku. Aku mencoba menjauh, dia ikut bergeser. Sampai akh
Kami semua memandang Damar, menuntut penjelasan yang akan keluar dari mulut Pak Hakim itu. Tapi sekejap kemudian dia malah tertawa. "Gue nggak pernah ke sana, Fif. Tempatnya aja gue nggak tau. Waktu Liana telepon kalau lo pingsan, dari rumah gue langsung ke sini," ucapnya santai. Liana ikut mengangguk. "Iya bener, Pak. Damar kan tadi mau dateng sama orang tuanya ke rumah, tapi karena batal jadi dia langsung ke sini. Liana tahu karena pas tadi Liana telpon dia, ada suara Ibunya yang kedengeran."Aku mendadak bingung dengan apa yang Rafif katakan. Waktu aku dan Liana ke pemancingan pun, tidak ada Damar di sana. Apa jangan-jangan, ada orang lain yang juga mirip Damar? Aku jadi ingat sosok yang tadi menggodaku di depan ruang ct scan. Dia memang sangat mirip Damar, tapi pakaiannya berbeda. "Tunggu dulu, deh. Tadi di depan ruang ct scan, ibu juga ketemu sama Damar. Waktu kalian semua lagi ada di kafe, seseorang datang dan mengganggu ibu.""Ha? Kapan, Ri?" ucap Damar penasaran. "Gue ke san
Tampak kedua mata Liana sudah mulai berkaca. Pasti dia sedih setelah mengetahui kalau lelaki yang dicintainya lebih sering menyebut namaku. Bukan namanya. Kupeluk bahunya semakin erat dan mendekatkannya ke dadaku."Bu, itu kan dulu. Sekarang calon istriku itu ya Liana, gadis cantik di depan Ibu itu. Mulai detik ini hanya nama Liana yang akan kusebut-sebut," ujar Damar sambil melihat ke arah Liana. Tak lupa senyum hangat ikut meluncur beriring dengan sorot mata penuh cintanya ke Liana. Sontak, aku bernapas lega. Aku bisa melihat ketulusan di mata seniorku itu. Liana pun melengkungkan kedua sudut bibirnya ke atas. "Baiklah untuk mempersingkat waktu, saya akan langsung menyatakan maksud kedatangan kami ke rumah ini. Kami bermaksud ingin melamar nak Liana untuk jadi menantu kami. Kami harap maksud baik kami bisa diterima dengan baik oleh Bapak Ibu, dan juga Nak Liana," ucap ayahanda Damar. Jujur, agak aneh saat kami disebut bapak ibu oleh bapak dari Damar tadi, toh usia putranya lebih t
Seketika tubuhku gemetar. Bahkan, tanganku mendadak lemas dan tak mampu menahan berat ponsel. "Bu, Ibu nggak pa-pa? Kok wajahnya pucat gitu?" ucap Liana seraya mengambil ponselku dari atas sofa. "Siapa sih yang nelepon?" Sayangnya, layar ponselku mati hingga Liana tidak bisa melihat nomor yang sedang meneleponku. Sontak, aku memutar tubuh menghadap Liana. "Kak, tadi itu Andra yang nelepon. Dia bilang...." Sebuah tarikan napas kumunculkan di antara kalimatku. "Rajata kangen ibu. Setelahnya panggilan terputus.""Loh, kok gitu. Maksud dia apa?"Aku menggeleng pelan. "Coba kakak telpon dia lagi." Liana mengambil ponsel dari dalam sakunya lalu meletakkan ponselnya di telinga. Beberapa saat kemudian ia bicara dengan seseorang yang sepertinya Andra. "Hallo, Ndra." Liana berucap kesal. "Tadi maksud lo nelpon nyokap gue mau ngapain? Pake nyebut-nyebut nama almarhum Rajata, adek gue?" Putriku itu kemudian menjauhkan ponsel dari telinga dan membesarkan volume telepon selularnya."Kak, Kak Lili
Pov AuthorJakarta, tahun 2000"Ini buat, Kakak," ucap seorang gadis berambut sebahu seraya menyodorkan sebuah amplop berwarna merah jambu. Damar tak langsung merespon. Tanpa bertanya dan membuka isinya pun, ia sudah paham apa isi surat itu. Surat berisi pernyataan cinta gadis itu. Sama seperti puluhan gadis Tunas bangsa lainnya. "Oke, makasi," kata Damar sambil memamerkan senyum khasnya. Senyuman yang membuat seisi sekolah terpesona. Maklum saja, siapa yang tidak tertarik pada sosok pemuda gagah, tampan, pintar dan menjabat sebagai ketua OSIS? Bisa dibilang, jabatan ketua OSIS saja sudah mampu menjadi magnet membuat seisi sekolah. Ditambah dengan kelebihan wajah menawan dan otak encer, semakin sempurnalah Damar di mata para kaum hawa. Sontak, gadis berambut sebahu yang diapit oleh kedua temannya itu histeris."Arrgh, gue disenyumin Kak Damar.""Senyumnya gilaaa, maniis kayak gula."Jerit mereka yang membuat Damar langsung menautkan kedua alisnya. Damar lalu memutar tubuhnya dan men
Setelah berkenalan dengan Riana, Damar selalu berusaha mencari tahu di mana keberadaan Riana. Ia pun jadi suka berkunjung ke perpustakaan. Ia penasaran kenapa pesonanya sebagai cowok yang paling diinginkan satu sekolah tak bisa membuat Riana ikut menjadi penggemarnya. "Hai, ketemu lagi kita," sapa Damar saat menghampiri Riana yang tengah membaca buku di perpustakaan waktu jam istirahat. Riana hanya membalas dengan senyuman. "Baca buku apa?" Lagi-lagi Riana diam. Ia hanya menutup buku yang sedang dibacanya dan membatasinya dengan ibu jari kanannya. Riana lalu menunjukkan sampul buku bertajuk The Hound of Baskerville pada Damar. Damar mengangguk beberapa kali. Sudah jelas bahwa gadis di depannya ini tipikal cewek yang suka dengan misteri. Bacaannya saja kebanyakan buku detektif. Pasti itu akan berpengaruh pada cara berpikirnya."Oh, iya. Gue bawa, ni buku Trio Detektifnya," ucap Damar berusaha menarik perhatian Riana, dan dia berhasil. Sontak bola mata almond milik Riana membulat. I
āMar, kenapa sih, kelihatannya seneng banget?ā ucap Sasti, ibunda Damar di tengah aktivitasnya makan malam. āIya, Le. Tumben sampai lebar gitu senyumnya? Sudah lama bapak nggak liat wajahmu sesemringah itu?ā Narto ikut bicara.Damar sontak terperenyak, tidak menduga jika kedua orang tuanya memperhatikan kelakuannya.āEnggak pa-pa, Pak, Bu. Damar cuma lagi inget seseorang.āāSiapa dia, Le? Wanita? Ayo cepat dilamar saja. Kamu kan sudah cukup umur. Sudah lebih malah. Keponakanmu saja sebentar lagi mau nikah. Masak omnya belum.āDamar tertawa. Sejenak kemudian ia menatap wajah ibunya yang ikut tersenyum dan penuh harap. Damar sebenarnya sangat ingin mewujudkan keinginan bapak ibunya, tapi hingga saat ini ia belum jua menemukan wanita yang bisa menggetarkan hatinya seperti Riana dulu melakukannya. āAndai saja Darma masih ada, pasti dia juga sudah menikah, ya, Pak?ā Air muka Sasti tiba-tiba berubah hingga membuat hening mendadak muncul di tengah-tengah mereka. Darma yang merupakan saudara
Masih dengan senyum miring, Damar memangkas jarak dengan Riana. Meski risih, Riana terpaksa menerima saat Damar sang menantu mencium kedua pipinya. "Makasi sudah menerimaku sebagai menantu, Ibu Mertua, I love you," ujar Damar jahil sehingga membuat Riana membelalak. Saat wajah Damar menjauh, Riana cepat mendekatkan wajah mereka lagi. "Hei, menantu, awas ya kalau kamu berani macam-macam dengan anakku," bisik Riana tepat di telinga Damar. Sesaat kemudian, Riana menjewer telinga Damar. Sontak saja Damar mengulum senyum. Sekeras mungkin ia menahan tawa agar suasana syahdu yang sudah tercipta tidak menguap. Namun, gagal. Tetap saja aksi jahilnya mengundang perhatian orang-orang di sekitarnya. Terutama, Liana, Rafif dan kedua orang tua Damar.Riana yang menyadari kalau puluhan pasang mata tengah menghujaninya dan Damar, langsung memasang wajah sedih. Ia juga memberi kode pada Damar untuk melakukan hal serupa. Beruntung Damar segera mengikuti apa yang Riana inginkan. Setelah akad nikah, re