Share

5 Hanya Menikah Siri

“Nenekku! Apa kamu tidak bisa sedikit saja menutupi masalah ini supaya kesehatan nenek aku baik-baik saja?” tanya Gio geram dan bernada intimidasi.

“Kamu minta aku untuk menutupi pernikahan kamu yang lainnya?” Kalila menatap Gio tak percaya. “Kenapa kamu tidak jujur saja sama nenek kamu?”

Gio menarik napas panjang.

“Aku sama Nia hanya menikah siri, aku butuh waktu untuk memberi tahu nenekku.”

Kalila merasa bimbang, di sisi lain dia merasa telah ditipu mentah-mentah oleh pria yang bergelar suaminya. Namun, di sisi lain ada perasaan seorang wanita baik hati yang telah banyak berjasa besar terhadap keluarganya.

Mana yang harus Kalila pilih?

“Kamu beri tahu nenek sekarang saja, aku siap mundur dan jadi saksi.”

“Kamu tidak paham situasinya, Lila!” bentak Gio frustrasi. “Sudahlah, kamu tinggal menurut saja dan aku akan mencukupi semua kebutuhan kamu selama kamu jadi istriku, oke?”

Kalila tersenyum miring. “Kamu berusaha membujukku?”

“Terserah apa katamu, yang jelas aku tidak bisa menceraikan kamu sekarang. Nanti di saat yang tepat, kita pasti akan bercerai. Aku juga tidak mencintai kamu kok,” sinis Gio sambil memandangi Kalila dari ujung rambut hingga ujung kaki.

“Aku tetap mau bercerai.”

“Kamu!” Wajah Gio memerah. “Ikuti rencanaku, atau aku akan buat orang tuamu hidup miskin seperti sedia kala.”

Kalila terperanjat, tidak menyangka jika Gio akan bertindak sekejam itu dengan mengancamnya sedemikian rupa.

“Orang tuaku juga mertua kamu, Mas.”

“Aku tahu, hitung saja sudah berapa banyak jasa yang dilakukan nenekku untuk orang tuamu.”

“Itu adalah urusan nenek dengan orang tuaku, kenapa jadi kamu yang mengungkitnya seakan meminta balasan?” tanya Kalila tidak terima.

“Karena aku adalah cucunya, dia berharap aku bisa bahagia jika menikah sama kamu. Tapi kenyataannya apa?” Gio menatap tajam Kalila. “Melihat wajahmu saja sudah bikin aku sangat muak.”

Ada yang luka, tapi tidak berdarah. Itulah yang Kalila rasakan saat ini, ucapan Gio tidak ubahnya seperti belati yang ditancapkan berulang kali di atas luka yang belum mengering.

“Terus kenapa kita tidak bercerai saja?” tanya Kalila antara tersinggung dan juga sakit hati.

“Kamu ini bukan hanya polos, tapi bodoh. Kamu tidak dengar aku tadi bilang apa?”

“Aku ....”

“Nenek sudah berumur, aku khawatir kesehatannya terganggu kalau kita bercerai sekarang.” Gio menegaskan. “Jadi aku terpaksa mempertahankan pernikahan kita, setiap bulan aku akan kasih nafkah sesuai kewajiban. Ingat, hanya nafkah lahir. Jangan bermimpi untuk mendapatkan nafkah batin dariku ....”

Astaghfirullah, jerit Kalila dalam hati. Pernikahan macam apa ini? Sudah dijadikan istri kedua, tidak dicintai, dan dipaksa untuk meneruskan pernikahan.

“Hari ini jangan banyak tingkah, aku mau ke penginapan Nia. Besok aku akan datang ke sini untuk jemput kamu,” pesan Gio lagi sebelum akhirnya dia pergi meninggalkan Kalila seorang diri.

Selama beberapa saat, Kalila masih bergeming. Dia tidak mengira jika dunianya yang semula baik-baik saja bisa terbalik seratus delapan puluh derajat seperti ini.

Dulu, Giordano Reihansyah datang baik-baik bersama ibunya dan sang nenek ke rumah orang tua Kalila untuk mempersuntingnya.

Sebagai anak penurut, Kalila mau-mau saja dijodohkan dengan Gio. Apalagi saat itu dia cukup terkesan dengan karakter yang diperlihatkan calon suaminya, yakni tidak banyak cakap dan menuntut.

Namun, kini Kalila tahu bahwa apa yang Gio perlihatkan pada keluarganya ternyata hanyalah sebuah topeng untuk menutupi kebohongan besar yang dia sembunyikan.

***

Yana menjemput pasangan suami istri itu sesuai jadwal yang telah disepakati.

“Nenek tanya apa saja?”

“Kenapa ponsel Tuan dan istri tidak bisa dihubungi,” jawab Yana memberi tahu seraya membukakan pintu mobil.

“Kamu tidak bicara macam-macam tentang lokasi bulan madu kami?”

“Saya tidak berani, Tuan. Nenek Anda tetap mengira kalau Anda sedang berlibur di pantai Pattaya ....”

“Bagus.”

Kalila diam saja ketika Gio duduk di sampingnya, pikiran wanita itu masih penuh dengan fakta tidak terduga jika dia ternyata menjadi istri kedua.

Setibanya di rumah, nenek menyambut mereka dengan pelukan hangat dan rentetan pertanyaan tentang bulan madu yang telah dia siapkan jauh-jauh hari.

Termasuk soal cicit.

“Jadi kapan nenek bisa menggendongnya?”

Wajah Kalila seketika berubah pias, dia tidak akan mungkin mempersembahkan seorang cicit pun karena Gio sampai detik ini belum bersedia menyentuhnya.

“Bu, biarkan mereka istirahat dulu. Perjalanan mereka sangat jauh, pasti capek dan butuh tidur.” Seorang wanita dengan tampilan berkelas menengahi, dia adalah ibu kandung Gio alias mertua Kalila.

“Ah iya, kamu benar, Soraya.” Nenek mengangguk-angguk setuju dan membiarkan Kalila berlalu pergi ke kamar bersama Gio.

“Kamu mau istirahat dulu atau ....”

“Urus saja diri kamu sendiri,” tukas Gio tidak senang di saat Kalila mencoba untuk memperhatikannya.

“Oh, oke.” Kalila terpaksa menerima jawaban itu. “Sebelumnya, tolong hapus kunci layar ponselku.”

Gio berdecak. “Merepotkan sekali kamu ini.”

“Suruh siapa kamu menerapkan kunci layar di ponselku?”

“Jangan berani menjawab kalau suami sedang bicara!”

Kalila sontak diam, Gio merebut ponsel itu dan menghapus kunci layar yang sempat dia terapkan untuk mencegah istrinya berkomunikasi dengan orang lain selama bulan madu.

Sebelum Kalila sempat mengucapkan terima kasih, Gio sudah keburu menghilang di balik pintu kamar mandi. Dia memilih untuk langsung mengistirahatkan tubuh di tempat tidur, berharap matanya dapat terpejam dan melupakan sejenak masalah besar yang sudah menantinya.

Menjadi yang kedua, betapa mengenaskan rasanya ....

Dan Kalila pun akhirnya terlelap.

“... tentu saja jadi, kamu tidak perlu khawatir ... kita akan tetap pergi liburan ke pantai Pattaya ....”

Di antara sadar dan tidak, samar-samar Kalila mendengar suara Gio yang sedang berbincang dengan ponsel yang menempel di telinganya.

“Sudah aku bilang, kita tidak bisa bertindak buru-buru ... Dia memang istri sahku, tapi hati dan perasaanku bukan buat dia. Kamu tidak usah khawatir, oke?”

Kalila tetap memejamkan mata, ucapan Gio selalu tidak pernah gagal membuat hatinya teriris perih.

Menikah karena perjodohan ternyata membuat hidup menderita, pikir Kalila setengah menyesal. Namun, untuk mundur pun dia juga merasa tidak punya kuasa.

“Aku ingin membicarakan tentang pernikahan kita dan hal-hal apa saja yang harus kamu lakukan,” kata Gio di saat dia mendatangi Kalila malam itu.

“Hanya aku saja yang akan melakukan? Melakukan apa?”

“Apa saja yang aku suruh, itu sudah tugas seorang istri kan?”

Kalila menyipitkan matanya. “Kamu menganggapku istri?”

“Ya, setidaknya di arsip negara.”

Jawaban telak Gio lagi-lagi tidak enak didengar, tapi Kalila berusaha biasa saja.

“Kalau nenek tanya soal pernikahan kita, kamu harus cerita yang baik-baik tentang kita. Bilang saja kalau kamu sangat bahagia, atau ... kita sudah mulai saling mencintai.”

Kalila nyaris muntah mendengarkan instruksi Gio, yang sangat mustahil untuk dilakukan.

“Sampai kapan aku harus berpura-pura?”

“Sampai aku bilang sudah waktunya untuk diakhiri.”

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status