Share

4 Tidak Pantas untuk Ditangisi

“Tidak punya malu, apakah karena kamu segitunya tidak laku, terus kamu memilih selingkuh sama suami orang?”

“Aku tidak selingkuh!”

“Terus ini apa peluk-peluk suami orang lain?”

“Lila, cukup.” Gio menukas. “Nia benar, dia tidak selingkuh.”

“Oh, kamu membela pelakor ini!” Kalila berseru dengan suara keras. “Apa tidak ada laki-laki lain yang bisa kamu dekati selain suami orang, Nia?”

Sumpah demi apa pun, menyebut nama wanita itu saja rasanya begitu jijik bagi Kalila.

“Jaga suaramu, Lila. Jangan fitnah!” bantah Gio, khawatir kalau-kalau ada orang yang mendengar perdebatan mereka.

“Aku tidak fitnah, dia memang pelakor kan? Kamu sampai mati-matian membelanya seperti ini ... Sekarang kamu pilih, istri sah kamu atau selingkuhan?”

“Aku bukan selingkuhan!” jerit Nia tertahan, membuat situasi semakin runyam karena satu-dua orang yang kebetulan berada di halaman kini memusatkan perhatian ke arah mereka.

“Nia, kamu juga jangan teriak!” desis Gio gusar. “Kalian ini bisa tidak tahan emosi?”

“Tidak, Mas. Kamu harus memilih sekarang juga ....”

“Tentu saja Mas Gio akan memilihku, setidaknya dia tidak akan meninggalkan aku demi kamu.” Nia tersenyum mengejek.

Kalila diam saja, tapi tatapan matanya terarah kepada Gio yang masih berdiri rapat dengan si pelakor.

“Seandainya bisa memilih, tentu aku akan memilih Nia.” Jawaban Gio akhirnya terlontar dari bibirnya, membuat tubuh Kalisa seolah tidak bertulang.

“Kamu lebih memilih dia, Mas?”

“Ya, kamu mau dengar jawabanku kan? Inilah jawaban jujur dariku.” Gio mengangguk tegas, tidak peduli bagaimana perasaan Kalila terhadapnya.

Toh mereka bisa ke jenjang yang lebih serius karena perjodohan yang sudah diatur oleh neneknya.

“Aku ini istri kamu, Mas. Kenapa ....”

“Karena Nia adalah istri aku juga.”

Blarrr!

Bak tersambar petir di siang bolong, Kalila memejamkan mata sejenak setelah Gio mengakui status Nia yang sebenarnya.

“Dia ... istri kamu? Terus ... aku ini apa bagimu?”

“Kamu adalah ....”

“Kamu itu istri kedua!” sela Nia penuh kemenangan. “Sadar diri makanya!”

Kalila menatap Gio tidak percaya, dan untuk pertama kali selama interaksi mereka, pria itu membuang muka darinya.

“Aku istri kedua, itu ... itu tidak benar kan?” ucap Kalila dengan suara bergetar.

“Begitulah ...” Nia semakin mempererat pelukannya pada lengan Gio, sesuatu yang tidak mungkin bisa Kalila lakukan. “Akulah istri pertama Gio, jadi sangat wajar kalau aku diprioritaskan.”

“Jawab, Mas!” sentak Kalila tertahan. “Kamu laki-laki bukan?”

“Oke, Nia memang istri pertamaku! Sedangkan kamu hanya istri kedua, puas?” Gio menoleh dan menatap Kalila dengan garang.

Mata Kalila memanas penuh emosi, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk meluapkan seluruh rasa yang kini berkecamuk di dalam dada.

“Baiklah, kalau begitu aku pulang duluan!” Kalila berbalik tepat ketika titik-titik kristal bening itu luruh dari kedua matanya yang lentik, dia berjalan cepat meninggalkan pasangan suami istri yang dia kira adalah pasangan peselingkuh pada awalnya.

“Lila!”

“Apa sih, Mas? Biarkan saja perempuan itu pergi, pelakor kok teriak pelakor!” cibir Nia tanpa rasa bersalah sama sekali.

“Bukan itu masalahnya, Nia!”

“Terus? Jangan bilang kalau kamu mulai mencintai istri kedua kamu itu?” Nia melotot.

“Bukan begitu juga ...” Gio mengacak rambutnya gusar.

“Ya sudah, kita nikmati saja momen-momen romantis di sini sebelum besok kamu pulang sama dia.”

Gio berdecak pelan. “Aku minta pengertian kamu sedikit saja, aku harus menemui Lila untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi antara kita.”

Nia melepas tangannya, kemudian ekspresi wajahnya berubah menjadi cemberut.

“Kalau begitu cepat kejar dia, hibur dia dan peluk dia kalau perlu.”

“Aku tidak akan melakukan itu, aku hanya mau menjelaskan permasalahan kita.” Gio mencoba membujuk.

“Terserah.”

“Nanti malam kita bertemu lagi, aku janji.”

Nia tidak merespons.

“Aku tahu kamu istri yang baik dan bisa diandalkan,” puji Gio. “Aku pergi, ya?”

Mau tak mau, Nia mengangguk.

***

Bisa-bisanya dia, Kalila mengusap pipinya berkali-kali untuk membendung laju air mata yang tidak henti menetes.

Gio sama sekali tidak pantas untuk ditangisi, Kalila tahu itu. Namun, rasa sesak di dada sudah seperti batu yang mengimpit paru-parunya hingga dia susah untuk bernapas.

Setibanya di kamar penginapan, tangis Kalila luruh membanjir tanpa bisa ditahan lagi.

“Bisa-bisanya aku jadi istri kedua ...” ratap Kalila dengan suara yang teredam di sela-sela sedu sedan. “Kenapa, Nek? Kenapa tidak jujur soal status pernikahan cucumu?!”

Kalila memeluk dirinya sendiri, dia tidak tahu sampai berapa lama tangisan itu terus berlangsung hingga dia ketiduran.

Ketika tersadar kembali, Kalila mendapati Gio sudah duduk di sofa dan menghadap televisi yang menyala. Dia bergegas pergi ke toilet untuk membasuh wajahnya, biar bagaimanapun dia tidak ingin bekas-bekas air mata ini sampai dilihat Gio.

Tidak ingin menunggu waktu lama, Kalila segera memasukkan baju-baju dan barang lainnya ke dalam koper.

Tidak dipedulikannya Gio yang melayangkan tatapan menghakimi ke arahnya seakan mempertanyakan keputusan Kalila.

“Siapa yang suruh kamu untuk beres-beres?”

“Tidak ada.”

Gio geram sekali karena Kalila tidak mendiskusikan terlebih dahulu apa yang ingin dia lakukan.

“Kita masih ada waktu satu hari untuk bulan madu kita,” kata Gio mengingatkan. “Nenek akan curiga kalau kita pulang sekarang.”

Kalila tetap memasukkan barang-barangnya ke dalam koper tanpa ingin buru-buru menanggapi ucapan Gio.

“Kamu lanjutkan saja bulan madu kamu, aku tidak melarang ....”

“Terus kenapa kamu malah pulang?”

“Memangnya ada gunanya aku di sini?” Kalila lantas menatap Gio. “Tidak ada, kan?”

Gio terdiam sejenak.

“Tapi kalau kamu pergi, nenek akan bertanya macam-macam.”

“Kamu tinggal bilang kalau kamu sedang bersama istri kamu itu,” ujar Kalila enteng.

“Yang nenek tahu, istri aku itu adalah kamu.”

“Jadi? Nenek kamu sendiri tidak tahu kalau Nia itu adalah istri kamu juga?”

Gio menggeleng perlahan.

“Baguslah,” ucap Kalila sembari menutup rapat kopernya. “Dengan begitu aku akan lebih mudah untuk mengajukan perceraian, aku yakin kalau nenek akan memaklumi alasan aku.”

“Cerai? Kamu pikir semudah itu bercerai?”

“Mudah saja kalau dua-duanya sepakat untuk berpisah,” sahut Kalila sambil memandang Gio dengan hambar.

Perasaan yang baru akan bersemi, kini seolah layu sebelum berkembang.

“Kamu tahu kan kalau nenekku sudah usia senja, dia punya beberapa penyakit dan resikonya akan sangat besar kalau dia menerima kabar perceraian ini?” Gio mencoba bernegosiasi.

“Itu bukan tanggung jawab aku ....”

Brakk!

Gio menendang koper dengan keras, membuat Kalila sedikit terkejut dengan sikapnya.

“Kamu itu ya, benar-benar definisi perempuan tidak tahu diri. Kamu lupa siapa yang sudah mengangkat derajat ekonomi orang tua kamu? Kamu lupa?”

Kalila terdiam, pandangannya terarah lurus ke lantai.

“Nenekku! Apa kamu tidak bisa sedikit saja menutupi masalah ini supaya kesehatan nenek aku baik-baik saja?” tanya Gio geram dan bernada intimidasi.

Bersambung—

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status