Share

6 Tidak Menerima Penolakan

“Sampai kapan aku harus berpura-pura?”

“Sampai aku bilang sudah waktunya untuk diakhiri.”

Kalila menatap Gio dengan tidak mengerti.

“Kenapa tidak diakhiri saja sekarang? Bukankah kamu sudah punya istri? Si Nia itu?”

Gio menunjukkan ekspresi tidak suka ketika Kalila mengajukan pertanyaan itu.

“Kamu cukup ikuti apa yang aku perintahkan, dan aku akan memenuhi seluruh kebutuhan kamu. Uang, makanan, pakaian, bahkan tempat tinggal ... Kedua mertuaku juga akan aku jamin sejahtera hidupnya.”

Kalila menarik napas. “Tapi ....”

“Aku tidak menerima penolakan,” potong Gio ketika Kalila ingin menunjukkan pendapatnya. “Satu lagi, ini soal status. Meskipun kamu adalah istri yang sah secara agama maupun negara, tapi tetap saja posisinya kamu adalah yang kedua. Sedangkan Nia adalah istri pertama, kedudukannya di sisiku jauh lebih penting dan tentu saja akan aku prioritaskan melebihi apa pun juga.”

Kalila bergeming, dia tidak menolak ataupun menyetujui.

“Bagaimana, Dan?” Soraya menyambut Gio yang mendatanginya di balkon rumah.

“Aman, Bu. Dengan kondisi finansial orang tuanya yang seperti itu, aku sangat yakin kalau dia tidak akan banyak menawar.”

Soraya mengangkat cangkir tehnya.

“Bagus, sekarang tinggal kita tunggu nenek kamu saja.”

“Kira-kira berapa lama ya, Bu?”

“Entahlah, ibu juga tidak tahu. Kamu pastikan saja kalau Lila akan terus mematuhi instruksi kamu.”

“Soal itu tidak masalah, Bu. Lila tidak akan bisa apa-apa, dia sadar akan kena masalah besar kalau sampai kesehatan nenek kenapa-kenapa.” Gio menepis kekhawatiran Soraya.

Sepasang ibu dan anak itu lantas minum teh bersama-sama sembari membahas rencana mereka supaya lebih matang dan terhindar dari kegagalan.

“Lila?”

Wanita itu menoleh saat mendengar seseorang memanggil namanya.

“Nenek?” Kalila cepat-cepat mengubah arah kakinya yang tadinya hendak ke dapur menuju tempat berdirinya seorang wanita berusia senja bernama Mutia.

“Kamu mau ke mana?”

“Minum teh, Nek.”

“Kalau begitu, nenek ikut.”

Kalila mengangguk sambil tersenyum singkat, segera dituntunnya Mutia untuk ikut serta dengannya ke dapur.

“Jadi bagaimana?”

“Bagaimana ... apanya, Nek?” Kalila menatap Mutia sekilas sembari menyiapkan cangkir teh.

“Kamu dan Gio, siapa lagi?”

Kalila terdiam sebentar, kemudian teringat dengan instruksi yang diperintahkan Gio kepadanya.

“Baik-baik saja, Nek. Kami hanya butuh waktu satu sama lain ....”

“Ah, baiklah. Nenek harap pernikahan kalian lancar-lancar saja,” harap Mutia.

“Oh ya Nek, boleh aku tanya sesuatu tentang Gio?”

“Tentang apa?”

Kalila ragu-ragu sejenak, tapi kemudian dia meneruskan pertanyaannya.

“Apakah Gio memiliki masa lalu, misalnya mantan kekasih?”

Mutia menatap Kalila dengan saksama.

“Masa lalu? Kalau soal mantan kekasih, setahu nenek sudah lama mereka tidak berhubungan lagi.”

“Kenapa mereka putus, Nek?” kejar Kalila penasaran.

“Jujur saja nenek tidak terlalu suka dengan karakternya, dia itu agak-agak angkuh dan cenderung menguasai Gio. Untung saja pada akhirnya hubungan mereka berdua berakhir dan Gio menikah sama kamu.”

Kalila mendengarkan penjelasan Mutia dengan baik, dia penasaran sekali siapa nama mantan kekasih Gio yang dimaksud.

“Sudahlah, ngapain kita membahas masa lalu?”

“Penasaran saja Nek, siapa namanya?”

Mutia tampak enggan menjawabnya. “Sudah, sudah, kita bicara topik lainnya saja. Kira-kira kamu dan Gio berencana punya anak berapa?”

Sontak saja wajah Kalila seketika berubah merah dan memanas.

“Soal itu ... mungkin Nenek bisa tanyakan langsung sama Gio,” jawab Kalila gugup.

Mutia justru tertawa.

Andai saja Gio yang bertanya seperti itu kepadanya, betapa bahagia hati Kalila.

Namun, tentu saja hal itu tidak akan mungkin terjadi. Gio sudah menegaskan bahwa dia tidak mencintai Kalila, yang statusnya hanyalah istri kedua.

***

“Nek, aku mau memboyong Lila ke rumah pribadi kami.”

Hanya berselang dua hari saja, Gio langsung menyatakan keinginannya kepada Mutia.

“Kenapa begitu? Rumah ini kan cukup besar untuk kamu dan Lila, bahkan jika cicit-cicit nenek lahir nanti ....”

“Uhuk! Uhuk!” Gio tersedak seketika.

Soraya buru-buru menyodorkan segelas air putih untuk putranya, mendahului Kalila yang terlambat bertindak.

“Hati-hati kalau makan, Dan.”

“Iya, Bu ....”

Mutia menatap heran ke arah cucunya.

“Kamu kenapa sekaget itu?”

“Soalnya ... aku sama Lila kan belum lama menikah, Nek. Untuk apa kami memikirkan soal anak? Kami jalani saja dulu pernikahan ini,” kilah Gio sambil mengurut-urut lehernya.

“Betul Bu, biarkan saja Giordano sama istrinya saling memahami dulu satu sama lain. Bukankah mereka terlalu cepat menikah?” timpal Soraya sembari melirik Kalila.

“Ya, ya, baiklah. Yang penting kalian saling menerima, maka cinta akan datang dengan sendirinya.” Mutia mengangguk setuju.

Kalila memilih untuk tidak menanggapi, dia merasa muak dengan sandiwara yang diusung oleh suaminya. Namun, Kalila juga tidak tega seandainya membuat Mutia terluka hatinya dengan langsung bercerai.

“Jangan lupa sering-sering datang berkunjung ke rumah orang tua Lila, Gio. Mereka adalah mertua kamu sekarang,” kata Mutia mengingatkan ketika Yana sibuk memasukkan koper ke dalam mobil.

“Tenang saja, Nek. Aku tidak hanya akan membahagiakan Lila, tapi orang tuanya juga.”

Mutia tersenyum bangga dengan ucapan cucunya, sementara Kalila hanya geleng-geleng kepala.

Gio benar-benar aktor yang sangat hebat, batin Kalila.

Setibanya di rumah pribadi Gio, Kalila menggotong kopernya ke kamar untuk menata pakaian ke dalam lemari.

“Kamu tidak usah repot beres-beres rumah karena aku akan sediakan asisten rumah tangga. Paling lambat mereka akan datang besok siang,” kata Gio memberi tahu.

“Terima kasih,” sahut Kalila pendek.

“Tidak masalah, aku hanya minta kamu untuk diam dengan segala tingkah laku suamimu.”

“Termasuk perlakuan istimewa yang kamu berikan kepada Nia?”

“Wajar kan, dia itu istri pertamaku.” Gio menegaskan dengan suara dalam.

“Tapi namaku yang terdaftar di arsip negara sebagai istri kamu yang sah,” bantah Kalila. “Tidak bisakah kamu bersikap adil sedikit saja?”

Betapa herannya Kalila, Gio justru tertawa mendengar pertanyaan itu.

“Adil? Jangan mengharapkan keadilan dariku, Lila. Kamu salah besar!”

“Terus apa gunanya kamu menerima perjodohan kita dan menikahiku?” tuntut Kalila sambil menatap Gio.

“Karena aku memiliki tujuan ....”

“Tujuan apa?”

“Suatu saat nanti kamu juga akan tahu, jadi jangan tanya-tanya lagi. Aku akan kembali ke kantor, kamu tidak usah menungguku pulang karena aku akan ke tempat Nia.”

Kalila menghela napas berat, menjadi istri sah Gio ternyata tidak membahagiakan hatinya sama sekali.

Terlebih jika dia mengharapkan cinta Gio, ibarat pungguk merindukan bulan.

Malam itu untuk kesekian kalinya Kalila lewati dalam kesendirian, dia tidak bisa berhenti membayangkan kebersamaan Gio dan Nia yang merupakan pasangan suami istri meskipun hanya menikah siri.

“Aku harus berbuat sesuatu,” pikir Kalila dalam kesunyian.

Keesokan harinya, Kalila pergi mengunjungi kedua orang tua untuk menceritakan kondisi yang sebenarnya.

“Gio itu menantu baik ya, semalam dia kirim stok kebutuhan sehari-hari untuk sebulan. Katanya biar ayah tidak harus lembur setiap hari.”

Kalila yang awalnya ingin membongkar kedok Gio, seketika itu juga mengatupkan bibirnya.

Bersambung—

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status