pagi semua. Mohon maaf jika dua hari kemarin nggak update, karena ada acara mendadak. Semoga ke depannya bisa up tiap hari ya.
"Tunggu pembalasanku, Nisa!"Dendam yang tersemat di hati Eka untuk Nisa, seumpama dendam keramat yang belum terbalaskan. Gadis itu bahkan seakan sampai lupa dengan semua kebaikan yang diberikan oleh sahabatnya itu. Nisa bahkan sudah menganggap Eka seperti saudaranya sendiri. Bak air susu dibalas dengan air tuba."Tunggu." Kening Eka sekarang mengerut, wanita yang baru saja melahirkan itu nampak sedang berpikir dengan keras. " Apa mungkin sebenarnya Nisa sudah tahu tentang hubunganku dengan Mas Asep sejak lama ya ?"Eka kemudian menelaah satu persatu kejadian sejak kepulangan Eka dari luar negeri. Hal itu kemudaan membuatnya tersenyum kecut. "Ternyata dia lebih pintar dari yang aku duga!"Setelah menyadari semua itu, tentu saja aku emosi di hati Eka semakin membesar. "Bajingan kamu, Nisa!"Merasa kecolongan membuat Eka kembali mengamuk. BrakBrak"Bajingan semua!"Eka beranjak dari ranjang dan kemudian menuju meja rias, sambil masih berteriak, dia menjatuhkan semua make up ke lantai
"Ya Allah, permudahlah segala urusanku. Berikanlah aku kekuatan untuk Bisa membahagiakan Ais. Amin."Lantunan doa, terus saja melahirkan setelah melakukan kewajiban sebagai seorang muslim. Berharap hanya pada Allah, itu lah yang saat ini aku lakukan. Karena berharap pada manusia, hanya akan mendapatkan kekecewaan belaka. Aku tahu, pasti tak akan mudah menjadi seorang single parent, akan banyak cibiran dan tentu saja cobaan yang menipiskan iman. Tetapi aku akan berusaha menghalau semua itu, demi Ais."Bu, Ais boleh tidur lagi?" Ais yang baru saja melipat mukena-nya, bertanya. "Kan hari ini tanggal merah, sekolah libur."Gadis kecilku itu meminta dengan wajah yang dibuat semanis mungkin. Tentu saja hal itu membuatku menjadi teramat gemas.Cup Cup Dua buah kecupan lembut mendarat cantik di pipi dan keningnya, sebelum aku mengangguk."Boleh, Sayang."Ais yang terlihat seneng, pun mencium pipiku, setelahnya segera kembali naik ke peraduan.Biasanya, setelah kami salat subuh berjamaa
"Persetan dengan Tuhan. Karena dia tak pernah sayang aku. Aku tak percaya Tuhan!"Bu Ratna, ibunda Eka, hanya bisa mendengelus dada sambil beristighfar mendengar apa yang dikatakan oleh putrinya itu."Sekecewa apa pun kamu, jangan bilang seperti itu, Nduk." Sebagai seorang ibu, tetap dia merasa punya kewajiban untuk mengingatkan anaknya itu. "Kamu itu kurang bersyukur saja."Eka mendengus kasar demi mendengar ucapan sang ibu. "Kurang bersyukur?!" Dengan mata melotot sempurna, Eka berjalan mendekati sang ibu, sambil berkacak pinggang. "Nggak salah nih kalau ngomong?"Emosi Eka semakin tersulut saja kali ini. Wanita tak tahu diri itu berjalan mengelilingi sang ibu yang menggendong bayi. Dengan tatapan mata yang begitu sinis."Rasanya ibu masih belum terlalu tua untuk menjadi pikun!" Eka menunjuk tepat di samping kening sang ibu, nyaris menoyornya. "Coba diingat lagi, apa pernah ada kebahagiaan di rumah ini sejak aku kecil? Apa pernah keluarga kita harmonis?"Bu Ratna memilih diam, samb
"Aku bangun sebelum subuh tadi, karena perutku begitu mulas. Saat melihat ke luar jendela, dari kamar atas. Nampak seseorang berlari, sepertinya dari arah rumah kamu Mbak. Memakai pakaian serba hitam."Mulut menganga mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Mbak Hana itu."Mbak yakin ... nggak sedang berhalusinasi kan?" Sesungguhnya aku berusaha tak mempercayai hal ini.Mbak Hana mencebik, tetapi sepertinya dia cemas juga padaku. " Ya Allah, Nisa. Ngapain sih aku bohong sama kamu?" ucapnya sembari menepuk bahuku. " Aku awalnya juga kayak nggak percaya sih, Nis. Tapi saat kuperhatikan dengan seksama, itu benar kok. Kuperhatikan orang itu sampai belok ke gang sebelah.."Kali ini aku sedikit lebih percaya. Untuk apa juga Mbak Hana berbohong padaku? Dia malah punya cap yang baik di lingkungan ini.Mbak Hana kembali menepuk pundakku. "Kamu pokoknya harus lebih berhati-hati, sepertinya ada yang ingin mencelakai kamu, Nisa." Wejangan pun diucapkan oleh Mbak Hana. "Semoga tak ada hal bu
"Sebenarnya aku begitu berat melepas kamu jadi TKW, Dek. Hanya saja ini demi masa depan kita dan Ais, anak kita. Pergilah Dek, aku janji akan selalu setia dan menjaga Ais dengan baik."Teringat akan kalimat yang terucap beberapa tahun yang lalu itu, air mata menetes di netra ini. Dari kalimat itu aku tahu jika Mas Asep, suamiku, begitu berat melepasku, hanya saja demi masa depan, ini adalah jalan yang terbaik.Senyum terus terkembang di wajahku sejak turun dari pesawat tadi. Membayangkan bisa bercengkrama dengan keluarga yang begitu aku rindukan setelah sekitar dua tahun lebih tak bertemu.'Mas Asep juga pasti kangen sama aku,' gumamku sambil kembali mengulas senyum. Tebakanku tentu rasanya tidak akan salah, adalah hal yang sangat mungkin jika sepasang suami istri saling merindu ketika menjalin hubungan LDR. Apalagi ketika kami bertelepon, Mas Asep selalu mengatakan rasa kangennya itu padaku. Membuat rindu ini semakin berat. Jika tak ingat ingin memperbaiki ekonomi keluarga, tentu a
"Suami kamu sudah menikah lagi saat kamu di luar negeri."Sesak.Itulah yang saat itu juga kurasakan. Dada ini terasa bagai dihimpit batu besar. Meski semua terdengar begitu jelas, tetapi aku masih berharap semua ini tidak nyata.“Ibu bercanda, ‘kan?”“Bercanda gimana, Nis? Buat apa Ibu bercanda soal beginian sama kamu! Ini soal rumah tangga orang, Ibu juga nggak mau sembarangan.” Bu Endang langsung berucap.Kutatap wajah Bu Endang dan masih ada ragi ragu. Wanita tua itu memang terlihat serius. Hal itu membuat hatiku kembali dingin dan tangannya bergetar.Dengan usaha tetap tenang, aku berkata, "Apa ... apa ada bukti, Bu? M-maaf, bukan maksud saya tidak percaya, tapi ... tapi saya ...."Melihatku tidak bisa menyelesaikan ucapan Bu Endang memberikan minuman kepadaku."Minumlah dulu." Bu Endang menyodorkan padaku segelas air mineral yang sudah diberi sedotan. "Biar kamu sedikit tenang, Nis."Tanpa menjawab segera kuminum air tersebut, semoga saja memang bisa sedikit menentramkan hati i
Eka ... ya, perempuan yang ditunjukan oleh Bu Endang itu tak lain adalah teman baikku. Lebih tepatnya adalah sahabat baik. Sejak SMP kami selalu duduk di bangku yang sama. Sudah seperti kakak adik.Eka, wanita yang sudah sejak SMP kuanggap sebagai saudariku sendiri. Seorang yatim yang ibunya bekerja sebagai penjual gorengan keliling lantaran ayahnya pergi entah ke mana. Tak sekali dua kali aku membantunya. Membayar uang SPP sekolahnya saat dia tak mampu dengan uang jajan yang kusimpan dari orang tuaku, memberikan pakaianku yang sebenarnya masih layak pakai karena bajunya sudah banyak tambalan, bahkan memberikannya modal untuk usaha yang sayangnya berakhir gagal.Lalu, ini kah balasan yang dia berikan? Menjadi simpanan suamiku?!"Apa kamu mengenal perempuan jahat ini Nisa?" Kembali, suara Bu Endang seolah membuyarkan lamunanku.Tanpa dikomando, kepalaku langsung mengangguk.Bu Endang membelalakkan matanya, sepertinya wanita paruh baya itu begitu kaget. "Siapa? Teman kamu?"Terdengar b
POV Asep"Dasar anak setan!" teriak Eka sembari melayangkan sebuah tamparan keras yang bunyinya sampai terdengar dari sini.Plakkk"Sakit ..." Suara Ais terdengar begitu lirih."Sakit!? Rasakan!" Suara istri baruku itu terdengar semakin nyaring saja. Dan, mulai terdengar Isak halus dari putriku itu.Hufft ...Pulang kerja disuguhi yang seperti ini saja tiap hari. Kulangkahkan kaki menuju ke sumber suara, dimana lagi kalau bukan di luar rumah."Ada apa lagi sih, Yank?" tanyaku sembari berdiri di ambang pintu.Wanita yang perutnya sudah semakin membuncit itu pun langsung menoleh ke arahku. "Ini ... Anak setan ini, selalu saja buat aku marah Mas!" tukasnya sembari menoyor kepala Ais, hingga gadis itu terjatuh ke belakang.Ais, putri dari pernikahan pertamaku itu, semakin deras menangis dan tak lagi bangkit. Dia hanya duduk sembari sesenggukan."Memangnya dia kenapa?"Mata bulat Eka masih memandang Ais dengan tatapan penuh kebencian. "Aku nyuruh dia dari tadi nyuci baju, eh malah nggak se