Share

episode 2

Lima menit kemudian, semua masakan telah terhidang rapi di meja makan. Wanita yang memiliki iris mata coklat itu langsung memanggil Ibu mertuanya dan juga adik iparnya.

Terlihat Bu Dinar dan juga Kiran sedang duduk santai di sebuah kursi yang ada di taman belakang.

“Bu, makanannya sudah siap.” ujar Fitri.

“Lama banget sih! Kamu tau gak, kita itu sudah kelaparan dari tadi!” ketus Kirana.

Dengan angkuhnya Kiran berjalan sambil mendorong tubuh Fitri, Fitri yang tidak siap mendapatkan dorongan dari Kiran, langsung terjatuh ke tanah.

Bukannya minta maaf dan membantu, namun justru Kiran dan Bu Dinar malah menertawakan Fitri.

“Yah, cuma segitu doang sudah jatuh. Letoy banget sih, jadi orang!” hina Kiran.

Dosa apa yang Fitri buat, sehingga harus mendapatkan Merua dan adik ipar seperti mereka.

Tanpa memedulikan Fitri yang sedang merintih kesakitan, Kiran terus saja berjalan sambil tertawa.

Gadis baru menginjak umur 20 tahun itu merasa puas, sudah memberi pelajaran kepada kakak iparnya.

Ternyata ia tidak terima dengan tuduhan yang Fitri Lontarkan kepadanya, tentang mie instan tersebut.

“Rasakan! Emang enak, siapa suruh sudah main tuduh. Ya... walaupun memang aku sih yang mengambil mie instan Ibu.” Ujar Kiran.

Setelah sampai di meja makan, Kiran dan Bu Dinar langsung duduk dan menyendok nasi ke dalam piring.

“Wih... ini pasti enak,” ujar Kiran yang melihat semua makanan lezat yang terhidang di meja makan.

Di susul dengan Fitri yang hendak duduk bergabung dengan mereka. Akan tetapi, di tahan oleh Bu Dinar yang tidak mengizinkannya untuk bergabung.

“Heh! Mau apa kamu?” tanya Bu Dinar yang mengambil piring yang sudah Fitri pegang.

“A—aku mau ikut makan, Bu.” Jawab Fitri.

Dengan tega Bu Dinar mengambil bakul nasi dan di simpan di sampingnya, tentu saja Fitri merasakan sesak di dadanya.

Ia bingung, kenapa Ibu mertuanya bisa sejahat itu kepada dirinya. Apa karena Fitri orang yang tidak memiliki apa pun, jadi Bu Dinar membenci istri dari anaknya tersebut.

“Ngapain kamu masih berdiri di situ? Pergi sana!” usir Bu Dinar.

“Bikin kita gak nafsu makan saja!” tambah Kiran.

Fitri berjalan gontai menuju dapur, ia mencari bahan makanan yang akan ia masak. Namun, tidak ada Satu pun bahan-bahan yang tersisa di sana.

“Perasaan tadi masih ada telur, kok, sudah enggak ada?” gumam Fitri.

Dengan terpaksa siang ini ia harus menahan lapar, atau tidak. Ia menunggu Kiran dan Bu Dinar yang selesai makan, mungkin masih ada sisa makanan yang tersisa dan tidak habis di makan oleh mereka.

“Ya Allah perutku lapar sekali,” ujar Fitri sambil memegangi perutnya yang keroncongan.

Fitri kembali berjalan menuju kamar, kepalanya terasa pusing karena dia belum memakan makanan apa pun, hanya air putih yang s’lalu ia minum untuk mengganjal perutnya.

“Mas... Cepat pulang, aku sudah tidak tahan di sini,” rintih Fitri yang berbaring di tempat tidurnya.

Dulu Angga pernah meminta izin untuk pindah walaupun hanya mengontrak. Akan tetapi, Bu Dinar terkena serangan jantung yang mendadak.

Entah itu hanya akal-akalannya saja atau sungguhan, yang jelas setiap kali Angga dan Fitri ingin pindah pasti ada saja hal-hal yang di luar dugaan.

“Fitri... Fitri!” teriak Bu Dinar.

Fitri yang merasakan pusing, dengan terpaksa ia harus bangkit dan menemui Ibu mertuanya. Jika tidak, Bu Dinar pasti akan mengamuk dan menyakiti hatinya lagi dengan seribu hinaan.

“Fitri... Fitri! Kamu budek ya!” kali ini bukan Bu Dinar namun, Kiran yang berteriak dengan tidak kalah keras.

“I—iya, sebentar Bu. Kepala Fitri pusing,” ungkap Fitri yang terlihat pucat.

“Alasan! Cepat! Bereskan semua ini.” Titah Kiran yang menyuruh Fitri layaknya seorang pembantu.

Baru saja Fitri akan melangkahkan kakinya, tiba-tiba...

Brak!

Wanita cantik itu terjatuh tidak sadarkan diri, Bu Dinar dan Kiran sedikit terkejut. Ia takut jika perlakuannya terhadap Fitri akan di ketahui oleh Angga kakaknya.

“Bu, dia beneran pingsan. Bagaimana ini? Aku takut jika Kak Angga akan mengetahui perlakuan kita terhadap Mbak Fitri yang sebenarnya.” Pekik Kiran yang merasa ketakutan.

“Ayo kita gotong ke kamarnya, dan kamu tolong hubungi Dokter Fida.” Ujar Bu Dinar.

Tidak susah untuk membawa tubuh Fitri yang terbilang kurus, karena ia hanya makan sekali dalam sehari, itu pun jika masih ada sisa makanan. Kalau tidak ada, dengan terpaksa Fitri harus berpuasa.

“Menyusahkan sekali sih, kamu jadi orang!” sungut Kiran.

Tidak lama Dokter Fida pun datang, ia langsung memeriksa tubuh Fitri yang sangat lemah itu.

“Bagaimana keadaan menantu saya? Apa dia baik-baik saja?” tanya Bu Dinar yang pura-pura khawatir.

“Begini Bu, Mbak Fitri asam lambungnya naik. Memangnya Mbak Fitri ini suka telat makan, Bu?” tanya Dokter Fida.

“Emm... Iya, Dok. Fitri ini orangnya sedikit bebal, kalau di suruh makan bilangnya masih belum lapar.” Kilah Bu Dinar.

Wanita yang masih berusia 25 tahun itu tidak menyangka, bahwa sang mertuanya benar-benar seperti ular berkepala 10.

“Mbak Fitri enggak boleh seperti itu ya? Mbak Fitri tetap harus menjaga pola makan yang teratur, jika tidak asam lambung yang Mbak derita akan bertambah fatal dan menyebabkan kematian.” Jelas Dokter Fida dengan panjang lebar.

“Iya, Dok. Saya tidak akan mengulanginya lagi.” Jawab Fitri dengan suara parau.

“Baik, kalau begitu saya pamit ya, Bu Dinar. Mbak Fitri,” Pamit Dokter Fida.

Dokter Fida pun melangkah pergi yang di antara oleh Kirana.

“Menyusahkan! Mending kamu mati saja sekalian, daripada harus menyusahkan banyak orang!”

Bagai tersayat pisau tajam, ketika mendengar mertua yang ia hormati malah mengucapkan seperti itu.

“Astaghfirullah...”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status