Pov Mira"Mir, de-""Pergi, Mas. Kamu dikasih hati malah minta empedu. Sana jangan usik hidup aku.""Aku sangat mencintai kamu, Mir. Kita harus rujuk, supaya bisa hidup bahagia""Edan, sana pergi!" teriakku menutup pintu."Mir, buka pintunya!"Mas Adam terus menggedor pintu. Sengaja aku abaikan. Sesuai prediksi, dia memang punya maksud tidak baik. Ya ampun, bisa-bisanya dia kembali mengusik hidupku. Hidupnya berantakan malah bertingkah. Seharusnya sadar diri dan bertaubat, bukan makin menjadi. "Halo, Ra, sibuk gak?""Tumben telepon, kenapa, Mir?""Lagi gabut aja. Ini Ra, Mas Adam ganggu aku lagi. Aduh, dari tadi dia gak pergi-pergi. Jadi takut sendiri.""Ya ampun, itu manusia kenapa ada lagi. Heran.""Aku harus gimana yah, Ra? udah diusir tetep aja gak peka.""Elah, lu malah nanya. Telepon suami lu. Biar diusir.""Udah, Ra. Tapi gak diangkat. Kayanya Mas Hafidz lagi sibuk soalnya dia bilang mau ketemu rekan bisnis dari Jakarta.""Aduh, ya, udah, gua minta bantuan Heri.""Pengacara it
"Sudah, jangan dipikirin, Sayang."Sesampainya di rumah, aku lebih banyak merenung. Isi kepala terus beradu dengan hati. Bukan terlalu cemas memiirkan takdir, hanya saja perasaan tak bisa dikondisikan. Ada yang mengganjal, dan menyiratkan firasat buruk."Mas, aku takut Mas Adam nekat. Kita tidak punya musuh, kalau bukan Mas Adam lalu siapa?""Apa bisa jadi Bumi pelakunya?"Aku menggeleng kuat. Paham karakter Bumi Kisah kami memang rumit, tetapi isi pikirannya tak mungkin sejahat itu. Dia tak akan tega membuatku hampir jantungan karena teror."Jangan sembaranga nuduh, Mas. Aku paham siapa Bumi.""Maaf, Sayang. Mas gak maksud gimana-gimana.""Aku tahu Mas masih menyimpan kekesalan sama Bumi, tetapi jangan bicara sembarangan. Dia pria baik.""Iya maaf."Mas Hafidz berlalu ke belakang. Apa dia cemburu karena aku membela Bumi? tidak maksud begitu, hanya saja isi hatiku tidak terima."Mas maaf, aku gak maksud buat kamu cemburu.""Gak papa, Sayang. Kita fokus saja untuk lebih berhati-hati."
Pov Hafidz"Ya Allah, Hafdiz, kenapa Mira bisa dicetak kaya gini?" tanya ibu mertuaku sangat panik.Kejadiannya sangat tidak terduga. Aku pikir saat Mira membalas pesan, kondisinya baik-baik saja. Tiba-tiba satpam memberi kabar kalau istriku hilang. Pak satpam dibius sampai pingsan."Tenang Bu, kita sudah usaha lapor polisi, semoga ada titik terang."Bapak usap halus pundak istrinya. Aku merasa bersalah. Seharusnya lebih waspada. Kenapa lebih memilih pekerjaan? kalau sampai Mira kenapa-kenapa, aku tidak akan memaafkan diri sendiri. "Maafkan Hafidz, Pak, Bu.""Sudah Nak, ini bukan salah kamu. Kita harus fokus cari Mira.""Cari di mana, Pak? siapa pelakunya?""Hafidz menduga pelakunya Adam, Pak. Dia yang sudah meneror Mira.""Coba kamu pergi ke jakarta, Hafidz. Bisa jadi Mira diajak ke sana.""Betul Bu. Hafidz memang mau ke jakarta. Hafidz dan Tiara sudah berencana untuk melacak keberadaannya Di Jakarta."Pukul sepuluh malam, aku berangkat menyetir mobil sendirian. Terlalu kacau berkal
"Keluar, lu.""Awas, Tiara. Jangan cegah gua pergi. Apa kalian gak sayang sama Mira, hah?""Pikir dong, sekarang bukan ajang nunjukin siapa yang paling kuat dan paling cinta sama Mira. Tapi lu harus bersatu sama kita. Gak bisa mengambil langkah yang gegabah. Malah bisa membahayakan Mira. Sadar gak sih, lu.""Betul kata calon istri saya. Keluar dulu, Pak Bumi. Bahaya kalau Anda bertindak gegabah.""Terus kalian bakal biarin Mira kenapa-kenapa, hah?""Jangan egois lu. Kita semua sayang sama Mira. Mangkanya harus hati-hati. Lu pergi sama Mas Hafidz. Tunggu.""Lu denger sendiri, Ra, dia yang egois.""Tunggu, biar gua yang ngomong."Tiara mendekatiku. Sementara Heri menahan Bumi."Tolonglah, Mas jangan egois. Demi kebaikan Mira. Mas harus nemenin Si Bumi.""Apa kamu yakin Mira ada di Cilacap?""Kita usaha, Mas. Kemungkinan besar di sana. Mau nunggu mereka kabur jauh? toh, Mas Hafidz lebih mudah mencari Mira di jawa, bareng para polisi.""Ayoklah, Hafidz!" teriak Heri. Dia kewalahan menahan
"Jangan jadi pecundang, Adam. Mari kita bergulat satu lawan satu.""Halah, tutup mulut busukmu. Ikuti perintahku, atau lebih baik kita mati berjamaah di sini!""Gila. Akal sehatmu sudah musnah.""Banyak omong. Jongkok, dan berbalik membelakangi kami.""Cepat!"Mira berontak. Mulutnya berusaha meraung, tetapi ditutup lakban. Dia hanya bisa menggelengkan kepala. "Baik, saya ikuti kemauan Anda, tapi tolong jangan sakiti istri saya.""Cepat berbalik."Aku tak bisa berkutik. Berbalik ke belakang. Adam menyeretku ke belakang pintu. Kali ini dia sangat nekat. Menodongkan pistol. Entah dari mana pria itu bisa mendapatkan alat-alat senjata tajam. Mungkin dia memang sudah merencanakan ini semua secara matang. "Jangan gegabah dalam bertindak, Adam. Ingat, kejahatan tidak akan pernah menang.""Berisik. Ini semua karena kehadiran pria sialan sepertimu. Bisa-bisanya menjadikan mantan adik ipar jadi istri. Dasar pria serakah."Adam memborgol kedua tanganku. Mengikat kakiku dengan tali. Lalu, dia
Pov Mira"Mas mau ke mana?" Mas Hafidz tidak menjawab. Dia pergi begitu saja. Aku tak kuasa mengejarnya. Hanya meminta beberapa hari lagi saja. Mengapa sikapnya sangat berlebihan?"Mir, kenapa? Gua denger lu ribut-ribut.""Mas Hafid gak terima aku minta menenangkan diri beberapa hari lagi, Ra.""Ya elah, lagian lu juga ada-ada aja.""Aku hanya ingin menenangkan hati, Ra."Air mata rembas. Kepergia Bumi menjadi pukulan telak untuk hatiku. Selama dia hidup aku belum memberikannya kebahagian. Hanya bisa membuatnya bersedih.Bumi aku tidak mau kamu berkorban nyawa. Pengorbanan luar biasamu ini malah membuat batinku tersiksa."Aduh, lu malah mewek. Tapi gua maklum sih, Bumil emang sensitif.""Kamu pasti paham, Ra.""Iya, gua tahu sakitnya hati lu gak ada obat. Tapi, lu harus tetap memikirkan orang-orang yang sayang sama lu. Kasarnya yah, lu jangan egois. Emang lu doang yang punya hati?"Termenung. Mungkin beberapa hari ini aku sangat egois. Mengabaikan tugas sebagai seorang istri dan ibu.
Suara tangisan bayi memberi rasa lega yang luar biasa. Wajah Mas Hafidz berbinar. Sigap mencium keningku. "Terima kasih, Sayang." Aku mengangguk sambil menyulam senyum paling indah. Dokter menujukan sekilas anakku. Dia bilang anakku laki-laki. Mirip ayahnya, dengan rambut hitam lebat."Ini putranya, Pak. Sudah dimandikan. Silakan diazani.""Baik, Sus, terima kasih.""Mas azani anak kita dulu yah, Sayang."Dengan mata berkaca-kaca aku mengangguk. Suara azan Mas Hafidz terdengar sayhdu sampai di relung hati. Pria hebatku meneteskan air mata. Suasana di ruangan ini terbalut nuansa mengharu biru. Teimkasih semesta, datanglah penghuni baru yang sangat didamba. Semoga menambah cinta dan ketenangan dalam keluarga.*****"Mas popok!" teriakku sangat riweh di pagi hari."Iya sayang, biar Mas yang gantiin popok. Sana kamu ke depan, ada ibu.""Siap, Sayang. yang bener makein popoknya.""Iya, istriku tenang aja."Luar biasa jadi ibu dengan dua anak. Satu anak harus disiapkan untuk pergi sekola
"Sayang, mau ke mana?""Mamah makan.""Mamah ke adek dulu, yah, Nay."Suasana hening. Alina menunduk dalam. Mungkin dia merasa bersalah, atau senang membuat percikan konflik di keluargaku. Apa salah kalau aku kesal? entah bagaimana, bisa berprasangka buruk. Lama kelamaan, anak itu mencurigakan. Mungkin, aku akan mengunjungi rumah Mbok Ijah, biar dia saja yang kembali bekerja di sini. "Sayang, kamu kenapa kaya gini?"Mas Hafidz masuk saat aku sedang memberi asi untuk Kahfi. Dia duduk di sampingku. Lalu, mengusap lembut pundak. "Males sama Si Alina, Mas. Mungkin menurut kamu itu hal sepele, tapi tidak buat aku. Memasak, dan merawat kamu, Nay, dan Kahfi itu tugasku. Biar aku yang memanjakan kalian dengan masakanku.""Iya, Mas. Paham. Ya, sudah, kita makan di luar saja.""Setuju, hehehe."Anakku muncul dari balik pintu. Lucu sekali anak perempuanku, pasti dia menguping pembicaraan kami."Bukannya kalian sudah makan?""Nggak, belum makan, Mah. Selius." Anakku menunjukan dua jari. "Aya