"Sayang, mau ke mana?""Mamah makan.""Mamah ke adek dulu, yah, Nay."Suasana hening. Alina menunduk dalam. Mungkin dia merasa bersalah, atau senang membuat percikan konflik di keluargaku. Apa salah kalau aku kesal? entah bagaimana, bisa berprasangka buruk. Lama kelamaan, anak itu mencurigakan. Mungkin, aku akan mengunjungi rumah Mbok Ijah, biar dia saja yang kembali bekerja di sini. "Sayang, kamu kenapa kaya gini?"Mas Hafidz masuk saat aku sedang memberi asi untuk Kahfi. Dia duduk di sampingku. Lalu, mengusap lembut pundak. "Males sama Si Alina, Mas. Mungkin menurut kamu itu hal sepele, tapi tidak buat aku. Memasak, dan merawat kamu, Nay, dan Kahfi itu tugasku. Biar aku yang memanjakan kalian dengan masakanku.""Iya, Mas. Paham. Ya, sudah, kita makan di luar saja.""Setuju, hehehe."Anakku muncul dari balik pintu. Lucu sekali anak perempuanku, pasti dia menguping pembicaraan kami."Bukannya kalian sudah makan?""Nggak, belum makan, Mah. Selius." Anakku menunjukan dua jari. "Aya
"Sayang, kenapa ngelamun terus?" tanya suamiku menjelang makan malam. "Gak papa, Sayang.""Gimana tadi ketemu Mbok Ijah?""Aman Mas. Dia bakal gantiin anaknya lagi. Nanti soal Alina, aku punya rekomendasi kerjaan yang layak buat dia. Di pabrik ada lowongan, toh, anak itu sudah biasa merantau.""Sip, istriku. Kamu memang sangat baik.""Ayok, makan dulu, Mas. Tadi aku masak daging teriaki kesukaan kamu.""Wih, mantap. Nayla juga pasti suka.""Betul, daging teriaki memang makana kesukaan kalian."Setelah bayiku pulas, aku taruh dia di kotak bayi. Nanti Alina yang akan mengawasi saat kami makan malam.Perempuan itu membantuku terlebih dahulu menata makanan di meja. Setelah selesai, aku suruh dia ke kamar."Mbak Alina mau ke mana, ayok makan baleng.""Mbak Alina mau jagain dedek Kahfi dulu, Sayang. Kita makan bertiga kaya biasa, baru nanti gantian.""Gak, gak mau. Nay masih kesel sama Mamah. Nay, maunya makan sama Mbak Alina.""Nay, siapa yang ngajarin ngomong kaya gitu? Nggak sopan. Jaga
"Mas, Mbok Ijah gak mau kerja di sini?"Sudah dua minggu tidak ada yang membantuku mengurus rumah. Semenjak kejadian ribut dengan Alina, Mbok Ijah tidak ke sini, dan belum aku temui di rumahnya. Apa aku harus ke rumahnya? malas. Pasti bertemu Alina. Perempuan kurang ajar itu. Lebih baik aku cari pembantu baru saja. "Nanti Mas ke rumah Mbok Ijah, yah, Sayang.""Gak usah, deh, Mas. Kita cari ART baru aja. Atau aku sendirian ajah, deh, gak papa.""Jangan dong, kesian kamu.""Biar nanti ibu yang bantu jaga Kahfi kalau pulang dari TK.""Gak usah, Sayang. Kesian malah ngerepotin ibu. Nanti Mas cariin lagi. Banyak, ko.""Tapi inget, jangan yang muda. Cari yang udah tua, seumuran ibu aku atau ibumu.""Siap, Sayang. Cie cemburu. Makin sayang.""Ih, aneh."Suamiku izin ke ruang kerjanya. Sementara aku, sedang menyusui Kahfi. Sudah jam delapan malam, bayi menggemaskanku belum tidur juga. Masih anteng bermain dengan puting. "Hallo, assalamualaikum, Ra." Ponsel berdering. Tumben sekali Tiara me
"Alina buka pintunya. Kurang ajar kamu.""Buka!" teriakku sepenuh tenaga. "Sialan, ke mana mereka."Tenang Mira, jangan emosi. Aku ini wanita berkelas, tidak seperti oranf tak berpendidikan. Tapi, manusia model Alina memang menguras emosi. Pintar membalikan fakta. Cocok sekali menjadi pemain sinetron. "Bu Mira, kenapa kamu ke sini lagi? belum puas mukulin saya."Wajah perempuan itu lebam. Entah apa yang dilakukan ibu-ibu. Bagian pelipis, dan jidat, cukup parah. Membiru, dan lebam kemerahan. Aku hampir tertawa melihat penampakan Alina yang berubah seram. Beginilah karma cewek kegatelan."Kamu fitnah saya, hah? Enak saja bilang kalau saya yang menganiaya kamu. Itu salah kamu sendiri.""Loh, emang Mbak yang nyuruh ibu-ibu itu datang.""Enak aja kalah ngomong. Tunggu di sini kamu, awas jangan kabur."Aku sedikit berjalan mengawasi sekitar. Mencari para ibu yang kemarin. Sengaja datang di jam-jam menjelang siang. Pasti ibu-ibu itu akan belanja sayuran seperti kemarin. "Nungguin siapa? m
"Alhamdulilah, akhirnya kamu pulang, Sayang."Suamiku tampak cemas. Dia langsung merangkulku. Sementara aku, malah menunjukan senyum tanpa rasa bersalah. Alin, Mbok Ijah dan ibu mertuaku sudah menunggu di ruang tamu. Mereka duduk dengan wajah masam."Kamu ke mana saja, Alina?""Ibu 'kan tahu aku ke mana, masa nanya lagi.""Ya ampun, kamu ini berulah saja.""Bu ...," tegur suamiku. Ibu mertua langsung diam. Tak lama kemudian, ibuku juga ikut berkumpul. Sepertinya dia sudah tahu permasalahannya. Memberikan Kahfi kepadaku."Susuin dulu Kahfinya, Mir. Kayanya dia mau susu kamu.""Loh, terus permasalahan saya bagaimana?" tanya Alina protes."Tunggu dulu, Alina. Biarkan istri saya menyusui anak kami."Aku ulas senyum penuh kemenangan. Masuk ke kamar dan menyusui Kahfi. Ibu masuk ke kamar. Dia mengusap tanganku. Pasti ada sesuatu yang mau dibicarakan. "Sabar yah, Nak, namanya juga hidup. Wajar kalau sesekali menghadapi kesalahpahaman.""Iya, Bu, aman. Ibu gak usah cemas. Mas Hafidz beda s
"Lah, saya gak nyuruh Alina pergi hari ini, Mbok. Kalaupun nyuruh, saya pasti ke rumah Mbok dulu.""Terus anak Mbok pegi ke mana Mbak Mira.""Ya, mana saya tahu, Mbok. Coba ditelpon, mana nomernya.""Mnok gak bisa pake hape, biasanya nelpon ke Ranti.""Ya, udah kita ke rumah ibu mertua saya, Mbok. Tahu aja bisa ditelpon.""Iya, Mbak.""Ada apa ini?""Ini loh, Mas, Si Alina minggat dari rumah. Sangkanya dia pergi disuruh aku. Lah, aku mana tahu.""Terus kamu mau ke mana, Sayang.""Ke rumah Mamah kamu, biar nelponin Si Alina.""Y sudah, Mas antar, Kahfi bawa saja. Soal Nayla biar Mas kabarin ibu buat pesen ojek, terus nitip Nayla di rumah ibu dulu.""Oke, Mas.""Mbok gak usah cemas, Alina udah gede, dia juga biasa merantau, gak mungkin nyasar," ucap suamiku. Mbok Ijah mengangguk. Raut wajahnya cemas. Memang anaknya tukang buat orang cemas. Sudah dewasa masih suka kabur-kaburan.Aku segera siap-siap mengambil beberapa keperluan bayi, seperti boto susu, dan pempes. Jiwa emak-emak tak ter
"Hallo, Tiara.""Iya, kenapa, segala telepon lagi. Gua lagi rapat sama WO.""Bentar-bentar, Ra, aku penasaran banget sama informasi yang kamu kasih tahu. Apa gak salah liat?""Mana mungkin salah, nih, bentar gua kirim fotonya. Foto deket banget. Soalnya orang suruhan gua sampe nyewa dia buat nemenin minum, supaya bisa ngasih foto dengan jelas.""Oke, aku tunggu fotonya. Sore insyallah, aku sudah sampai yah, Ra.""Asek, buruan, gua tunggu. Hati-hati di jalan yah.""Siap."Sambungan telepon dimatikan. Aku buka foto yang baru dikirim Tiara. Mata tercengang luar biasa. Itu benar-benar foto Alina. Perempuan itu bekerja sebagai wanita malam? astaga. Pantas saja dia banyak yang menghujat. Parah sekali. Ingin rasanya mengadu pada ibu mertua, tetapi tak ada waktu. Harus segera ke Jakarta. Biar nanti saja aku ceritakan soal ini. "Sayang, muka kamu kenapa?" tanya suamiku saat aku masuk ke mobil. "Ada kabar buruk, Mas.""Kabar buruk apa?" Mas Hafidz yang sedang menyetir mendadak panik. "Tenan
"Alina, tunggu. Kita harus bicara.""Ada apa ini, Sayang?""Aku gak mau ketemu perempuan itu, Sayang.""Tunggu!"Berhasil. Aku bisa meraih tas Alina. Dia tak bisa berkutik lagi. Meski pakai kebaya, lariku tetap lincah. "Lepaskan.""Gak, aku mau ngobrol.""Mbak ini siapa?""Saya saudaranya Alina dari kampung. Saya cuman mau bicara, kalau ibunya Alina khawatir sama dia.""Sayang?""Kamu tunggu di mobil saja, Sayang. Aku mau bicara sama perempuan ini.""Gak papa?" Alina mengangguk. Pria itu pergi duluan. Hanya ada aku dan Alina."Kamu mau ngomong apa?""Jadi, bener informasi yang aku dapat, kalau kamu seorang wanita ....""Apa? gak usah ikut campur sama hidupku. Urus hidupmu sendiri. Toh, aku sudah tidak menganggu keluargamu lagi.""Kamu ini benar-bener Alina, kasian Mbok Ijah. Bisa-bisanya kamu kerja haram kaya gini.""Halah, gak usah sok suci kamu. Urus hidupmu, jangan sampai suamimu tergoda sama perempuan sepertiku.""Dih, kepedean banget kamu. Kamu kembali ke Jakarta karena frustas