“Malah bengong ini anak.”“Eh, kenapa, Bu?”Bahkan sampai rumah Haidar masih memikirkan maksud omongan Aslan tadi. Tidak seharusnya ia seperti ini, lebih baik tahu diri daripada lupa diri.“Dari tadi Ibu manggil, kamu nggak nyaut, pantesan aja orang kamu bengong kok.”“Kenapa, Bu?”“Nggak istirahat? Yang lain udah pada istirahat loh.”Haidar menggeleng, “nanti aja, Bu.”Desi mengambil posisi di samping putra sulungnya itu, “kamu belum cerita soal waktu itu loh. Ada masalah apa?”“Masalah pribadi Alesha, jadi aku nggak berhak buat cerita.”“Oh. Semoga masalahnya cepet selesai ya.” Desi tahu batasan, meski dirinya sangat ingin tahu masalah yang membuat Haidar bahkan harus terlibat. Ia bukan lagi Desi yang dulu yang tidak tahu malu dan selalu ingin tahu urusan orang lain.“Iya, Bu. Makanya Alesha disuruh kesini buat liburan biar bisa sedikit lupa soal masalahnya.” Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Haidar.“Suaminya nggak ikut ya? Padahal waktu itu Ibu cuman lihat sebentar doang.”Haidar
Senyum tersungging di bibir Revan saat ia akhirnya bisa mendengar suara Alesha.“Iya.”“Kamu dimana?”“Ak-aww! Pelan-pelan, Dar. Perih tahu!” Terdengar suara Alesha protes sambil mendesis dari seberang telepon.“Aku tiup ya.” Suara Haidar pun ikut terdengar meski samar-samar.“Jangan! Geli.”Tangan Revan mengepal, hanya sepenggal percakapan itu sudah membuat pikiran negatif Revan semakin berkembang.“Kamu lagi ngapain disana sama Haidar? Alesha, jangan lakukan hal aneh-aneh ya.” Ia sebisa mungkin menahan emosi yang sudah siap meledak. Meski dari nada suaranya jelas jika ia sedang marah.“Maaf, Mas ada urusan apa ya telepon saya? Kalau nggak ada yang mau dibicarakan saya tutup teleponnya.”Revan terdiam karena bingung ingin mengatakan apa hingga akhirnya sambungan telepon itu terputus. Saat mencoba menghubungi lagi, nomor Alesha malah tidak aktif.“Si*lan! Mereka lagi apa disana.” Revan yang pemikirannya dewasa jelas berpikir yang tidak-tidak soal apa yang dilakukan oleh Alesha dan jug
“Dulu Daddy membuangku tanpa perasaan. Aku nggak rela melihat Daddy bahagia sedangkan aku disini menderita. Anak mana yang mau terlahir karena sebuah kesalahan? Nggak akan ada yang mau termasuk aku. Kalau Mommy masih ada, mungkin aku nggak bakalan sesakit ini.”Dengan kasar Liliyana mengusap pipinya yang basah. Setiap mengingat kejadian itu, hatinya pasti kembali terluka. Sampai saat ini ia bahkan tidak bisa melupakan kepahitan beruntun yang dialami saat usianya sepuluh tahun.Setelah ditinggalkan selamanya oleh sang ibu, Liliyana kecil juga harus menelan kepahitan karena tidak diinginkan oleh ayah kandungnya sendiri. Bahkan keluarga besar sang ibu sama sekali tidak mengharapkan kehadirannya. Karena hadir di luar pernikahan membuat Liliyana menjai sosok yang tidak diinginkan siapapun.“Lily, kamu di dalam?”“Iya, Tante.” Liliyana memastikan tidak ada jejak air mata di pipinya. Ia beranjak untuk membuka pintu kamarnya.“Tante harus pergi ke rumah Ibu mertua. mungkin satu bulan disana s
Bunga mengalah, meninggalkan Alesha dan Revan untuk bicara.“Tolong, Mas. Jangan melakukan hal yang sia-sia, apa yang kamu lakuin itu akan terus menyakiti diri kamu sendiri dan aku juga. Takdir kita memang sudah seharusnya begini, aku mohon kamu bisa menerima.” Ini kali terakhir Alesha memperingati, jika Revan masih sama maka ia akan membiarkan lelaki itu melakukan apapun karena tidak akan ada yang berubah.Alesha mengusap pipinya yang basah, ia lelah jika harus seperti ini terus. Alesha bukan seorang berhati malaikat yang bisa menerima apapun yang terjadi. Jika terlalu sakit, ia juga bisa menangis.“Maaf.” Hanya kata itu yang terucap dari Revan.Apa yang dikatakan Alesha barusan dan juga Bunga, sudah berhasil menampar Revan yang begitu egois. Ia ingin bahagia tanpa berpikir betapa terlukanya Alesha. Jika memang tidak bisa lagi maka ia akan berhenti tapi itu bukan berarti ia akan bersama dengan Nara.Dengan membawa kekecewaan Revan pergi dari sana. Ia frustasi, merasa tidak memiliki l
Damar menghempaskan tubuhnya di kasur, melakukan perjalanan jauh tanpa tidur dan istirahat membuat tubuhnya remuk. Jika bukan karena ingin masalah ini segera selesai, Damar tidak akan mungkin sampai sejauh ini. Sekarang hanya tinggal satu langkah lagi, setelah Bu Nia datang dan meminta maaf langsung pada keluarga Amel maka semua tuntas.Apa yang dilakukan Bu Nia memang tidak dibenarkan, semarah-marahnya ia pada Anita saat itu tetap tidak baik jika sampai membuatnya sampai tertekan sampai sakit jiwa dan berakhir bunuh diri. Secara tidak langsung Bu Nia menyebabkan Anita melakukan itu mseki bukan salah Bu Nia sepenuhnya.Soal Liliyana pun sudah diselesaikan karena Amel yang mengakui jika memang dirinya yang mendoktrin Liliyana. Tidak ingin dikasihani Liliyana melepaskan diri dari Amel, ia lebih memilih hidup sendiri.Mungkin jika tidak diberikan ancaman, Amel juga akan terus tutup mulut. Bahkan Damar sendiri yang meminta ibunya datang agar tidak ada lagi dendam masa lalu yang masih terb
“A-apa? Kamu mau ngomong apa?” Alesha malah gugup tidak seperti biasanya yang akan lepas-lepas saja bicara dengan Haidar.Mungkin karena sering digoda oleh keluarganya makanya Alesha sekarang jadi seperti ini semakin memperjelas jika memang ia memiliki rasa pada Haidar.“Sebenarnya ….”“Apa?”“Aku diminta sama temen-temen SMA kita dulu buat ajak kamu reuni, katanya mereka nggak berani kalau ngajak kamu secara langsung.”Alesha menghela nafas panjang, ada rasa kecewa menyusup dalam dada karena terlalu berpikir jauh. Alesha memang aneh, ia menolak rasanya sendiri tapi malah berharap lebih. Tidak pernah sebelumnya ia merasa seperti ini bahkan saat bersama dengan Revan sekalipun.“Kapan?” Alesha masih memperlihatkan senyum di wajahnya.“Pastinya belum ditentukan, nanti aku kasih tahu lagi.”Alesha manggut-manggut, “kamu kok kesini sendiri, pacar kamu tadi mana?” Setelah mengatakan itu Alesha malah merutuki dirinya sendiri karena bisa-bisanya berucap begitu.Haidar tertawa geli, “kamu sama
“Nggak bisa bulan depan, harusnya hari ini.”Apa yang dikatakan Damar berhasil mengundang gelak tawa semua orang yang tadi sempat tegang.“Aish! Malah bercanda, aku sampe takut loh.” Launa memukul pundak suaminya itu kesal.“Emang boleh, Om?” Haidar menatap calon mertuanya itu sedikit ragu.“Lebih cepat lebih bagus. Kalau memang sama-sama yakin dan siap kenapa harus ditunda, yang terpenting akad soal resepsi bisa nyusul nanti.”Damar memang dari dulu tidak pernah ingin menunda jika soal hal-hal baik apalagi pernikahan. Bahkan sebelum hari ini Damar sudah bicara dengan sang istri mengenai Haidar dan juga Alesha, jika bukan karena bantuan Aslan dan Bunga mungkin saja hari bahagia ini akan terus tertunda entah sampai kapan.Haidar tidak mengambil keputusan sendiri, ia meminta pendapat juga dari orang tuanya dan juga kesiapan Alesha karena ia tidak ingin hanya mementingkan perasaannya sendiri apalagi yang terjadi masih terasa seperti mimpi tidak hanya bagi Haidar tapi bagi Alesha juga.Ha
“Terima kasih atas motivasinya, Mas. Saya pasti bekerja keras untuk bisa membahagiakan Alesha, saya tidak akan membuat istri saya malu.” Bukan Haidar namanya jika membalas dengan bersungut-sungut.Revan yang mendengarnya mencebik tidak suka. “Terserah lo aja. Tapi kalau Alesha nggak bahagia sama lo, gue bisa ambil dia lagi dari elo!” ujarnya sebelum berlalu.Haidar hanya geleng-geleng kepala. “Sama sekali nggak berubah.”“Apa yang berubah?” tanya Alesha yang sudah ada di sana.“Powe Rangers,” sahut Haidar sekenanya.“Aku serius, Haidar!”Haidar mengerutkan keningnya. “Apa? Bilang apa tadi?”“Aku serius, Haidar.” Alesha mengulang kembali tiga kata itu.“Perasaan tadi ada yang manggil mas deh, siapa ya? Mbak-mbak yang lewat kali ya.”Alesha menepuk pundak lelaki itu. “Apaan sih, nggak usah ngeledek gitu. Tadi aku cuman refleks karena ada Mas Revan.”“Lanjut bahasnya nanti aja. Ayo makan dulu, kalau dingin nanti nggak enak.”Tentang apa yang dibicarakannya dengan Revan tadi, tidak akan H