“Lancang kamu ya! Nggak tahu diri! Masih untung Mas Damar bantuin kamu cariin si Anto!” berangku. Habis sudah kesabaran ini karenanya.“Berbagi dikit kali, Na!” Dengan mudahnya dia mengatakan itu seolah-olah suamiku itu barang.Aku menyambar bantal sofa dan melayangkan tepat ke wajah Desi. Untung hanya bantal, kalau kalap bisa saja asbak di meja melayang menghantam kepalanya. Untung saja aku masih bisa berpikir jernih dan tidak mengotori tanganku dengan melakukan kekerasan seperti itu.“Cukup, Desi! Saya coba bantu kamu sebisa saya. Sebenarnya saya bisa aja nggak peduli tapi saya masih punya hati dan rasa kemanusiaan. Jadi terima aja, nanti saat Anto datang kamu akan langsung dia nikahi.”“Mas, ak-”Ucapan Desi terpotong kala tangan bapaknya itu melayang menyentuh pipinya. Tubuh Desi bahkan sampai sedikit terhuyung saking kerasnya tamparan itu. Baru kali ini aku melihat Bapaknya Desi marah, sepertinya kemarahannya sudah melewati batas. Apalagi mengingat banyak sekali masalah yang dibu
“Bu Launa itu istrinya Pak Pras, CEO di tempat aku kerja. Ternyata Bu Launa teman istri saya.”Aku lupa siapa nama suaminya Lela ini, dia mungkin mengenalku tapi aku tidak, mungkin lebih tepatnya lupa karena aku jarang sekali datang ke kantor Mas Damar. Paling saat ada acara saja baru aku muncul.Lela terbelalak dengan mulut yang menganga, “a-apa?” Dia menarik suaminya mendekat, “apa CEO di perusahaan kamu itu udah tua?”Meski berbisik sayup-sayup aku masih bisa mendengarnya.“Nggak, masih muda banget. Kenapa emang?”“Masa sih?”“Ya ngapain aku bohong? Pak Pras memang masih muda, tampan. Jadi idola di kantor. Cocoklah sama Bu Launa yang cantik.”Lela sepertinya kecewa karena suamiku tidak seperti yang ada dalam bayangannya. Entah kenapa ada saja orang yang tidak suka melihat orang lain bahagia.Tidak perlu aku yang menjelaskan atau pamer seperti apa suamiku. Tidak ada untungnya melakukan itu, aku bukan orang yang suka pamer.“Ayo duduk, Na.” Maya menarikku menjauh dari Lela.Meninggal
Karena sakit hati atas perkataan Desi yang menghina dan merendahkan membuat Anto nekat melakukan hal gila ini. Lidah memang tak bertulang tapi sakitnya hati dari sebuah ucapan itu bagai ditusuk belati. Aku tidak tahu jelas perkataan seperti apa yang diucapkan Desi tapi sepertinya memang itu sudah melukai hati Anto. Terlihat jelas dari sorot matanya, dia tidak berbohong soal itu. Ungkapan cintanya dibalas dengan begitu kejam dan mungkin menyisakan dendam.Padahal jika memang menolak tinggal bicara baik-baik, tidak perlu sampai menyakiti hati orang. Jika seseorang hatinya sudah terluka maka celaka yang akan didapat oleh si pelaku, sama seperti apa yang didapatkan oleh Desi. Meskipun tidak semua orang pendendam tapi tetap saja setiap perbuatan buruk sekecil apapun akan mendapat balasannya.Kejadian ini memberikan sebuah pelajaran juga untukku agar berhati-hati dalam berucap, jangan sampai ada perkataan yang menyinggung apalagi melukai hati seseorang.“Sayang, bawa Anto ke rumah orang tua
POV Author“Mama … katanya besok udah sampai di Jakarta.”Mata Launa terbelalak, “Mama, kok nggak bilang?”“Ya, ini udah bilanng, sayang.”“Maksud aku, waktu itu 'kan Mama nggak jadi katanya ….”“Kamu kayak nggak tahu Mama aja, ngomongnya nggak jadi tapi tiba-tiba nongol.”“Tapi itu kok ngasih tahu kamu?” Launa bertanya heran.“Bukan Mama yang ngasih tahu tapi Dillan yang bilang, pasti khawatir karena Mama datang sendiri. Besok biar aku suruh Amel jemput Mama di bandara.”Launa manggut-manggut. Sebenarnya kedatangan Bu Nia tidak menjadi masalah untuknya, ia bahkan sangat senang karena begitu merindukan Mama mertuanya setelah satu tahun tak berjumpa. Tapi khawatir nanti jika Bu Nia datang Desi berulah dan mendekati Damar, bisa perang dunia antara Bu Nia dan Desi yang tidak mau saling mengalah. Mungkin jika Launa masih bersikap santai tapi tidak dengan Mama mertuanya, ia tidak akan membiarkan wanita gatel manapun mendekati putranya.“Gimana kalau kita pulang?”Damar mengernyitkan kening
“Kalau kabur alamat nggak dapet warisan, mana lagi nggak punya duit lagi. Apes banget sih hidup aku.” Desi menghembuskan nafas kasar lalu menghempaskan tubuhnya ke atas kasur.Semalam tidak bisa tidur dan sekarang waktunya untuk memejamkan mata karena memang ia juga merasa mengantuk. Meratapi pun tidak akan mengubah keadaan jadi lebih baik tidur, Desi bertahan hanya karena memikirkan uang warisan yang akan didapatkannya padahal belum pasti, umur tidak ada yang tahu bukan. Sama seperti apa yang dikatakannya pada sang ibu tadi.Desi berada di alam mimpi sampai sore menjelang. Ia terbangun karena mendengar suara orang-orang dari luar rumah. Desi yang orangnya memang kepo langsung loncat dari kasur dengan terburu-buru mengintip dari jendela rumahnya.“Wah, orang kaya dari mana tuh lewat?” gumamnya.Ia keluar dari rumah guna melihat kemana mobil itu melaju. Kening wanita itu berkerut saat mobil mewah itu berhenti di depan rumah Launa. Bahkan terlihat ibu-ibu juga saling berbisik membicarak
“Mama mer-”“Nyonya Kania!” Bu Nia memperjelas, “Jangan sembarangan manggil orang! Jangan sok kenal!” bentaknya dengan mata melotot.“Ayo pulang, Ma.” Damar merangkul sang ibu, tidak mau sampai membuat keributan disana.“Sampai ketemu lagi, kujahit mulutmu itu! Sembarangan goda laki orang. Kalau udah gatel sana cari laki sendiri!”“Dia udah nikah, Ma. Udah sih, kita pulang ya.” Damar masih mencoba membujuk ibunya sedangkan Launa menahan tawa melihat ekspresi wajah Desi.“Eh, nggak ada ceritanya istri punya suami dua. Kecuali kalau emang situ dipake rame-rame,” celetuk Bu Nia membuat wajah Desi langsung memanas karena malu.Desi terdiam masih shock dengan perkataan Bu Nia.Bu Rt yang melihat itu begitu puas, akhirnya ada yang bisa membuat Desi mati kutu seperti ini dengan mulut yang lemes dan perkataan yang tidak memakai saringan.“Pulang yuk, Ma. Nanti Aslan nyariin.” Launa juga mencoba membujuk Bu Nia agar bisa diajak pulang.Bu Nia melengos setelah melayangkan tatapan tajamnya yang
“Iya, Emak kamu ini pelakor dan saya korbannya. Terus ceritanya kamu mau mengulang sejarah jadi pelakor, mau rebut anak saya dari istrinya? Mimpi aja sana! Harusnya yang diwarsikan itu yang baik ini malah bibit pelakor!” Dengan gamblangnya Bu Nia bicara.Suara keras wanita itu bahkan bisa dengan jelas didengar oleh orang-orang disana yang langsung berbisik-bisik.“Jaga mulutmu itu!” Bu Siti menjambak rambut Bu Nia dengan gerakan cepat.“Lepaskan tangan kotormu dari rambutku, jal*ng!” pekik Bu Nia yang balas menjambak rambut Bu Siti.“Jangan seperti ini, bicara baik-baik. Malu dilihat orang.” Pak Adi mencoba untuk menjauhkan keduanya tapi tidak bisa, seolah kedua wanita itu memiliki kekuatan besar.“Desi, pegang ibumu. Kenapa hanya diam?”“Biarin aja, Pak. Kapan lagi lihat beginian,” ujar Desi seperi tidak ada rasa khawatirnya pada sang ibu.Ibu-ibu juga bukannya membantu memisahkan mereka malah bersorak layaknya sedang menonton sebuah pertandingan.Bu Nia yang memliki kekuatan lebih b
“Tapi rencana ini nggak instan, To.” “Mie aja yang instan harus direbus dulu 'kan?” Damar yang baru saja keluar kamar langsung menyahut, lelaki itu berjalan mendekat menghempaskan tubuhnya di samping sang istri. “Bener kata Mas Damar. Kamu harus sabar tapi sambil nunggu rencana ini berjalan mending kamu pulang aja. Udah lama 'kan nggak jenguk istri kamu.” “Tapi, Bu. Soal kerjaan saya ….” “Saya itu marah, marah banget sama kelakuan kamu, To. Tapi saya kasihan sama istri kamu yang sakit. Kamu harus berterimakasih sama istri kamu karena berkat dia kamu nggak jadi saya pecat.” “Be-benar, Pak?” “Iya. Udah pulang sana, siap-siap balik kampung. Tapi terserah kamu sih, itu saran dari kami.” “Tapi kerjaan saya, Pak?” “Udah kamu disana aja dulu, saya juga masih liburan disini nanti saya balik ke kota baru kamu juga balik.” “Kamu juga disini makan hati terus dibuat si Desi, mending jenguk istri kamu dulu. Kasihan loh, pasti nunggu kamu pulang.” tambah Launa. Anto merasa sangat bersyukur