Damar tengah menunggu tukang bakso lewat sementara Launa sedang mandi, wanita itu memang yang meminta Damar menunggu tukang bakso yang biasa lewat depan rumah. Apapun akan dilakukan jika untuk istrinya meski harus menunggu di depan rumah dan menjadi pusat perhatian para ibu-ibu.Saat suara mangkok dan sendok beradu itu sebuah pertanda kedatangan tukang bakso. Damar tersenyum sumringah, ia bahkan sudah pegal. Padahal ia bisa saja duduk tapi malah memilih berdiri.Damar segera menghampiri gerobak bakso itu, meski harus sedikit mengalah pada ibu-ibu lain. Ia tidak mau berdesakan.“Mang, bakso ya. Bakso yang paling besar tapi nggak usah pakai kuah, kecap sama sambal aja.”“Yamin maksudnya?”“Iya itu kali, nggak tahulah. Pokoknya nggak usah pakai kuah, pake bawang sama seledri yang banyak.”“Berapa mangkok?”“Satu aja. Satu lagi pake ini aja.” Damar mengarahkan telunjuknya pada tusuk kayu yang ada di dekat sendok dan garpu.“Berapa biji?”“Dua aja.”Damar hanya penasaran bagaimana sensasin
“Kenapa diam?”“A-anu, Bu. A-anu aku ….”“Anu, anu. Anu kamu kenapa emang?” tanya Bu Nia dengan mata melotot khas dirinya saat sedang marah.“I-itu …”“Gatel? Minta digaruk pake ini?” Bu Nia mengangkat garpu rumput di tangannya. “Beraninya kamu ngintip anak sama menantu saya? Mau bintitan kamu?”Desi membelalak tubuhnya mundur teratur saat Bu Nia memajukan langkahnya.“Sekali lagi saya lihat kamu deketin anak saya, saya botakin kamu ya! Saya nggak main-main, di belakang ada gunting rumput, mau sekalian aja sekarang? Ayo!”“Ti-tidak, Bu.”“Ba bu ba bu. Aku bukan Ibumu. Panggil aku Nyonya Kania.”“I-ya, Nyonya.”“Saya peringatkan sekali lagi. Nggak cuman botakin kamu, saya kasih masuk kamu ke parit habis itu diarak keliling kampung biar jadi tontonan sekalian karena kamu itu sukanya cari perhatian 'kan?”Desi menggeleng tanpa bisa berkata-kata. Saat berdekatan dengan Bu Nia memang auranya sangat berbeda, begitu mengerikan bahkan Desi yang banyak bicara saja tidak bisa berkutik, bukan ka
“Pelan-pelan. Ini minum dulu.” Anto menyodorkan gelas berisi air putih pada Desi.Beruntung tidak ada orang di hadapan Desi, jika ada sudah pasti Desi dimaki karena menyemburkan nasi.Laras yang tadi mengantarkan makanan untuk Desi tidak terlalu memperhatikan karena sibuk dengan pembeli.Desi masih sibuk dengan pikirannya karena sampai tidak bisa mengenali Anto. Lelaki yang beberapa bulan lalu ditemuinya itu tidak terawat bahkan dekil di mata Desi tapi sekarang sangat berbeda. Sudah pasti karena Anto tinggal bersama istrinya jadi apapun kebutuhannya tersedia. Juga karena bantuan Sang Nyonya Muda, Launa.Dan ini juga salah satu rencana yang disarankan oleh Launa saat itu. Untuk menarik perhatian Desi itu yang pertama sudah pasti penampilan karena jika sudah dibuat jatuh cinta uang akan menjadi nomor sekian.“Kamu ya yang sengaja minta Bapak sama Ibu buat bawa aku kesini!” bentaknya, ia tidak ingin ketahuan terpesona pada suaminya sendiri. Itu akan sangat memalukan bagi Desi.Suara Desi
“Siap-siap aja. Lusa kamu balik ke sini. Ke kampung istri saya,” ujar Damar.“Apa?”“Istri kamu sekarang udah sehat jadi sekalian aja bawa kesini, To. Katanya istri saya juga ada kerjaan buat Laras, siapa tahu cocok.”“Baik, Pak.”“Daripada kalian tinggal terpisah 'kan. Okelah, saya tunggu kamu balik.”“Terima kasih banyak, Pak.”Launa masuk dengan secangkir kopi di tangan.“Habis telepon siapa, Mas?”“Anto.”“Jadi, kamu minta dia kesini?”Launa terbahak.“Kenapa malah ketawa?”“Si Desi udah dibawa jauh-jauh kesana eh ujungnya balik lagi kesini.”Damar mengedikkan bahunya, “mau gimana lagi. Dia harus ikut kemanapun suaminya kerja.”Mereka masih berada di kampung halaman Launa karena Damar akan membuka lapangan pekerjaan d
“Ada apa, Mas?”“Sayang ….”“Kalau nggak ngomong ak-”“Iya, iya. Ada sedikit masalah, tadinya aku nggak mau cerita ke kamu karena takut kamu kepikiran. Tapi aku bakalan segera selesaikan kok, nggak usah khawatir.”Kedua tangan Launa terangkat membingkai wajah sang suami, “aku percaya kamu bisa menyelesaikan semuanya. Aku nggak bakalan mikirin sesuatu yang bakalan bikin kondisi kehamilan aku terganggu.”“Maaf.”“Udah, nggak apa-apa.”Damar merogoh kembali ponselnya memperlihatkan layar dan nama Amel terlihat disana, ia lalu memutuskan sambungan telepon. “Aku percaya kok, Mas.”“Kamu 'kan biasanya cemburuan, sayang.”“Nggak setiap saat juga, Mas. Emang aku berlebihan banget ya?”“Nggak kok, sayang. Masuk yuk, Anto kasihan udah nunggu.”Keduanya melangkah masuk
“Bu Nia ….” Kaki Bu Rt gemetar melihat Bu Nia.Siapa suruh bawa-bawa anak tampannya Bu Nia sekarang terima akibatnya saat sang induk singa marah.“Mama ke dalam aja ya,” pinta Launa dengan seulas senyum.Melihat aura menantunya berbeda, Bu Nia langsung masuk. Ia ingin lihat seperti apa perkembangan Launa saat menghadapi orang-orang toxic seperti Bu Rt dan Desi.“Desi, Bu Rt. Apa yang kalian lakukan ini sangat menjatuhkan harga diri, harga diri kalian sendiri. Jangan karena selama ini aku diam karena terima apa yang kalian lakukan, aku bukan orang yang suka adu mulut soalnya, aku cuman nggak mau ada omongan aku yang melukai hati orang. Tapi kalau udah keterlaluan aku juga nggak bisa diam. Soalnya bukan cuman satu dua kali, tapi berkali-kali. Aku juga bisa bedain bercanda sama serius.”Kedua orang itu diam karena melihat Launa yang tiba-tiba bicara dengan begitu serius bahkan tidak ada senyu
[Sayang. Ada klienku yang datang ke kantor. Aku udah bilang kamu lagi cuti tapi dia mohon-mohon katanya emang impiannya pengen pakai wedding dress rancangan kamu.]Launa menghela nafas panjang laku mengetik pesan balasan.[Ya udah. Kirimin aja nomornya. Nanti aku bahas langsung sama orangnya]Bisa saja Launa langsung menolak tapi ini mengenai impian seorang gadis yang ingin mengenakan gaun impian di hari bersejarahnya. Bukan soal uang tapi karena memang Launa ingin berperan juga dalam hari bahagia seseorang meski orang itu tidak dikenalnya.Mungkin jika ada kesepakatan maka ia akan kembali ke kota hanya untuk beberapa waktu karena ia tidak akan mungkin melakukannya dari sini. Itu pun jika Damar memberi izin, jika tidak maka Launa tidak memiliki pilihan lain selain menolak karena yang utama tetap izin dari suami.[Kalau mau kesini nanti kasih tahu, aku akan jemput.] Damar.Meski dirinya begitu sibuk tapi tidak akan membiarkan istrinya melakukan perjalanan seorang diri, baginya pekerjaa
[Pras, aku percayakan Liliyana padamu. Hanya sementara, nanti aku jemput lagi. Keluarga aku nggak menerimanya, sebagai ayahnya aku minta kamu menjaganya sebentar sampai aku kembali. -Vivian.]Kening Damar berkerut membaca isi dalam surat kecil itu, Launa juga ikut membaca. Ia menatap suaminya dengan lekat.“Mas ….”“Vivian … perasaan aku nggak punya mantan yang namanya Vivian deh. Aku juga nggak pernah begituan sebelum nikah, sumpah,” ujar Damar sambil meremas kertas yang baru saja dibacanya itu.“Lebih jelasnya ayo kita lihat aja. Aku udah capek loh ada masalah terus, aku harap ini juga cuman salah paham.”“Aku juga sama.”Launa sangat percaya pada suaminya, ia tidak ingin berpikir buruk lagi dan membuat kondisinya memburuk pada akhirnya. Mereka sekarang sudah berada di ruang pengawas menunggu stafnya yang sedang mencari bagian CCTV di depan ruangan Damar.Seorang wanita keluar dari lift bersama Liliyana wanita itu berbisik pada Liliyana sebelum meninggalkan anak itu seorang diri. Ha