“Pelan-pelan. Ini minum dulu.” Anto menyodorkan gelas berisi air putih pada Desi.Beruntung tidak ada orang di hadapan Desi, jika ada sudah pasti Desi dimaki karena menyemburkan nasi.Laras yang tadi mengantarkan makanan untuk Desi tidak terlalu memperhatikan karena sibuk dengan pembeli.Desi masih sibuk dengan pikirannya karena sampai tidak bisa mengenali Anto. Lelaki yang beberapa bulan lalu ditemuinya itu tidak terawat bahkan dekil di mata Desi tapi sekarang sangat berbeda. Sudah pasti karena Anto tinggal bersama istrinya jadi apapun kebutuhannya tersedia. Juga karena bantuan Sang Nyonya Muda, Launa.Dan ini juga salah satu rencana yang disarankan oleh Launa saat itu. Untuk menarik perhatian Desi itu yang pertama sudah pasti penampilan karena jika sudah dibuat jatuh cinta uang akan menjadi nomor sekian.“Kamu ya yang sengaja minta Bapak sama Ibu buat bawa aku kesini!” bentaknya, ia tidak ingin ketahuan terpesona pada suaminya sendiri. Itu akan sangat memalukan bagi Desi.Suara Desi
“Siap-siap aja. Lusa kamu balik ke sini. Ke kampung istri saya,” ujar Damar.“Apa?”“Istri kamu sekarang udah sehat jadi sekalian aja bawa kesini, To. Katanya istri saya juga ada kerjaan buat Laras, siapa tahu cocok.”“Baik, Pak.”“Daripada kalian tinggal terpisah 'kan. Okelah, saya tunggu kamu balik.”“Terima kasih banyak, Pak.”Launa masuk dengan secangkir kopi di tangan.“Habis telepon siapa, Mas?”“Anto.”“Jadi, kamu minta dia kesini?”Launa terbahak.“Kenapa malah ketawa?”“Si Desi udah dibawa jauh-jauh kesana eh ujungnya balik lagi kesini.”Damar mengedikkan bahunya, “mau gimana lagi. Dia harus ikut kemanapun suaminya kerja.”Mereka masih berada di kampung halaman Launa karena Damar akan membuka lapangan pekerjaan d
“Ada apa, Mas?”“Sayang ….”“Kalau nggak ngomong ak-”“Iya, iya. Ada sedikit masalah, tadinya aku nggak mau cerita ke kamu karena takut kamu kepikiran. Tapi aku bakalan segera selesaikan kok, nggak usah khawatir.”Kedua tangan Launa terangkat membingkai wajah sang suami, “aku percaya kamu bisa menyelesaikan semuanya. Aku nggak bakalan mikirin sesuatu yang bakalan bikin kondisi kehamilan aku terganggu.”“Maaf.”“Udah, nggak apa-apa.”Damar merogoh kembali ponselnya memperlihatkan layar dan nama Amel terlihat disana, ia lalu memutuskan sambungan telepon. “Aku percaya kok, Mas.”“Kamu 'kan biasanya cemburuan, sayang.”“Nggak setiap saat juga, Mas. Emang aku berlebihan banget ya?”“Nggak kok, sayang. Masuk yuk, Anto kasihan udah nunggu.”Keduanya melangkah masuk
“Bu Nia ….” Kaki Bu Rt gemetar melihat Bu Nia.Siapa suruh bawa-bawa anak tampannya Bu Nia sekarang terima akibatnya saat sang induk singa marah.“Mama ke dalam aja ya,” pinta Launa dengan seulas senyum.Melihat aura menantunya berbeda, Bu Nia langsung masuk. Ia ingin lihat seperti apa perkembangan Launa saat menghadapi orang-orang toxic seperti Bu Rt dan Desi.“Desi, Bu Rt. Apa yang kalian lakukan ini sangat menjatuhkan harga diri, harga diri kalian sendiri. Jangan karena selama ini aku diam karena terima apa yang kalian lakukan, aku bukan orang yang suka adu mulut soalnya, aku cuman nggak mau ada omongan aku yang melukai hati orang. Tapi kalau udah keterlaluan aku juga nggak bisa diam. Soalnya bukan cuman satu dua kali, tapi berkali-kali. Aku juga bisa bedain bercanda sama serius.”Kedua orang itu diam karena melihat Launa yang tiba-tiba bicara dengan begitu serius bahkan tidak ada senyu
[Sayang. Ada klienku yang datang ke kantor. Aku udah bilang kamu lagi cuti tapi dia mohon-mohon katanya emang impiannya pengen pakai wedding dress rancangan kamu.]Launa menghela nafas panjang laku mengetik pesan balasan.[Ya udah. Kirimin aja nomornya. Nanti aku bahas langsung sama orangnya]Bisa saja Launa langsung menolak tapi ini mengenai impian seorang gadis yang ingin mengenakan gaun impian di hari bersejarahnya. Bukan soal uang tapi karena memang Launa ingin berperan juga dalam hari bahagia seseorang meski orang itu tidak dikenalnya.Mungkin jika ada kesepakatan maka ia akan kembali ke kota hanya untuk beberapa waktu karena ia tidak akan mungkin melakukannya dari sini. Itu pun jika Damar memberi izin, jika tidak maka Launa tidak memiliki pilihan lain selain menolak karena yang utama tetap izin dari suami.[Kalau mau kesini nanti kasih tahu, aku akan jemput.] Damar.Meski dirinya begitu sibuk tapi tidak akan membiarkan istrinya melakukan perjalanan seorang diri, baginya pekerjaa
[Pras, aku percayakan Liliyana padamu. Hanya sementara, nanti aku jemput lagi. Keluarga aku nggak menerimanya, sebagai ayahnya aku minta kamu menjaganya sebentar sampai aku kembali. -Vivian.]Kening Damar berkerut membaca isi dalam surat kecil itu, Launa juga ikut membaca. Ia menatap suaminya dengan lekat.“Mas ….”“Vivian … perasaan aku nggak punya mantan yang namanya Vivian deh. Aku juga nggak pernah begituan sebelum nikah, sumpah,” ujar Damar sambil meremas kertas yang baru saja dibacanya itu.“Lebih jelasnya ayo kita lihat aja. Aku udah capek loh ada masalah terus, aku harap ini juga cuman salah paham.”“Aku juga sama.”Launa sangat percaya pada suaminya, ia tidak ingin berpikir buruk lagi dan membuat kondisinya memburuk pada akhirnya. Mereka sekarang sudah berada di ruang pengawas menunggu stafnya yang sedang mencari bagian CCTV di depan ruangan Damar.Seorang wanita keluar dari lift bersama Liliyana wanita itu berbisik pada Liliyana sebelum meninggalkan anak itu seorang diri. Ha
Amel diminta untuk menunggu Liliyana yang tertidur di mobil sedangkan Damar dan Launa masuk ke dalam rumah sakit untuk menemui Vivian.Vivian yang baru saja diminta untuk istirahat oleh dokter, dibuat kaget dengan kedatangan Damar.“Pras, kamu disini?”“Iya, untuk mengembalikan anakmu itu. Rumahku bukan penitipan anak.”Launa menyelipkan jarinya untuk mengenggan Damar agar lelaki itu tidak dikuasai emosi. Sudah banyak masalah dan sekarang ditambah emosi sudah pasti lelaki itu akan mudah meledak.“Jangan buat ribut, ini rumah sakit dan dia orang sakit, Mas,” bisik Launa.Vivian menatap Launa, ia tidak tahu jika Damar akan datang bersama dengan istrinya.“Aku hanya minta tolong, Pras. Titip Lily sebentar sampai aku pulih nanti,” ujarnya memohon.Sangat jelas jika Vivian tengah sakit, terlihat dari wajahnya yang sangat pucat bahkan wanita itu kurus sekali.Jika bukan karena terpaksa Vivian tidak akan mungkin melakukan hal ini. Ia juga merasa bersalah karena mengganggu kebahagiaan orang l
“Kamu jatuhkan talak, To?” Pak Adi menatap tidak percaya pada menantunya.“Iya, Pak. Maaf, karena saya nggak bisa menepati janji.”Pak Adi tidak bisa menyalahkan Anto, ia sudah bisa menebak jika apa yang terjadi adalah kesalahan Desi. Sejauh ini Anto sudah bersabar pada Desi tapi wanita itu sendiri yang ingin berpisah. Anto tidak ada pilihan selain melakukan apa yang diinginkan oleh Desi karena ia juga tidak ingin terlalu jauh membuat Laras terluka karena dimadu.“Kita bicara lagi nanti. Ayo, pulang.” Pak Adi menjatuhkan pandangan pada Desi yang masih terdiam.Tanpa menjawab ia naik ke atas motor bapaknya.Melihat itu Anto hanya bisa menghela nafas panjang lalu kembali ke rumah karena memang seharusnya ia mengantarkan Laras ke tempat Bu Nia.“Kenapa pulang lagi, Mas? Desi sudah nggak ada?”Anto menggeleng, “tadi ada Pak Adi, Desi ikut bapaknya pulang.”“Mas, kamu masih bisa kembali bersama Desi.”“Nggak. Sejauh ini Mas sering menyakiti kamu, mungkin memang jalannya begini. Kamu nggak