Vina bertemu dengan seorang eksekutif perusahaan komunikasi di sebuah kafe. Orang itu bernama Yosep. Dialah orang yang ingin membeli tanah milik mendiang kakek Vina.Gadis itu mendesah lesu. Berdebar tak karuan setelah menunggu di sana. Ini adalah kali pertama ia melakukan ini. Ibunya berpesan jika bisa tawarkan harga paling tinggi, dan dapatkan uangnya.“Gimana kalau aku enggak bisa? Gimana kalau gagal dan malah bikin kacau?”Ketakutan itu menyerang ganas pada pikiran Vina. Membuat tubuhnya banjir keringat.Orang penting itu datang. Berdua dengan asistennya.Vina semakin canggung di tempat.“Halo, Vina. Lama tak berjumpa dengan kakakmu. Kalau boleh tahu, bagaimana kondisinya sekarang?” Yosep tak canggung bertanya.Sebenarnya Vina risih ditanya soal kakaknya ini. Namun, demi lancarnya bisnis jual beli tanah itu, ia terpaksa harus menjawabnya.“Alhamdulillah, lebih baik,” bohongnya. Vina tak mungkin mengatakan kalau kondisi Fery memprihatinkan.“Syukurlah. Saya harap Fery segera pulih
“Deal!”Vina dan Yosep berjabat tangan usai menyepakati perjual-belian tanah luas itu.Akhirnya, setelah berdiskusi mengenai banyak hal, ini dan itu, semua berakhir lancar. Vina mendapatkan harga bagus, bahkan melebihi dari yang ibunya harapkan.“Terima kasih, Pak, atas waktunya.”“Heem. Saya juga berterima kasih. Semoga uangnya bermanfaat. Kalau begitu kami pergi lebih dulu.” Laki-laki itu akhirnya pergi dari hadapan Vina.Sepeninggal Yosep, senyumnya seketika pudar. Vina menghela napas berat, menatap pada bungkus coklat berisi gepokan uang di dalamnya.“Semua selesai, Mas. Semua habis. Kita tidak punya apa-apa lagi di sini. Maafkan aku, ini juga demi kebaikan kamu. Kami ingin kamu sembuh,” sesal Vina memejam mata.Gadis itu akhirnya kembali ke London dengan membawa hasil. Meski hatinya sedih sebab baru saja melepas aset berharga itu, Vina tetap berusaha tegar. Seperti katanya, semua demi Fery.“Aku akan datang, tapi maaf ... sepertinya soal mbak Ara aku enggak akan mengatakan apa pu
Hening sesaat setelah Ara mengatakan keberaniannya tentang keinginannya pergi ke London.“Untuk apa, Ra?” lirih Rangga bertanya.Ia bertanya bukan karena tak tahu mau apa dan ke mana tujuannya, tetapi dengan bodoh ia berharap Ara menjawab hanya ingin pergi liburan.Berharap jika Ara hanya sedang bosan atau memang ngidam ingin ke luar negeri. Yah, itu semua pikiran bodohnya yang ia sendiri tahu hanya mustahil.“Aku mau ... cari mas Fery. Maafkan aku, Mas. Aku hanya ....”“Aku akan ke sana sekarang. Tunggu, jangan pernah berniat pergi keluar malam-malam. Paham?”Rangga tak menggubris ucapan Ara yang baginya terdengar konyol. Ia cepat-cepat bergegas menuju rumah Ara. Dari banyaknya hal yang ia cemaskan, hanya satu yang tak bisa pergi dari pikiran, yaitu Rangga takut jika tiba-tiba Ara nekad pergi di tengah malam begini.“Mana hujan sudah mulai turun,” gumamnya seraya menyalakan mesin mobil.Rangga menyetir setengah gila. Bahkan lebih gila lagi daripada saat menyusul Ara di rumah bidan wa
“Hm?” Ara tercenung. Matanya menatap wajah Rangga yang basah keringat lamat-lamat.Apa? Pergi bersama? Hati Ara bertanya. Kenapa dia sekeras kepala ini, sih?“Mas, aku merasakan ketulusanmu, sungguh. Tapi, kamu tidak perlu melakukan itu sampai sejauh ini. Karena pada akhirnya aku cuma akan menyakiti hati kamu, Mas.” Ara sudah letih menghadapi kebaikan Rangga. Tak pernah berhenti menyakiti diri sendiri.Laki-laki itu menatap dalam dengan bola mata yang masih memerah, bekas menangis. Bahkan rasa hangatnya masih terasa di sekitar mata. Sejenak ia hanya diam memperdalam pandangannya. Lalu, beberapa detik selanjutnya ia menghela napas berat. Mengembuskan pelan.“Aku tahu kamu pasti sudah bosan menghadapiku. Tapi, Ra ... aku akan tetap pada pendirianku. Sebelum kamu bisa mendapatkan kebahagiaanmu, aku akan tetap mengikuti kamu ke manapun. Karena janjiku adalah untuk menjaga kamu, melihat kamu bahagia. Jadi, jangan larang aku, paham?”Ara tercenung di tempat. Ia mengesah jengah.‘Mengapa? Me
‘Aku tak mengerti mengapa mencintai itu bisa sesakit ini. Kupikir cinta akan selalu semanis persis namanya, nyatanya lebih pahit dari apa pun.’Ara membatin kala matanya terbuka perlahan. Mata rapat dipenuhi kotoran kecil. Ia baru bangun, dan Rangga tak ada di sisinya.Posisi Ara kini terbaring di atas ranjang, berselimut hangat. Dia menepuk jidat mengesah.“Dia pasti yang pindahin ke sini,” gumamnya buru-buru bangkit dari ranjang.Ara langsung menuju ambang pintu kamar. Membukanya, lalu memanggil Rangga setengah gila. Demi apa pun, Ara sangat takut kalau laki-laki itu ingkar janji dan malah pulang atau pergi entah ke mana.“Mas Rangaaa!”KLONTRANG! PRAAK!Suara barang jatuh yang menyahut penggilannya pertama kali. Ada suara pecah juga. Kemungkinan itu adalah benda beling kaca.“Apa, Ra?!” Lalu menyusul suara Rangga.Saat itu juga rasa lega menguasai hati Ara. Wanita itu sungguh bersyukur jika Rangga tak mengingkari janjinya.Ara gegas menuruni anak tangga. Tergesa. Ia menuju ke ruang
Tumben. London diguyur hujan deras. Padahal, biasanya tidak. Bahkan udara masuk membawa bau tanah kering yang menusuk hidung.Namun, hal itu tak membuat semangat Fery untuk pulih hilang. Ia bahkan terus melatih otot ibu jarinya yang sudah lumayan bertenaga.Jangan tanya sebahagia apa dia, sudah pasti hatinya melambung tinggi. Sejak ia bisa menggerakan ibu jarinya walau terkadang nyeri karena terlalu sering menggerakannya, Fery tak pernah lagi menangis.“Mas, aku senang kamu sudah ada perkembangan baik begini,” ucap Vina terharu. Gadis yang baru saja kembali dari Jakarta itu sangat bahagia dengan kemajuan pada kakaknya.Fery masih saja menggerakan ibu jarinya, tak peduli meski sekarang ada Vina. Namun, tak lama ia berhenti karena merasa pegal.“Jangan terlalu dipaksakan, Mas. Pelan-pelan saja,” saran Vina seraya menggemggam tangan Fery.Fery mengarahkan pandangan matanya kepada sang adik. Ia baru ingat kalau gadis itu habis dari Indonesia untuk menjual aset terakhir yang mereka punya.
“Uwaah ....”Speechless. Yang Ara lakukan ketika sampai di London adalah membuka lebar mulutnya, memandang sekeliling kagum.Sudah lama sekali semenjak dirinya tak pergi ke luar negeri seperti ini. Dan kota London sudah berubah banyak sejak terakhir kali ia datang.Kota cantik yang dulu ia kunjungi bersama Fery saat bulan madu. Dan itu adalah kali pertama dan terakhir ia datang ke sini.Bibir Ara yang tersenyum penuh kemaguman itu perlahan pudar. Pikirannya diseret jauh ke dalam kenangan lama yang memuakan, tetapi dirindukan olehnya. Dan Ara sungguh bersedih hati sekarang.Ara ingat betul ketika mereka melaksanakan malam pertama dengan begitu romantis di salah satu hotel berkelas di sekitar sini. Melihat letusan-letusan kembang api yang indah di antara gedung-gedung nan tinggi ini di balik selimut yang basah oleh keringat.Dan suasana itu tak akan pernah terlupakan ileh dirinya sedikitpun.Pelukannya, ciuman hangatnya, sentuhan lembutnya, serta bisikan penuh canda itu juga. Ara tak ak
“Mau mulai nyari di mana, Ra? Aku tak yakin akan menemukannya dengan mudah di tempat luas ini,” ucap Rangga.Karena lelah dan ibu hamil itu butuh istirahat yang cukup, jadi keduanya memutuskan untuk memulai pencarian keesokan harinya. Tepatnya hari ini.Rangga dan Ara telah bersiap. Mereka baru turun dari apartemen ke jalanan.“Ke sini,” sahut Ara seraya menunjukan selembar kertas berisi deretan alamat rumah sakit yang menurut Ara besar kemungkinan Fery ada di sana.Rangga mengerti. Laki-laki itu menghela napas cukup panjang, menatap lamat-lamat kertas tersebut sambil mengangguk.“Ya, sudah. Ayo, lebih cepat lebih baik.”“Heem. Kita cuma punya waktu empat hari,” lirih Ara diserang ketidakyakinan. Apakah akan menemukan Fery atau tidak.Sebab ini bukanlah tentang ibarat peternak yang mencari seekor sapi, tetapi ibarat mencari jarum di tumpukan jerami. Ini London, kota yang sangat luas. Tak akan mudah mencarinya hanya bermodalkan nekad.Meski begitu, Ara akan tetap berusaha. Dan usahanya