Lima pesawat tempur mengudara di atas langit, melesat cepat, meninggalkan kepulan asap kuning emas yang melintang panjang. Bergemuruh, semua orang terkesima. Lalu suara genderang dan terompet pun menggema di sekitar alun-alun. Ratusan tank, mobil perang, dan alutsista lainnya berjalan beriringan di jalanan di sana, disaksikan oleh puluhan ratusan ribu prajurit yang berbaris rapi. Setelah itu, ratusan pasukan elit dengan perlengkapan militernya bergerak maju di belakang alat tempur tadi, membentuk barisan teratur dengan gerakan menakjubkan. Di tenda kehormatan, ratusan perwira dan petinggi militer berdiri dan menikmati semuanya, sekaligus memberikan apresiasi luar biasa terhadap pembukaan acara yang begitu spektakuler. Hingga tibalah pada acara pelantikan Panglima baru. Alexander Agung! Dia bernama Alexander Agung! Tongkat kehormatan diberikan langsung oleh Jenderal George Mac Artur langsung kepada Alexander dan disaksikan oleh jutaan orang yang ada disana. Kemudian Presiden
“Sekarang, begitu miris. Mereka bisanya duduk manis di kantor. Membaca koran sambil menikmati kopi. Memarahi bawahan. Memberikan perintah seenak perut. Tapi ketika sedang terjadi kemelut dan kekacauan, mereka malah ketakutan. Janji bahwa mereka mau mati untuk negara ini hanyalah omong kosong belaka. Padahal, bahkan mereka tidak mau setetes darah mereka jatuh ke tanah.” Pablo merinding mendengarnya. Meskipun dia memang pernah tergabung dalam satuan dalam sejumlah misi serta beberapa kali menjadi pemimpin, tapi dia mengaku bahwa tidak pernah punya jasa besar, seperti halnya yang telah ditorehkan oleh Jenderal Naga Emas. Begitu pula dari para petinggi lainnya. Jenderal George misalnya. Meskipun menjabat sebagai Panglima tertinggi sudah belasan tahun menggantikan Jenderal Somers, dia pun tidak pernah memimpin langsung ratusan ribu pasukan untuk mengalahkan para penjajah. Dia hanya beberapa kali memimpin pasukan dalam operasi dan tugas yang kecil, yang mana misi tersebut masih dalam lin
Alexander meluaskan pandangannya ke semua orang di hadapannya. “Saya memberikan nasehat untuk saya sendiri dan kepada kita semua untuk tidak menjadi seperti mereka yang jahat hatinya. Mereka bersembunyi di balik seragam kebanggaan untuk menyimpan kebusukan yang mereka simpan di dalam hati. Percayalah, mereka tidak akan pernah merasa aman dan tenang selama saya berada di sini.” Lalu para hadirin di lapangan sana pun berteriak : “Jayalah Jenderal Naga Emas!” “Bangkitlah negeri kita tercinta!” “Tumpaskan kejahatan!” “Merdeka!” “Merdeka!” Di saat Alexander bicara lantang penuh semangat, sejumlah orang di belakangnya menggigil ngeri. Mereka pun sadar bahwa mereka memang sedang tidak aman-aman saja. Isi pidatonya yang terakhir tidak kalah seru dari yang sebelumnya. Kali ini dia mau memberikan pelajaran kepada seorang pria yang berkeinginan menghancurkan rumah tangganya bersama Gabriella. Dengan terang-terangan Alexander berkata, “Saya mendapat info bahwa ada satu perwira baru yang
Begitu telah sampai di rumah, menjelang malam hari, Alexander menyaksikan ada diskusi kecil di sana. Herannya, ada Martin Scott juga. Sejak tadi Pablo menyidang Martin tentang masalah yang sedang menimpa Martin. Mengingat bahwa Martin sudah tidak lagi berseragam militer, maka dari itu Pablo sudah tidak mau lagi menjadikannya sebagai calon dari suami Gabriella. Kelakuan Martin sudah sangat keterlaluan. Pablo mengamuk. Bahkan dia juga memarahi istrinya. “Winnie, apa kau sudah gila mau menjodohkan putriku dengan pria bangsat ini?! Dia pemakai narkoba, sudah punya kekasih, lalu hanya ingin menjadikan putriku sebagai alat agar karir militer dia cepat naik. Sungguh keterlaluan!” umpatnya menyeringai geram. Tidak puas tadi dia mengoceh, sekarang masih saja mengeluarkan sumpah serapah buat Martin. “Kau! Perwira macam apa kau?! Sangat tidak layak sama sekali kau berada di keluarga kami! Kalau bukan keponakan istriku, sudah aku habisi kau, Pembohong!” Ingin rasanya Pablo mencekik leher Marti
Ketika Alexander mau beranjak dari sana, tiba-tiba saja Pablo berkata dengan suasana hati yang lain lagi. “Alex, tunggu dulu. Sini, aku mau bicara pada mu.” Alexander membalik badan. Gabriella pun menyetop jalannya. Mereka berdua disuruh duduk. Sebenarnya hari ini adalah yang cukup berbahagia bagi Pablo. Meskipun tadi pagi dia tidak sempat bersalaman dan menyapa Jenderal Naga Emas secara langsung, setidaknya dia cukup berbangga karena bisa duduk tak jauh dari podium tempat di mana Jenderal Naga Emas berpidato. Hari ini merupakan hari yang menggembirakan walaupun sedikit tercoreng gara-gara perilaku buruk Martin. Tapi, apa yang sudah dia lewati seharian ini telah menumbuhkan impian baru tentang masa depan putrinya kelak. Setelah tadi mempermalukan Martin, kini dia bermaksud mengolok Alexander pula guna menambah kegembiraannya. “Alex, kau menghilang dari pagi, ke mana saja? Kami pikir, kau pasti pergi ke sekitar alun-alun untuk menyaksikan dari jauh acara pelantikan Panglima baru. Ba
Tidak terima menantu pria ini bicara seenaknya, Pablo mengeraskan rahangnya lalu membalas, “Sok tahu! Kau tidak mengerti apa pun soal militer dan tidak pula mengenal sosok Jenderal Naga Emas. Jadi apa hak mu untuk bicara seperti itu?” “Terserah jika Ayah masih bersikukuh. Aku sekadar mengingatkan.” Pablo memutar hitam matanya dengan sangat malas sambil mengangkat kaki. Karena merasa tinggi, dia seolah tidak bakal pernah peduli atas apa yang dikatakan Alexander. Dia kepalang terlanjur menilai Alexander sebagai manusia yang tidak berharga. Jadi apa pun yang Alexander katakan, dia malas mendengarkannya dan percaya. Seandainya Alexander bilang dua tambah dua sama dengan empat, dia malas mendengarnya. Separah itu. Dalam benaknya, Pablo berpikir terlalu jauh, yakni tidak hanya bertemu dan mengobrol saja, melainkan dia berencana mau menjadikan Jenderal Naga Emas sebagai menantunya kelak. Dia bergumam kecil dan nyaris berbisik, “Alexander Agung, Jenderal Naga Emas, sangat layak menjadi m
“Kita bisa main odong-odong di kamar hotel. Hehe.” Kelakar Alexander sambil cengar-cengir. “Kalau aku capek, kita bisa giliran. Seru juga kan main enjot-enjotan di kamar hotel. Bukankah begitu, Gaby sayang?” Kedua sudut bibir Gabriella melengkung ke bawah. Dia tahu betul kalau suaminya memang kadang suka bercanda, tapi di lain sisi, dia paham kalau suaminya tidak pernah berbohong. “Alex Luther, suamiku, aku serius ini. Okelah kita keluar cari angin. Tapi tidak untuk dua temat tadi. Top Steak dan Hotel Star adalah destinasi bagi orang kaya dan hebat.” Bibir Gabriella semakin manyun, mengekpresikan kalau dia memang sedang di-prank oleh suaminya sendiri. Namun, Alexander menegaskan kalau dia tidak sedang bercanda, tapi karena dia cengengesan, makanya Gabriella jadi sedikit ragu. “Gaby, apa gurauanku sering mengecewakan mu?” Gabriella cemberut. “Kau tidak pernah mengecewakan aku, Alex. Dan aku yakin kau tidak akan pernah sekali pun mengecewakan aku.” “Bagus!” Selama satu tahun bera
Akan ada masanya di mana cinta mereka bakal benar-benar diuji. Kisah Alexander bersama Gabriella tidak seperti pada cerita fiksi online pada umumnya, di mana sang istri turut membenci suami yang sebenarnya sudah kaya. Kisah seperti itu kurang logis. Sang protagonis dibenci oleh istri, mertua, dan ipar. Agaknya, itu memang kurang bisa diterima sebab si pria terlanjur kaya. Kenapa dia tidak berpisah dan mencari kehidupan baru? Namun, di sini Gabriella sangat cinta pada sang tokoh utama! Gabriella menerima kehadiran Alexander yang biasa-biasa saja. Dia bisa menerima pula status dan latar belakang keluarga Alexander yang juga sangat biasa saja. Di situlah letak ketulusannya, menerima suaminya apa adanya, bukan karena ada apanya. Asalkan dia tahu, seyogyanya dia merupakan wanita yang beruntung di dunia. Di saat banyak wanita di luar sana yang mengidam-idamkan bisa menjadi kekasih dan istri dari Jenderal Naga Emas, namun dia tetap setia pada suaminya. Hanya saja, dia belum tahu. “Aku