"Kok Abang jadi sensitif, sih? Kan Chaca cuman nggak mau Abang sakit lagi.""Seharian tidak ketemu, Abang rindu. Masak begitu ketemu disuruh pulang.""Chaca cuman khawatir. Abang butuh banyak istirahat.""Oh, gitu. Bukan karena sekarang kamu lagi dekat dengan seseorang, kan?""Tuh, kan. Mulai lagi. Giliran Chaca membahas Tania, Abang marah. Giliran Abang, boleh nuduh-nuduh gitu. Abang masih aja egois." Aku mengerucutkan mulut."Iya, iya. Abang minta maaf."Kami duduk bersisian, dia menyandarkan kepalaku di bahunya. Membelai rambutku dengan penuh kasih sayang.Tulus, masih seperti merawat seorang adik kecil. Sepertinya terdengar suara pintu yang terbuka dari depan. Langkah kaki terdengar sampai ke ruang tengah tempat aku dan Bang Malik berada. Jantungku berdetak lebih kencang. Aku tahu siapa lagi yang memegang kunci selain aku dan Aira di rumah ini. Hanya dia."Sayang," panggilnya. Bang Malik menoleh, melihat siapa yang datang. Jantungku rasanya mau copot saat Bang Malik dan om Harri
"Kamu marah?""Pulanglah, Chaca capek.""Abang minta maaf. Nggak seharusnya Abang membela Tania di depan kamu.""Abang benar. Chaca juga sebenarnya merasa kasihan dengan Tania dan ibunya. Tapi Abang nggak bisa nyalahin Aira begitu aja. Om Harris berbohong dengan mengatakan kalau dia akan segera bercerai karena istri dan anaknya sudah tidak peduli lagi sama dia."Bang Malik terdiam mendengar penjelasanku.Tak lagi berani membantah atau menyalahkanku lagi. Mungkin takut aku akan pergi lagi meninggalkannya tanpa kabar seperti waktu itu. Kami berusaha menenangkan satu sama lain, aku mengajaknya berjalan di taman sekitar perumahan. Ada kursi panjang di sana untuk tempat kami duduk. Aku sudah menjelaskan kalau sebentar lagi suami Aira pasti akan pulang. Tidak mungkin setiap malam menginap karena istrinya masih berada Medan. Dia jadi lebih sering menjenguk ketika mengetahui kalau Aira hamil. Aku juga tidak mengerti kenapa semua bisa jadi serumit ini. "Kenapa dunia yang kita jalani bisa se
Aku jalan beriringan dengan Bang Malik, melewati Tania yang sedang menunggu di pintu kantornya. "Bisa kita bicara, Lik?" Senyumnya masih sama seperti dulu. Tidak peduli seberapa sering Bang Malik bersikap cuek padanya. Bahkan seolah-olah dia tidak melihatku yang dari tadi berjalan bersamanya. Aku menatap mata itu, berharap dia akan mengerti kalau aku tidak suka.Aku berharap, dia sedikit saja menjaga perasaanku dengan tidak menuruti ajakan Tania, walau tanpa harus aku ucapkan. "Masuklah dulu, Chaca. Nanti Abang menyusul."Lagi, sikapnya kembali membuatku merasa tak dihargai. Dia tahu betul kalau aku sama sekali tidak suka kalau dia terus berdekatan dengan Tania, dan aku sudah pernah mengungkapkan hal itu padanya. Aku masuk ke dapur dengan hati yang tidak tenang. Berpikir yang bukan-bukan tentang perasaannya. Apa dia mulai merasa iba dengan Tania? Lalu mencoba mencari cara untuk menyenangkan hatinya? Jika itu sampai terjadi, mungkin Tania akan sangat bersyukur dengan penghianatan
Kami diam seribu bahasa, Haikal yang biasa bertingkah konyol, kini hanya bisa diam merasakan hawa panas abangnya yang tak dapat lagi ditahan. "Kalian sudah pernah nonton? Berdua?" Pandangan Bang Malik kini menunduk ke lantai, tak mau lagi menatap kami. Haikal masih tetap tak menyahut. Kakiku gemetar menanti-nanti apa yang akan terjadi. "Tidak ada yang bisa menjawab?" Bang Malik terus bertanya."Apa kamu menyukai Chaca, Kal?" todong Bang Malik menatap adik lelakinya itu. Haikal merasa serba salah, dia mengusap pelan rambutnya, belum menjawab apa pun. Aku mencoba membantu Haikal untuk menjawab."Bang, Haikal... ""Diamlah, Chaca! Abang tidak bertanya sama kamu." Ia menyela ucapanku. Saat ini Bang Malik berbicara masih dengan nada yang rendah, tapi itu terdengar makin menakutkan. Aku hanya takut kalau dia sedang mengumpulkan tenaga, lalu meledak dan habis menghajar Haikal begitu saja. Bukankah selama ini ia hanya tahu marah-marah dan sembarangan memukul orang? Haikal belum menjaw
Keesokan harinya Haikal muncul pagi-pagi sekali. Dia terlihat lebih rajin. Dia bahkan membantu Bu Rini untuk mengetik jurnal hari ini. Tak lupa dia membantu Oji dan tim lainnya dari divisi coolroom untuk mengupas kulit udang, dalam jumlah yang sangat banyak. Kulirik Bang Malik senyum-senyum sendiri dari balik kantor dengan aktivitas adiknya itu. Bahkan saat istirahat makan siang, dia menggantikan tugas bu Rini untuk membuat form laporan hasil produksi hari ini, lalu langsung mengcopynya untuk dibagikan ke masing-masing divisi.Dia bahkan terlihat sangat sibuk sehingga tidak punya kesempatan untuk menggangguku. Aku jadi geli sendiri. Dia pasti melakukan itu untuk mengambil hati kakaknya atas kejadian semalam. Mungkin dia juga sudah paham, dengan bersikap baik dan manja, hati Bang Malik akan cepat luluh dan mudah memaafkan."Nih, makan!" Aku meletakkan kotak makan di meja kerjanya. "Pergilah, nanti Bang Malik akan marah lagi sama kamu.""Kamu yang salah, kenapa dia harus marah sama
Hari yang buruk buatku. Bagaimana tidak, jadwal off yang biasa aku pergunakan untuk beristirahat atau berjalan-jalan dengan sang kekasih, malah diambil alih oleh bu Sam. [Sayang, Mama minta kamu nemenin dia ke salon. Mau, kan?] Bang Malik mengirimiku pesan whatsapp dan membatalkan rencana.[Emang pembantu pada libur ya, Bang? Chaca nggak mau!] balasku. [Itung-itung ngambil hatinya Mama lho, sayang. Biar dapat restu.][Abang ikut, ya?][Maunya sih gitu. Tapi Mama nggak ngijinin.][Tuh, kan.]Dengan terpaksa aku menuruti permintaan mereka. Tak lama mobilnya tiba di depan rumah untuk menjemput. Aku menyuruhnya masuk untuk singgah barang sebentar. Dia berjalan mengelilingi sekitar ruangan. Melihat-lihat rumah yang selama ini aku tinggali. Aira keluar dari kamar, memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah. Bu Sam terlihat biasa saja, tidak terlalu ramah, namun juga tidak terlalu cuek. Mungkin tahu diri, karena ini rumah orang. Aku berpamitan kepada Aira dan menyuruhnya untuk beristirah
Kami sampai di salon spa elite bintang lima. Bu Sam turun dari mobil dengan gaya elegannya. Kenapa harus mengajakku ke sini? Kejadian tadi membuatku malu menatapnya. Apa lagi mendengar suara tawa pak supir yang sedikit tertahan. Aku mengikuti wanita yang minta dipanggil mama tersebut sampai ke dalam. Mengikuti langkah kakinya yang super elegan tersebut dengan tergesa-gesa. Beberapa wanita menunduk dan menyapa dengan hormat kepada kami. Sepertinya sudah mengenal mama sebagai langganan utama di tempat ini. Kami digiring ke sebuah ruangan khusus. Tak ada tempat tidur berjejer seperti yang aku dan Aira sering datangi. Ruangan kali ini hanya khusus memiliki dua tempat tidur. Inikah yang disebut ruangan khusus vip? Wow.Aku dan mama melepas pakaian kami dan menggantinya dengan handuk sebatas dada. Mama menikmati setiap pijatan yang dilakukan therapist. Begitu pun diriku. Kenapa Mama mengajakku ke tempat seperti ini, sementara dia hanya diam tanpa bicara dan menikmati semuanya dalam diam
"Mereka sudah mati," jawabku asal, namun tulus berasal dari hati. "Dari mana kamu tau mereka sudah mati?" Mama juga menggunakan kata 'mati' yang kugunakan dari pada mengubahnya menjadi kata yang lebih halus lagi. "Bang Malik bilang, orang tuanya sudah meninggal saat seseorang meninggalkannya di panti. Jadi Bang Malik menyuruh Chaca untuk beranggapan begitu saja. Karena tidak ada hukuman yang pantas selain mati, untuk manusia yang tega membuang bayinya!" Mama tampak terkejut mendengar umpatanku. "Apa kamu membenci orang tuamu?""Chaca bahkan tidak mengenal mereka. Bagaimana bisa membenci?"Aku sudah tidak heran kenapa dia bertanya seperti itu. Dari semua orang yang kukenal, selalu menanyakan tentang keberadaan orang tuaku, begitu tahu kalau aku pernah dibesarkan di panti asuhan. Mulai dari sekolah, rekan-rekan kerja. Bahkan saat pertama kali aku membawa Bang Malik ke rumah ini. Dengan percaya diri dia bertanya dimana keberadaan orang tuaku, padahal dia sendiri tidak memilikinya. A