Anya duduk di kursi ruang tamu yang nyaman, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Enam bulan pernikahan yang seharusnya menjadi momen-momen bahagia, kini terasa seperti beban tersendiri yang membuat dadanya sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba melepaskan beban yang menghantuinya.
Di sudut ruangan, , Dimas suaminya, tampak sibuk dengan ponselnya. Dulu, Dimas selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan bercanda dengannya setiap malam. Tapi sekarang, perhatian Dimas lebih sering tertuju pada layar ponselnya daripada padanya. Anya merasakan ada sesuatu yang berubah, namun ia berusaha mengabaikan perasaannya itu.
“Mas Dimas.” Anya akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar sedikit. “Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin bicara.”
Dimas mengangkat pandangannya dari ponsel, sedikit terganggu. “Apa, Anya? Aku sedang sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”
“Aku tahu, tapi ini penting. Kita perlu bicara tentang... tentang kita.”
Dimas menghela napas berat dan meletakkan ponselnya. “Oke, apa yang ingin kamu bicarakan?”
Anya menarik napas dalam-dalam. “Kita sudah enam bulan menikah, Mas. Dan... dan aku merasa ada yang salah. Kamu semakin menjauh. Dan soal kita yang belum punya anak, aku merasa semua orang menyalahkanku.”
Dimas yang mendengarnya tampak tak acuh, “Bukankah memang salahmu? Ibuku berkata jika bukan karena kamu yang kelainan tidak mungkin selama enam bulan rahimmu masih kosong. Padahal aku selalu mengeluarkannya di dalam.” Nada suara Dimas tampak begitu dingin dan menusuk.
Hal inilah yang membuat Anya semakin tertekan, semua orang menyalahkannya. Dia sudah berusaha hidup sehat dan bahkan dia memakan toge yang merupakan makanan yang paling dia benci. Tapi semuanya selalu sia-sia di mata suaminya dan ibu mertuanya.
“Jika memang begitu… Ayo kita periksa bersama, Mas. Agar tahu siapa yang bermasalah disini.” Suara Anya tampak bergetar dan memohon karena selama ini suaminya selalu menolak untuk memeriksakan diri bersama.
Dimas mengerutkan kening, menatap Anya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. “Kenapa aku yang harus ikut diperiksa? Aku sehat-sehat saja. Ini pasti masalah di kamu, Anya,” katanya dengan nada tegas.
Anya menundukkan kepalanya, menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. “Aku hanya ingin kita tahu yang sebenarnya, Mas. Supaya kita bisa mencari solusinya bersama. Ini bukan tentang salah siapa, tapi bagaimana kita bisa melewati ini bersama. Dan bahkan aku tiga bulan yang lalu sudah mengecek jika aku normal, mas.”
Dimas mengusap wajahnya lalu terkekeh dengan geli namun tatapannya menusuk, “Kamu urus saja, aku sudah malas membahas ini.” Ucap Dimas sambil pergi ke kamarnya.
Itu adalah kebiasaan Dimas jika dia menghadapi masalah, selalu menghindar dan tak ingin terlibat.
Hati Anya semakin lelah, tapi panggilan telepon dari Felisha, membuatnya segera menghapus air matanya dan menekan suara seraknya agar tak menimbulkan kecurigaan.
“Halo?”
“Anya, kamu dimana? Apakah besok senggang?” Tanya Felisha dari seberang sana.
Felisha adalah sahabat Anya sejak kecil, dia merupakan lulusan dari universitas Harvard yang mengambil jurusan kedokteran. Dia baru saja selesai masa studinya dan kembali ke indonesia untuk berlibur sebelum bekerja di amerika setelah mendapatkan tawaran disana.
Tentu saja Anya menyambut itu dengan senang, dia sangat merindukannya.
“Aku di rumah saja, besok juga hari libur. Apa kamu ingin bertemu?” Ucap Anya segera.
“Baguslah, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu di cafe Florist?”
Anya tersenyum, “Tentu, aku akan datang.”
Anya langsung menutup telepon dan berbalik ingin masuk ke kamarnya, namun dia terkejut saat Dimas entah sejak kapan berdiri tepat di belakangnya.
“Mas, kamu mengejutkanku.”
“Siapa?” Dimas tak peduli dengan kondisi Anya yang masih terkejut, dia cukup penasaran dengan siapa Anya berbicara.
“Oh, itu Felisha. Aku akan bertemu dengannya.” Ucap Anya dengan tenang.
Dimas hanya ber-oh saja lalu pergi ke dapur, Anya yang melihatnya hanya menghela nafasnya dan masuk ke dalam kamar.
Hingga keesokan harinya, dia sampai di cafe Florist. Cafe yang biasanya digunakan untuk anak muda nongki dan belajar. Suasana disana memang sangat cocok untuk kaum muda yang membutuhkan tempat fresh dengan hiasan bunga-bunga segar.
Di ujung sana, Anya melihat Felisha yang duduk sambil melihat ke arah laptopnya. Tanpa menunggu lama, dia menghampiri wanita itu.
“Ibu dokter masih belajar saja.” Gurau Anya yang membuat Felisha mengalihkan perhatiannya.
“Kamu selalu saja mengejekku, bagaimana kabarmu?” Ucap Felisha sambil berdiri dan menyapa sahabatnya dengan akrab.
Anya terkekeh, “Ya seperti itulah.” Ucap Anya yang tampak memikul beban.
“Ada masalah dengan keluargamu?” Tebak Felisha dengan tepat sasaran.
Anya tak menjawab namun matanya sudah menjawab semuanya. Hingga Felisha memegang bahu Anya.
“Aku mendengar banyak gosip tentangmu, ternyata itu benar. Apakah kamu sudah memeriksakan diri bersama suamimu?” Tanya Felisha dengan lembut.
Felisha memang lebih peka dari siapapun, dia mengerti tanpa harus Anya menjawab pertanyaan.
Hingga Anya mengangguk, “Aku sudah memeriksakan diri dan aku normal, tapi suamiku sangat sulit. Apakah kamu ada solusi, Fel?” Tanya Anya, meskipun rasanya sangat sungkan padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lama.
Namun Felisha langsung mengangguk, “Jika suamimu tak ingin datang ke rumah sakit, bawa saja sampel sperma suamimu. Aku mengenal dokter spesalis yang biasa menangani masalah ini.”
Mendengar itu Anya seperti mendapatkan sebuah harapan, dia tersenyum mendengar itu.
"Terima kasih, Fel."
"Tapi, kalau kamu memang sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Maka yang bermasalah itu suami kamu, Nya."
Anya terkejut mendengarnya. Dengan agak terbata dia berkata, "M-maksudmu, suamiku mandul?"Di dalam mobil, Anya masih memikirkan ucapan Felisha atas kemungkinan jika Dimas mandul. Hingga saat sampai di depan rumah dan memakirkan mobilnya, Anya disambut dengan omelan ibu mertuanya."Dasar menantu tak tau diuntung! Bukannya ngurusin suami di rumah, ini malah kelayapan aja!"Anya terkejut karena suaminya tak mengatakan apapun tentang kedatangan wanita itu di rumahnya."Ibu, kamu disini?" Sapa Anya selembut mungkin dan ingin menyaimi tangan wanita itu. Namun tangannya segera di tepis.Lalu masuk sambil mengoceh atas ketidakhadiran Anya saat ibu mertuanya datang.“Bu, ada apa?” Tanya Dimas yang baru keluar dari kamarnya.“Lihat istrimu, bukannya mengurus rumah dan suami malah keluyuran saja. Pantas kalian tak segera mendapatkan momongan” Ucap Regina, ibu mertua Anya dengan tajam.Dimas hanya melirik ke arah Anya tanpa ingin membela istrinya, “Dia memang seperti itu, selalu seenaknya, bu. Ya sudah, ibu duduk dulu biar Anya membuatkan minum untuk ibu.” Ucap Dimas yang membimbing i
“Anya, kamu dipanggil pak Farhan.”Lamunan Anya tentang pesan semalam buyar saat teman sekantornya, Dina, mengejutkan dengan informasi itu. “Pak Farhan?” Beo Anya, tak biasanya bos mereka memanggilnya ke ruangan secara pribadi.Dina mengangguk dan pergi meninggalkan Anya yang masih dalam kebingungan.“Bapak memanggil saya?” Ucap Anya begitu dia sampai di ruangan pak Farhan, ketua cabang perusahaan tempat Anya bekerja.“Iya, Anya. Duduklah.” Pak Farhan tampak begitu ramah pada Anya saat ini, hal itu membuat jantung Anya semakin berdetak dengan cepat.“Ada apa ya, pak?”“Begini, perusahaan pusat mempromosikanmu menjadi manajer pemasaran karena kinerjamu cukup bagus.” Ucap pak Farhan yang membuat senyum Anya langsung merekah.“Tapi kamu pindah tugas di jakarta.” Lanjut pak Farhan, dan seketika senyum Anya langsung menghilang.Jakarta sangat jauh dari kalimantan, dan tak mungkin dia meninggalkan suaminya untuk bekerja.“Pak, tapi saya sudah menikah.” Pak Farhan mengangguk mengerti, “Aku
Anya terdiam di kamar, sambil melihat jam yang sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah tadi dia memergoki Dimas tengah berteleponan dengan seseorang, pria itu pergi entah kemana. Sudah sampai selarut ini Dimas pergi tanpa ada kabar, hingga Anya tertidur dan berharap ketika dia bangun, Dimas sudah berada di sampingnya. Tapi, siapa sangka jika sampai pagi menjelang Dimas bahkan tak kembali. Tak ada jejak juga pria itu tertidur di sampingnya. “Kemana, Mas Dimas?” Gumam Anya. Gedoran pintu diluar kamar mengejutkannya, disana dia juga mendengar teriakan ibu mertuanya yang cukup keras. “Sudah siang begini masih tidur, pantas saja anakku malas bersamamu.” Pagi-pagi dia sudah mendengar omelan ibu mertuanya begitu ia membuka pintu kamar. Anya hanya diam, dan kemudian menguncir rambutnya yang panjang lalu pergi ke dapur untuk menyiapkan makanan. Jam masih menunjukkan lima pagi, tapi ibu mertuanya selalu saja mencari kesalahannya disini. Dengan cekatan Anya memotong sayur untuk
“Pertemuan ini ditunda, bawahannya bilang jika kolega kita mendadak ada urusan.” Ucap pak Farhan begitu Anya masuk ke ruangan yang sudah di pesan.Anya yang memang dalam pikiran kalut sedikit bersyukur dengan penundaan ini.“Apakah saya boleh cuti siang ini pak?” Tanya Anya dengan serius.Pak Farhan mengangguk mengerti, terlebih melihat apa yang terjadi tadi. “Baiklah, tenangkan pikiranmu dulu. Kamu boleh cuti setengah hari.” Ucap pak Farhan.Anya mengangguk lalu memesan taxi untuk kembali ke rumah, dia harus segera mendapatkan penjelasan dari Dimas sekarang.Begitu sampai di rumah, betapa terkejutnya dia jika Dimas masih membawa wanita itu dan lebih menyakitkannya lagi adalah ketika ibu mertuanya yang tampak menyambut selingkuhan suaminya dengan sangat baik.“Untunglah kamu pulang, buatkan minum untuk mereka.” Titah Regina tanpa ada empati dan malam mengelus perut wanita itu dengan penuh kasih.Anya mengepalkan tangannya dengan kuat, kesabarannya sudah berada di puncak.“Mas, jelaska
Anya masih mematung di depan pintu, hasil lab yang baru dia lihat saat ini membuat gejolak tersendiri dihatinya. Dan saat Anya masih berdiri mematung di depan pintu, pintu itu terbuka yang membuat Anya mendongakkan kepalanya dan melihat ke arah David. Ternyata pintu itu tidak terkunci dan mungkin David tidak sabar menunggu Anya keluar.Tangannya masih menggenggam erat ke arah kertas hasil lab tersebut. David yang menyadari perubahan wajah Anya membuat pria itu penasaran.“Ada apa?” Tanya David dengan datar, tapi Anya merasa jika nada pria itu erlihat khawatir.Tapi Anya tak menjawab hingga David melihat ke arah surat hasil lab di tangannya.Tanpa pikir panjang, David langsung merebut kertas itu dari tangan Anya. Dia langsung membacanya, tak ada ekspresi lain yang David keluarkan selain wajah dingin dan rahang mengeras.“Jadi dia mandul?” Ucap David dengan dingin dan geram.Anya tak tahu harus menjawab apa atas pertanyaan ayah mertuanya tersebut, disana memang sudah tertulis dengan jel
Dimas terdiam cukup lama dengan pilihan yang diberikan oleh Anya.“Aku tak bisa memilih diantara kalian, Nya. Pria tidak masalah jika memiliki istri lebih dari satu, dan jaminanmu surga, Nya.” Dimas meyakinkan Anya saat ini.Anya menatap Dimas dengan tajam, merasa amarahnya semakin memuncak. "Mas, surga bukan dijamin dengan poligami, apalagi jika itu dilakukan tanpa keadilan dan kejujuran. Kamu telah mengkhianatiku dan sekarang meminta aku untuk menerima ini semua? Tidak, Mas. Aku tidak akan hidup dalam kebohongan dan ketidaksetiaan."Dimas terlihat bingung dan terdesak. "Tapi, Anya, aku mencintaimu. Aku hanya ingin kita semua bahagia."Anya menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya meskipun hatinya bergemuruh. "Kamu tidak bisa mencintai seseorang dengan cara menghancurkan hatinya, Dimas. Jika kamu benar-benar mencintaiku, kamu akan menghormati perasaan dan kehormatan kita."Regina, yang sejak tadi diam di luar kamar langsung masuk dan mulai angkat bicara dengan nada taja
“Ini apartemen ayah mertuamu?” Felisha yang baru berkunjung pada pagi harinya langsung melihat desain interior apartemen tersebut.“Iya, padahal aku sudah mempunyai rumah di kota tapi memang tidak ada yang tahu.” Ucap Anya yang berada di dapur menyiapkan minuman untuk Felisha dan kembali ke ruang tamu.“Itu bagus, setidaknya dari pihak suamimu ada yang mendukungmu, Anya.” Ucap Felisha.Anya mengangguk, “Ya, aku juga bersyukur tentang hal itu. Aku juga belum menceritakan hal ini pada pamanku.”“Aku tak bisa membayangkan bagaimana marahnya pamanmu saat mengetahui kamu diperlakukan seperti ini. Tapi kamu belum menceritakan tentang Dimas yang mandul, Nya?”Anya menggeleng, “Aku akan mengatakan dan memberikan bukti di waktu yang tepat, aku ingin Dimas merasakan bahagia terlebih dahulu sebelum dia menghancurkannya sampai pria itu menjadi gila.”Felisha mengangguk setuju, dia juga merasa sakit hati saat sahabatnya di khianati. “Untung kamu tidak ingin di poligami, Nya. Jaman sekarang pria m
Di depan layar komputer yang masih menyala, Anya kembali melamun. Dina yang sudah tahu tentang permasalahan yang dialami Anya memilih untuk tidak mengajak wanita itu bicara.Hingga telepon kantor berbunyi, Dina segera bangkit dan mengangkatnya.“Ada, pak. Baik, pak.” Ucap Dina menjawab telepon tersebut lalu mendekati Anya.“Mba Anya, pak Farhan memanggil mba Anya.”Mendengar itu Anya mengangguk dan segera bangkit seolah tahu apa yang akan dibicarakan atasannya itu.Hingga dia sampai di ruangan pak Farhan, Anya langsung mengetuk pintu dan masuk.“Apa bapak memanggil saya?”Pak Farhan mengangguk dan segera menyuruh Anya untuk duduk.“Bagaimana, apakah kamu sudah memutuskan? Kali ini aku tak mendesakmu Anya, melihat kemarin kamu cuti pasti ada masalah yang menimpamu setelah kejadian di restoran itu.” Pak Farhan mengingatkan dengan raut wajah yang tampak ikut simpati.“Terima kasih pak atas perhatiannya. Berhubung bapak sudah tahu, saya akan menerimanya pak. Tapi mungkin butuh waktu satu