Share

Madu Untuk Mantan Mertua
Madu Untuk Mantan Mertua
Penulis: Mayasa

BAB 1

Anya duduk di kursi ruang tamu yang nyaman, matanya menatap kosong ke arah televisi yang menyala tanpa suara. Enam bulan pernikahan yang seharusnya menjadi momen-momen bahagia, kini terasa seperti beban tersendiri yang membuat dadanya sesak. Ia menghela napas panjang, mencoba melepaskan beban yang menghantuinya.

Di sudut ruangan, , Dimas suaminya, tampak sibuk dengan ponselnya. Dulu, Dimas selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan bercanda dengannya setiap malam. Tapi sekarang, perhatian Dimas lebih sering tertuju pada layar ponselnya daripada padanya. Anya merasakan ada sesuatu yang berubah, namun ia berusaha mengabaikan perasaannya itu.

“Mas Dimas.” Anya akhirnya memecah kesunyian, suaranya bergetar sedikit. “Kamu ada waktu sebentar? Aku ingin bicara.”

Dimas mengangkat pandangannya dari ponsel, sedikit terganggu. “Apa, Anya? Aku sedang sibuk, banyak kerjaan yang harus diselesaikan.”

“Aku tahu, tapi ini penting. Kita perlu bicara tentang... tentang kita.”

Dimas menghela napas berat dan meletakkan ponselnya. “Oke, apa yang ingin kamu bicarakan?”

Anya menarik napas dalam-dalam. “Kita sudah enam bulan menikah, Mas. Dan... dan aku merasa ada yang salah. Kamu semakin menjauh. Dan soal kita yang belum punya anak, aku merasa semua orang menyalahkanku.”

Dimas yang mendengarnya tampak tak acuh, “Bukankah memang salahmu? Ibuku berkata jika bukan karena kamu yang kelainan tidak mungkin selama enam bulan rahimmu masih kosong. Padahal aku selalu mengeluarkannya di dalam.” Nada suara Dimas tampak begitu dingin dan menusuk.

Hal inilah yang membuat Anya semakin tertekan, semua orang menyalahkannya. Dia sudah berusaha hidup sehat dan bahkan dia memakan  toge yang merupakan makanan yang paling dia benci. Tapi semuanya selalu sia-sia di mata suaminya dan ibu mertuanya.

“Jika memang begitu… Ayo kita periksa bersama, Mas. Agar tahu siapa yang bermasalah disini.” Suara Anya tampak bergetar dan memohon karena selama ini suaminya selalu menolak untuk memeriksakan diri bersama.

Dimas mengerutkan kening, menatap Anya dengan tatapan yang tidak bisa dibaca. “Kenapa aku yang harus ikut diperiksa? Aku sehat-sehat saja. Ini pasti masalah di kamu, Anya,” katanya dengan nada tegas.

Anya menundukkan kepalanya, menahan air mata yang menggenang di pelupuk mata. “Aku hanya ingin kita tahu yang sebenarnya, Mas. Supaya kita bisa mencari solusinya bersama. Ini bukan tentang salah siapa, tapi bagaimana kita bisa melewati ini bersama. Dan bahkan aku tiga bulan yang lalu sudah mengecek jika aku normal, mas.”

Dimas mengusap wajahnya lalu terkekeh dengan geli namun tatapannya menusuk, “Kamu urus saja, aku sudah malas membahas ini.” Ucap Dimas sambil pergi ke kamarnya.

Itu adalah kebiasaan Dimas jika dia menghadapi masalah, selalu menghindar dan tak ingin  terlibat.

Hati Anya semakin lelah, tapi panggilan telepon dari Felisha, membuatnya segera menghapus air matanya dan menekan suara seraknya agar tak menimbulkan kecurigaan.

“Halo?”

“Anya, kamu dimana? Apakah besok senggang?” Tanya Felisha dari seberang sana.

Felisha adalah sahabat Anya sejak kecil, dia merupakan lulusan dari universitas Harvard yang mengambil jurusan kedokteran. Dia baru saja selesai masa studinya dan kembali ke indonesia untuk berlibur sebelum bekerja di amerika setelah mendapatkan tawaran disana.

Tentu saja Anya menyambut itu dengan senang, dia sangat merindukannya.

“Aku di rumah saja, besok juga hari libur. Apa kamu ingin bertemu?” Ucap Anya segera.

“Baguslah, aku merindukanmu. Bisakah kita bertemu di cafe Florist?”

Anya tersenyum, “Tentu, aku akan datang.”

Anya langsung menutup telepon dan berbalik ingin masuk ke kamarnya, namun dia terkejut saat Dimas entah sejak kapan berdiri tepat di belakangnya.

“Mas, kamu mengejutkanku.”

“Siapa?” Dimas tak peduli dengan kondisi Anya yang masih terkejut, dia cukup penasaran dengan siapa Anya berbicara.

“Oh, itu Felisha. Aku akan bertemu dengannya.” Ucap Anya dengan tenang.

Dimas hanya ber-oh saja lalu pergi ke dapur, Anya yang melihatnya hanya menghela nafasnya dan masuk ke dalam kamar.

Hingga keesokan harinya, dia sampai di cafe Florist. Cafe yang biasanya digunakan untuk anak muda nongki dan belajar. Suasana disana memang sangat cocok untuk kaum muda yang membutuhkan tempat fresh dengan hiasan bunga-bunga segar.

Di ujung sana, Anya melihat Felisha yang duduk sambil melihat ke arah laptopnya. Tanpa menunggu lama, dia menghampiri wanita itu.

“Ibu dokter masih belajar saja.” Gurau Anya yang membuat Felisha mengalihkan perhatiannya.

“Kamu selalu saja mengejekku, bagaimana kabarmu?” Ucap Felisha sambil berdiri dan menyapa sahabatnya dengan akrab.

Anya terkekeh, “Ya seperti itulah.” Ucap Anya yang tampak memikul beban.

“Ada masalah dengan keluargamu?” Tebak Felisha dengan tepat sasaran.

Anya tak menjawab namun matanya sudah menjawab semuanya. Hingga Felisha memegang bahu Anya.

“Aku mendengar banyak gosip tentangmu, ternyata itu benar. Apakah kamu sudah memeriksakan diri bersama suamimu?” Tanya Felisha dengan lembut.

Felisha memang lebih peka dari siapapun, dia mengerti tanpa harus Anya menjawab pertanyaan.

Hingga Anya mengangguk, “Aku sudah memeriksakan diri dan aku normal, tapi suamiku sangat sulit. Apakah kamu ada solusi, Fel?” Tanya Anya, meskipun rasanya sangat sungkan padahal mereka baru saja bertemu setelah sekian lama.

Namun Felisha langsung mengangguk, “Jika suamimu tak ingin datang ke rumah sakit, bawa saja sampel sperma suamimu. Aku mengenal dokter spesalis yang biasa menangani masalah ini.”

Mendengar itu Anya seperti mendapatkan sebuah harapan, dia tersenyum mendengar itu.

"Terima kasih, Fel."

"Tapi, kalau kamu memang sudah dinyatakan sehat oleh dokter. Maka yang bermasalah itu suami kamu, Nya."  

Anya terkejut mendengarnya. Dengan agak terbata dia berkata, "M-maksudmu, suamiku mandul?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status