"Bahas pernikahan Bu Vidia besok. Kira-kira tamu undangan bagusnya dihidangkan apa?" Naren yang merespon Vidia.
Perempuan berambut pirang itu melangkah mendekat dengan senyum bahagia dan berhenti di dekat kami. "Ferdila sudah menyiapkan semuanya." Vidia mengedipkan sebelah mata. "Aku mau ke kamar dulu coba gaun pengantin ini," lanjutnya memperlihatkan paper bag kuning.
"Semoga Ibu Vidia selalu bahagia."
Perempuan itu terkikik. "Tentu saja." Kemudian dia melangkah angkuh masuk kamar dan menutup pintu sedikit keras.
Mungkin saja dia ingat kejadian memilukan dalam gudang tempatnya disandera dulu. Jika seperti itu, pasti menimbulkan dendam yang akan berimbas buruk padaku.
Aku akan selalu pura-pura tuli dan bisu untuk satu misi. Sikap Vidia juga Ferdila terlalu aneh dan pasti banyak rahasia di balik semua kejadian ini.
"Arnila ingin campur tangan, Din," bisik Naren setelah hening satu menit.
"Gimana?"
"Kalau kamu tidak bisa me
"Asyhadu an laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna muhammadan rasuulullah. Saya bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah."Seperti itulah Vidia masuk Islam sebagai isyarat sebelum ijab qabul dimulai. Pernikahan ini dihadiri oleh tetangga dan sahabat karib Ferdila. Aku hanya bisa menunduk menanti keajaiban.Akan tetapi, kini penghulu sudah menjabat tangan suamiku dan mengucapkan ijab qabul dengan lantang. Tidak butuh waktu lama, Ferdila nembuka suara dan aku tidak bisa mendengar jelas sekali pun berada didekat mereka.Para saksi bersorak sah, itu artinya ijab qabul sudah selesai dan mereka mengira telah halal. Apa aku yang salah karena memberi izin di awal?"Kamu yang sabar, ya, Bu Ardina. Gak lama lagi azab Allah pasti turun karena perempuan yang sudah merebut paksa suami kamu," tutur salah satu tetangga."Bukannya poligami boleh, Ibu-ibu yang cantik?" Vidia melembut-lembutk
Pemilik suara itu tidak lain adalah lelaki yang selalu membantu bahkan mengorbankan hampir seluruh waktunya. Dia adalah Naren. Untung saja saudariku memiliki sahabat sebaik dia.Naren mendekat, para tamu undangan memperhatikan kami seakan mencari jawaban. Akan tetapi, aku tidak pedulu tanggapan mereka."Maaf, aku telat datang, Bu karena ada urusan sebentar," jelas Naren. Aku hanya tersenyum seraya mengangguk mengingat lelaki itu lupa menyematkan kata 'Ibu' di depan Ardina."Sepertinya kamu ini sibuk banget, Ren. Ngurusin apa, sementara pekerjaan kamu di sini juga ada?" Vidia memicingkan mata dan aku bisa menebak arah pembicaraannya."Naren ini ada urusan selain sebagai supir kita, Sayang. Dia bekerja bukan karena butuh uang, apa kamu lupa?" Ferdila yang menjelaskan dengan nada suara sangat halus. Vidia mengangguk-angguk."Boleh bicara sebentar, Bu Ardina?""Boleh," jawabku singkat sambil berlalu menerobos tamu.Di belakang rumah, aku
Hari minggu seperti biasa tentu pekerjaan masih selalu ada dan harus segera dikerjakan, mencuci misalnya. Namun, kata Ferdila lebih baik ditinggal dulu karena kami akan jogging bersama.Menyenangkan bukan? Tentu saja bagi mereka, tidak denganku. Akan tetapi, mau tidak mau harus pergi juga demi menjalankan misi."Cepat pakai sepatunya," tegur Ferdila pada Vidia yang sangat lama. Aku sebenarnya mengerti kalau itu kode agar mereka bersikap romantis."Susah. Gak bisa," rengek Vidia memandangi sepatu putih berpadu merah muda itu. Ferdila dengan cepat menunduk dan memakaikan tali sepatu. Seperti anak-anak saja tingkahnya.Kali ini kami sama. Sama-sama tidak mengenakan jilbab karena merasa kesulitan olahraga jika tidak berpakaian ketat. Sebenarnya hal ini salah dan aku sadari itu."Ayo!" ajak Ferdila setelah selesai mengikat tali sepatu sang istri.Mulai deh lari keliling dan tentu saja aku harus mensejajarkan diri dengan Ferdila karena jika
"Ke mana mereka?" tanya Naren ketika kami saling bertemu. Dia baru saja selesai mencuci mobil, sementara aku sedang menjemur pakaian."Tadi lagi jogging bareng, entah sekarang mereka ke mana. Mungkin singgah di warung makan." Aku menjawab tanpa ekspresi."Kamu cemburu?"Pertanyaan itu membuatku menarik sudit bibir ke atas, kemudian beralih menatap Naren yang kemudian tersenyum. Di tangan kanannya ada secangkir kopi buatan sendiri."Tidak, Ren. Wajar bagi mereka kalau mau keluar bareng atau singgah ke mana gitu.""Kamu tidak sedang mencoba memahami keadaan, kan? Ferdila itu suami kamu yang sah di mata negara dan agama. Tentu sebagai perempuan, pasti ada rasa cemburu, resah dan gelisah."Aku hanya merespon dengan senyuman tipis karena Naren tidak akan berhenti mengingatkan bahwa Vidia adalah perusak rumah tangga. Memang sebenarnya kepo juga mereka ada di mana karena matahari sudah semakin meninggi.Andaikan bisa menebak, mungkin F
Pukul sembilan malam Ferdila sudah masuk di kamarku. Dia menyeringai layaknya singa kelaparan. Sementara aku hanya duduk bersandar di kepala ranjang menanti lelaki itu memulai lebih dulu.Detak jantung seakan saling berkejaran. Sensasinya seperti malam pertama dan entah mengapa aku sangat menginginkan. Ferdila.Aku menelan saliva ketika jarak kami semakin dekat. Dia duduk di tepi ranjang. "Apa kamu sudah siap bertempur malam ini, Sayang?""Sekarang?""Iya, kamu cantik sekali malam ini, Din. Sepertinya saat ini adalah waktu yang tepat. Aku tidak sabar menyentuh setiap inci tubuhmu."Aku tersenyum manis. Aroma parfum Ferdila menusuk indera penciuman. Dia semakin memutus jarak di antara kami. Tangan sudah saling berpegangan.Tiba-tiba pintu kamar terbuka lebar. Aku terperanjat bukan main melihat Vidia memeluk bantal. "Malam ini aku tidur di sini, Din. Takut di kamar sendirian, ada yang ketuk-ketuk jendela.""Benarkah? Atau itu cuma akal-
POV VIDIA MAIDA***"Jika ada ular yang terlihat jinak, jangan kau pastikan tidak berbisa. Seperti itulah aku, bersikap baik dan cengeng pada kakak madu hanya untuk membuatnya terluka lebih lama," gumamku sambil menatap ke luar jendela hotel.Tidak ada sesiapa pun di sini karena orang yang datang bersamaku baru saja pergi. Dia tahu kalau Ferdila akan datang sore nanti. Ya, kami akan jalan bertiga sesuai rencana, tetapi sebenarnya tidak.Aku memang mengirim pesan pada Ardina, memintanya untuk siap-siap. Namun, ada sesuatu di balik itu semua.Saat melirik jam, sudah menunjuk angka tiga, aku menelepon Ferdila dan langsung terhubung. "Fer," lirihku."Vid, kamu kenapa?""Aku ... perutku sakit banget, Fer. Mungkin gak bisa ikut pergi bareng kalian.""Sakit banget emang?""Iya, kan lagi halangan. Sakit banget ini," rengekku lagi padahal semua ini palsu."Kalau gitu kita tunda saja keluarnya. Nanti aku telepon Ardina dan
POV ARDINA***"Ferdila belum datang, Din?" tanya Naren dari dalam rumah. Ya, aku masih duduk di dekat jendela sambil terus memandang ke luar. Jam sudah menunjuk angka tujuh."Belum, mungkin lagi belanja sama Vidia. Abis itu singgah ke sini dan langsung berangkat biar gak repot ganti bajunya nanti." Aku menjawab ragu.Ada rasa gelisah yang menyelimuti jiwa, tetapi malu mengungkap pada Naren. Biar bagaimana pun, Ferdila tetaplah seorang suami yang wajib aku jaga kehormatannya. Aku merasa seperti itu untuk sesaat."Coba ditelepon, jangan sampai menunggu padahal gak jadi pergi.""Sudah, ponselnya gak aktif. Vidia juga gak baca pesan aku. Kemungkinan besar sibuk belanja."Naren hanya mengangguk. Aku mengerti bagaimana prihatinnya lelaki itu. Beberapa detik kemudian ada deru mobil dan aku spontan menoleh, sayang sekali itu mobil milik tetangga."Sampai kapan kamu akan menunggu, Din?""Sampai Ferdila datang. Aku percaya dia ak
Aku gamang. Jantung berdegup semakin cepat. Lelaki itu menyeringai dengan tatapan tajam seakan ingin menerkamku habis-habisan."Tidak usah mencari berkas yang tidak ada. Mari kita menikmati malam berdua, kita habiskan dengan bercumbu rayu!" Pak Robby mendekat. Dia mendorongku."Jangan! Tolong!" teriakku berusaha menghindar, tetapi kalah kekuatan. Tentu saja!"Tidak ada orang lain di sini. Kita nikmati malam ini." Pak Robby hendak membuka bajunya, tetapi terhenti karena pintu tiba-tiba terbuka. Ada yang menendangnya dari luar.Malaikat penolong, pasti itu Naren! batinku penuh harap."Jangan mau menikmati sendirian Robby, bagi ke gue juga!" bentaknya.Robby hanya tersenyum. Dia mempersilakan untuk menj*mahku lebih dulu. Rasa takut semakin menjadi. Aku mulai menitikkan air mata, Naren tidak juga muncul.Lelaki hidung belang yang umurnya tidak lagi muda itu melempar jaket yang dikenakannya asal. Dia pun sudah selesai melepas baju dan ters