“I-ibu?” Ia tergagap-gagap mendapati Laksmi ada di depan pintu. “Kak Alvin?” Lanjutnya sambil membuka pintu rumahnya lebar-lebar. “S-silakan masuk.”
“Assalamualaikum,” kata Alvin begitu melangkah maju, masuk dengan diikuti Laksmi di belakangnya.
Arzan menjawab salam sambil menutup pintu. “Kapan datang, Kak?” tanyanya, sedikit merasa kikuk. “Silakan duduk.”
“Tadi pagi, Zan.” Alvin duduk bersila, tegak dengan kedua tangan bertumpu di kedua sisi lututnya. Dia menghirup udara dalam-dalam. Ventilasi udara di rumah kontrakan Nafisa memang kecil. Tak terasa, kalaupun kelebat angin lumayan kencang di luar.
“Oh.” Arzan menyengir, seolah kehabisan bahan obrolan. “Sekeluarga, Kak?”
Alvin mengangguk sebelum akhirnya mengedarkan pandangan. Ia melihat ke sekeliling, tanpa terlalu menunjukkan keingintahuannya tentang seberapa nyaman rumah itu untuk Nafisa.
Sedari tadi menahan tangis, air mata Nafisa akhirnya luruh juga. Ia menunduk, menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti terlihat kacau sambil terisak, dan menyusut berulang kali hidung dan matanya dengan ujung kerudung. Membuat Arzan yang mendengarnya seketika menoleh.Seperti tersadar dari lamunan, Arzan langsung menunduk, menangkup dan menyapu wajahnya kasar dengan kedua tangannya yang lembut. Ia beristigfar berulang kali di dalam hati sebelum kembali mengangkat wajah.“Maaf, Bu,” lirihnya kemudian. “Maaf, Kak.”Namun, orang tua di hadapannya itu tidak menggubris. Laksmi justru bangkit berdiri dan menepuk pundak Alvin yang sedari tadi diam mendengar Arzan. Kakak Nafisa itu tidak menyangka, kalau apa yang dirasakan adiknya begitu menyedihkan.Sama menyedihkannya dengan apa yang ia rasa, saat diawal-awal pernikahan. Laksmi bersikap tak jauh beda: mengatur, melarang, dan keras kepala. Namun, yang paling membuatnya termenung adalah ap
“Walau engkau seorang pria, perkara hati bukan orang lain yang merasai. Maka, menangislah jika itu yang bisa membuatmu tenang.”***Pagi-pagi sekali, usai melaksanakan salat Subuh bersama, berbagai kejadian menyakitkan seolah beruntun menusuk-nusuk jantung hati Nafisa. Mulai dari ingatan yang kembali memutarkan kenangan pahit akan kenyataan, bahwa guna-guna yang didalangi Laksmilah yang membuat Arzan seolah-olah jatuh cinta dan mau menikahinya. Membuat ia kehilangan malam pertama usai resepsi, karena guna-guna yang tiba-tiba luntur bahkan tak mempan lagi. Beruntung, ketulusan yang dimiliki Arzan membuatnya terhindar dari perceraian. Arzan mampu menerima apa yang dilakukan Laksmi padanya, bahkan mencintai Nafisa sampai membuahkan janin di rahim istrinya itu.Namun, masalah tak lantas hilang begitu saja. Arzan dan Nafisa lagi-lagi harus menghadapi ego dan keras kepalanya Laksmi. Ibu dari empat anak itu tak habis-habis merecok, ikut campur
Di pertigaan jalan saat Arzan seharusnya belok ke arah kiri untuk pergi ke pasar, ia justru belok ke kanan. Dari sana ia melaju cepat karena sundulan emosi yang bergejolak, memenuhi isi kepalanya. Sesekali ia memukul setang, kesal karena harga dirinya benar-benar hilang di mata keluarga Laksmi. Namun, di sisi lain, ia merasa jahat karena sudah mengantarkan Nafisa pulang dengan alasan lain. Alasan yang belum diberitahukannya pada Nafisa.Perjalanan menuju rumah ibunya tinggal sebentar lagi. Akan tetapi, ia tak cukup sabar untuk segera sampai. Ingin bersimpuh, memohon ampun di kedua kaki wanita yang melahirkan dan mengurusnya dengan penuh ikhlas dan sabar. Ingin mengadu perihal nasib yang ternyata tidak berpihak banyak padanya.Begitu sampai di rumah Mariam yang di kelilingi pohon mangga, Arzan langsung berlari dan mencari sosok ibunya di dalam. Barulah setelah mengubek hampir ke setiap penjuru ruang, ia menemukan perempuan berharganya itu tengah membakar sampah di halam
Matahari sudah beranjak naik, memberi hawa panas dari sinarnya yang semakin terik. Namun, itu tak menghentikan keluarga Laksmi yang sedari pagi sibuk mengolah bumbu untuk memasak besok. Semakin gesit agar bisa secepatnya beristirahat.Di tengah kesibukannya, seluruh keluarga masih menghawatirkan kondisi Nafisa. Mereka takut kalau sampai adik bungsunya mengulangi hal semacam tadi. Mengamuk, atau bahkan lebih dari sekadar itu. Tak terkecuali Laksmi, wanita tua itu berulang kali masuk dan memastikan anaknya di dalam kamar.Seperti sekarang, saat Laksmi hendak menyuapi Nafisa makan. Ia membawa sepiring nasi, semangkuk sayur lodeh, dan dua potong ayam goreng dalam nampan ke kamar. Dilihatnya Nafisa masih meringkuk menghadap jendela kamar, membelakangi pintu.“Neng, makan dulu, ya.” Laksmi meletakan nampannya di sisi ranjang, cukup jauh dari kaki Nafisa. “Ibu bawa sayur sama goreng ayam.”Hening. Nafisa tak menjawab atau bergerak, bergeming menatap ke luar jendela
“Mudah saja bagi mereka—menyimpulkan sesuatu tanpa tahu dan merasakan bagaimana hinaan dapat menghancurkan benteng pertahanan—untuk berkata sabar. Padahal, untuk bisa menerima hal semacam itu, tidak hanya sabar yang harus dipertebal. Dan, Arzan tidak memiliki apa pun untuk bisa mempertahankan kesabarannya.”***Tiga hari terlewat sejak acara syukuran khitanan anak dari Ridho, kakak ketiga Nafisa. Selama itu pula Nafisa diam terpuruk, menunggu Arzan yang tak kunjung datang untuk membawanya kembali pulang. Tidak ada kegiatan khusus, atau mengerjakan pekerjaan rumah seperti biasa, sampai malas mengisi perut kalau saja tidak ada janin di dalamnya. Tanpa ada teman bicara, karena kakak-kakaknya kembali pulang, sehari setelah syukuran selesai. Hanya sesekali menjawab telepon dari mereka yang menanyakan kabar, itu pun kalau Nafisa mau angkat bicara. Kalau tidak, kakaknya akan kembali menutup telepon.Dalam hati, wanita
“Silakan diminum,” titah Nafisa begitu sampai di ruang tamu dan meletakkan nampan di meja.“Terima kasih, Neng.” Ustaz Zaki dan Farhat menjawabnya bersamaan sambil tersenyum. “Berhubung ada yang ingin saya katakan, ada baiknya Neng duduk dan ikut mendengarkan.”Nafisa yang semula penuh dengan semangat, tiba-tiba mengernyit heran seraya duduk di kursi bersama Asep. Ia berpikir, bertanya-tanya, apa gerangan yang akan dikatakan guru dari suaminya itu sampai terlihat tegang.Hening sesaat.Arzan yang duduk di tengah-tengah Farhat dan Ustaz Zaki terlihat tegang. Kedua tangannya menangkup, menyelip di antara lutut dengan wajah sedikit menunduk, melihat kedua kakinya yang tiba-tiba terasa lemas. Dalam hati, tak henti-henti ia memohon agar Tuhan menguatkannya, terutama Nafisa yang duduk menunggu bersama Asep.“Sebelumnya saya minta maaf karena sudah mengganggu dan merepotkan.” Ustaz Zaki mulai bicara. Tatapan
“Udah sadar belum?”Begitu sampai di ruang tamu, Arzan langsung mendapati satu pertanyaan dari ayahnya. Ia menggeleng, seraya kembali duduk di kursi sambil menangkup mulut. Air mukanya tiba-tiba memanas, mana kala ingat kalau Nafisa pingsan gara-gara dirinya.Ustaz Zaki menepuk pundak Arzan, menguatkannya dengan berkata, “Sabar, Zan. Doakan saja yang terbaik untuknya.”“Ya, Ustaz,” desahnya seraya menarik dan membuang napas perlahan, lalu bersandar di sandaran kursi dengan kedua tangan terkulai di atas paha. Ia memejamkan mata sejenak.Belum lama Arzan duduk di ruang tamu, kembali Asep menyusul dan duduk di hadapannya dengan raut wajah yang sama. Ayah dari empat anak itu masih terlihat cemas, khawatir akan kesehatan Nafisa. Namun, ia merasa perlu untuk menyelesaikan urusan yang tadi sempat terjeda.“Maaf, Pak Asep.” Ustaz Zaki memulai obrolan lagi. “Gimana keadaan Naf
“Melupakan bukanlah hal yang mudah dilakukan. Semakin kuat kita berusaha menghindar, semakin melekat pula kenangan dalam ingatan.”***Suara detak jarum jam terdengar berirama. Bergerak tanpa henti, menggiring waktu ke waktu yang terasa semakin lambat, saat ingatan tiba-tiba saja memutarkan kejadian tempo kemarin, waktu Arzan datang membawa talak, lalu meninggalkanku dalam keadaan rapuh dan tak berdaya.Mengingat semua itu membuat emosinya terhadap Laksmi kian meradang. Ia sering kali menolak untuk bertemu, atau bahkan bicara dengan ibunya. Membuat Aseplah yang kerap membujuk makan, sampai mengantarnya memeriksa kandungan ke bidan desa. Kadang, ia pun memilih pergi dengan menaiki angkutan umum, saat Asep tak bisa mengantarkannya dengan motor. Seperti saat ini.Namun, beruntung, beban pikiran yang ditanggungnya selama beberapa bulan tidak mempengaruhi perkembangan janin dalam kandungan. Bayinya itu berk