{Jangan macam-macam atau kamu akan tahu akibatnya}Hanif dan juga Tania membaca pesan surat itu yang terletak bersama dengan batu dan pecahan kaca. Mereka berdua nampak terkejut ketika membaca surat tersebut.Siapa orang yang telah melakukan ini, batin mereka berdua."Siapa, Mas, dalang dari semua ini?" tanya Tania.Hanif menggeleng lemah. "Aku juga tidak tahu.""Kita lapor polisi saja.""Benar, tetapi tidak untuk saat ini. Besok aku akan pasang CCTV, kalau hal ini terulang lagi maka biar diusut polisi," jawab Hanif."Tapi aku takut.""Jangan takut, kan ada aku di sini.""Tapi kamu kerja, aku di rumah sendiri.""Ada Bi Yun.""Tapi tetap takut."Hanif memegang wajah istrinya. "Aku akan selalu menjagamu. Kalau masih takut, kamu bisa ke rumah Ibu, sepulang kerja baru ku jemput.""Apa nggak merasa repot?"Hanif tersenyum. "Demi kamu aku tak pernah merasa repot."Tania langsung memeluk suaminya. Jujur saja, sekuat-kuatnya dia, belum pernah seumur hidupnya merasakan teror seperti ini. Ia
"kalian tinggal di sini saja, lagian Ibu juga merasa sepi di rumah sendiri," ucap ibunya saat mereka tengah menikmati sarapan pagi."Rencananya kalau keadaan sudah membaik kami akan pulang ke rumah, tetapi untuk sementara waktu kita akan di sini, Bu, aku nggak tega ninggalin Tania sendirian di rumah," jawab Hanif sambil memasukkan sesuap nasi ke dalam mulutnya.Rasanya sudah lama sekali ia tak merasakan makanan yang diolah sang Ibu. Semenjak memutuskan menikah dan tinggal di rumah sendiri, ia sangat jarang mau makan di rumah ibunya, ia selalu berkilah istrinya sudah memasak dan tak mau mengecewakan Tania.Walaupun saat itu rasa cinta belum ada tetapi ia selalu ingin menjaga hati Tania, dia bukan lelaki kejam. Ia ingin menghargai jerih payah istrinya walau tak bisa dipungkiri dari hal sekecil itu maka tumbuh benih-benih cinta tanpa ia sadari."Tinggal di sini sajalah, biar Ibu punya teman. Apalagi kalau setelah lahiran tinggal di sini, maka rumah ini akan rame anak kecil," ucap ibunya.
"Viola?" Tania merasa terkejut karena calon Hildan adalah Viola, seorang wanita yang akan dinikahi Randi. Bahkan terakhir yang ia dengan Randi sudah menyebar undangan."Tania?" Sekarang ganti Viola yang tak kalah terkejutnya."Kalian saling kenal?" tanya Hildan sambil menatap ke arah wanita di depannya.Tania sendiri bungkam, ia takut salah bicara. Apalagi Hildan dengan Viola adalah calon pengantin, ia takut kalau bicara sejujurnya malah membuat hubungan keduanya hancur."Kenal, Mas. Tania itu yang pernah tinggal di rumah Mbak Sri, saudaranya Mas Randi yang tempo hari aku ceritain itu," jawab Viola. "Randi yang mau dijodohkan dengan kamu waktu itu?""Iya.""Wah, aku sampai tidak tahu," jawab Hildan dengan senyum lebar.Sedangkan Tania dan juga Hanif menatap dengan tak mengerti dua insan di depannya.Banyak sekali pertanyaan yang ingin dilontarkan, tetapi melihat saat ini banyak keluarga termasuk budhenya, maka ia urungkan niat itu.Obrolan ringan pun dilanjutkan, Tania sama sekali t
Sudah lebih dari satu bulan Tania dan juga Hanif tinggal di rumah sang Ibu, rencananya hari ini mereka akan balik ke rumah karena selama itu tidak ada sesuatu yang mencurigakan. Teror pun juga cuma satu kali, itupun ketika mereka masih di rumah."Apa nggak ditunda saja baliknya," ucap sang Ibu sambil mendekati anaknya yang sedang membereskan baju."Tania minta sekarang, Bu, lagian rumah dikosongkan terlalu lama juga tidak baik, kan?" jawab Hanif."Iya, tapi rumah ini jadi sepi kalau kalian balik. Tinggal di sini saja temani Ibu. Ibumu ini sudah tua lo."Hanif menatap ke arah istrinya, Tania pun juga begitu."Bagaimana, Sayang?" tanya Hanif."Terserah kamu saja, Mas," jawab Tania sambil menghentikan aktivitasnya. "Biasanya kalau terserah itu tanda tak mau. Perempuan memang seperti itu, bilangnya terserah tapi ketika aku memutuskan ini, salah juga," gerutu Hanif."Lah, kok jadi begini? Memang aku perempuan seperti itu? Kalau aku bilang terserah ya terserah, kok jadi kaya mojokin aku gi
Malam ini Hanif mengajak istrinya untuk keluar. Di hari spesial sang istri, ia ingin memberi sesuatu yang spesial. Sudah menjadi kebiasaan seperti tahun-tahun yang telah lewat, tetapi kali ini didasari oleh cinta yang tengah menggebu."Kita ke mana lagi, Mas?" tanya Tania saat suaminya tak menyebutkan ke mana mereka pergi. "Ngikut aja," jawab Hanif sambil tetap fokus menatap ke depan."Iya, ke mana dulu?""Nanti kamu juga tahu," jawab Hanif."Bikin penasaran."Hanif tersenyum tanpa menjawab, ia menoleh sebentar ke arah sang istri sambil satu tangannya membelai lembut kepala Tania.Tak membutuhkan waktu lama, mereka pun sampai di lokasi, di mana lagi kalau bukan di bukit tempat di mana Hanif memaksa istrinya untuk melayani."Kenapa ke sini?" tanya Tania tak mengerti. Biasanya mereka akan ke sini kalau hati benar-benar kacau, mereka akan menghabiskan waktu di sini sambil mengamati pemandangan dari atas."Kita bernostalgia," jawab Hanif.Tania mengernyitkan dahinya. Ia sama sekali tak m
Lelaki itu hanya tersenyum tipis sambil sekilas menatap Tania. Hal yang tidak pernah ia lakukan pada perempuan manapun. Bahkan pada Murni, ia tak pernah menunjukkan wajah bersahabat, selalu wajah masam yang ia perlihatkan.Buru-buru Beni mengajak istrinya itu pergi. Mereka tak jadi belanja ke supermarket tersebut.Sedangkan Hanif menahan amarah, ia mengepalkan tangan lalu menyusul keduanya yang meninggalkan lokasi begitu saja. "Mau ke mana kamu!" bentak Hanif sambil mencekal lengan Beni. Kali ini ia tidak akan membiarkan lelaki itu pergi, dia harus mempertanggung jawabkan perbuatannya yang telah menyuruh seseorang untuk mencelakai kakak angkatnya."Bukan urusanmu!" jawab Beni dengan menarik tangannya dengan paksa."Kamu harus ikut aku ke kantor polisi, kamu harus mempertanggungjawabkan perbuatanmu tempo hari," tekan Hanif."Silahkan kalau berani. Tapi ingat, akan ada nyawa yang melayang setelah ini," jawab Beni dengan tertawa sinis."Aku tidak akan takut dengan ancamanmu.""Apa kamu
Tania merasa ketakutan saat lelaki tua itu menatapnya dengan tajam. Bahkan kini dia melangkah semakin dekat ke arahnya. Tania semakin meringsut dan Hanif pun dengan sigap melindungi istrinya. Tetapi setakut-takutnya Tania, ia tetap akan melawan. Dalam diamnya dan dalam penjagaan sang suami, Tania mengumpulkan kekuatan untuk melawan, ia fokuskan pikirannya untuk melakukan apa kalau sampai lelaki itu mau menyakitinya.Jujur saja, suami Yu Parni tidak biasanya seperti ini, ia sangat mengenal keluarga itu dan menilai keluarga yang baik, tapi semua asumsi itu telah dipatahkan saat mendengar lelaki tua tersebut mencaci maki kakaknya, walaupun ia tak tahu apa permasalahan sesungguhnya, tetapi ia merasa sakit hati kalau kakaknya dimaki-maki."Terakhir bertemu kamu tidak secantik ini," ucap suami Yu Parni. Kini ia mendekat dan mencoba menyentuh Tania. Saat tangannya hendak menggapai, dengan cepat Hanif mencengkeram dengan tatapan melotot.Ia tidak suka istrinya disentuh lelaki manapun kecuali
"Tangkap dia, Pak. Dia yang sudah menipu saya," ucap lelaki itu sambil menunjuk ke arah Zaki. Sedangkan Zaki sendiri terlihat pucat pasi atas kedatangan polisi tersebut apalagi ucapan yang dilontarkan lelaki itu.Selama hidupnya belum pernah ia berurusan dengan polisi. Dia merasa takut apalagi ia hanyalah kaum bawah dan nol akan pengetahuan. Ia takut dipenjara dan meninggalkan anak istrinya dengan segala kekurangan yang ada."Menipu apa maksudnya, pak?" tanya Zaki dengan tubuh gemetar. Jujur saja ia merasa takut, sedangkan Tania dan Hanif mencoba mendekat."Ini hanya kesalahpahaman, Pak. Kakak saya ini tidak pernah menipu siapapun," jawab Tania mencoba memberi tahu. "Kamu tidak tahu, dia sudah membawa uangku," jawabnya."Ada bukti?" tanya Tania mencoba tenang. "Suruh tanya sama istrinya, dia yang menerima uang itu."Tania pun masuk ke dalam dan mencari kakak iparnya, ia pun juga meminjam ponsel kakaknya lali keluar menemui Bapak polisi dan lelaki tua tersebut."Saya tanya sekali lag