Share

DUA

Arindha mulai berjalan meninggalkan mereka bertiga dan mulai fokus memikirkan cara agar bisa menyelinap masuk ke dalam kelasnya. Beruntung, mata pelajaran pertama Arindha adalah Fisika. Tidak seperti Pak Karyo yang selalu ceramah di pagi hari, Bu Yuyun selalu menuliskan banyak rumus saat pelajarannya.

“Sst-sst, Rico!” bisik Arindha sambil menatap Rico panik di sudut pintu kelas yang terbuka lebar.

Mata Rico mencari asal suara itu, dia celingukan melihat pintu dan jendela-jendela kelas.

"Ck, kupingnya bermasalah ni orang." Tangannya dilambai tinggi, berharap Rico melihat tangan kecilnya.

Mata Rico bergerak dan berhenti tepat di lambaian Arindha. “Arindha?” Melirik Arindha kebingungan.

Telapak tangan Rico mekar dan jari-jarinya merenggang, seolah mengisrayatkan agar Arindha tetap berdiam diri di posisinya. Sementara itu, dia mencari celah agar Arindha bisa memasuki kelas dengan aman tanpa hukuman dari Bu Yuyun yang sama halnya tidak menyukai murid yang terlambat.

Rico memainkan pulpen di tangan kananya dan menggelindingkan benda panjang itu sampai di bawah kaki Bu Yuyun, suara gelindingan pulpen Rico berhasil menarik perhatian Bu Yuyun.

Rico mendekati Bu Yuyun yang hanya melirik pulpen Rico yang jatuh. “Maaf, Bu. Saya tidak sengaja menjatuhkan pulpen,” kata Rico sambil menggerakkan telunjuknya pada Arindha.

Melihat isyarat kedua dari Rico, Arindha berjalan dengan mengendap-endap dan berhasil duduk dengan mulus di bangku kesayangannya, dia mengeluarkan buku Fisikanya dan mulai mencatat rumus yang telah ditulis Bu Yuyun.

                                        **

Kringg!!

Suara bel terdengar nyaring, ini adalah pertanda bergantinya jam pelajaran. Semua siswa-siswi kelas XII IPA 1 mulai keluar kelas untuk berganti pakaian. Yup, kelas selanjutnya adalah olahraga.

Arindha meluruskan tangan di meja kesayangannya, kepalanya yang terasa berat mulai turun dengan perlahan. Matanya yang terlihat lelah mulai tertutup setengahnya.

Tok tok tok

Telunjuk Rico mengetuk meja Arindha, dia menatapnya penuh iba dan sedikit rasa jengkel karena ulah sahabatnya yang sering terlambat.

“Rin, sono ganti baju. Udah telat, eh sekarang mau bolos,” ucap Rico sambil mencubit pipi Arindha.

Arindha mengangkat kepalanya. “Hiiih, ganggu! Udah sana kamu duluan aja,” desak Arindha malas, “Istirahat bentar ya Hil,” imbuh Arindha sambil menatap Hilda dengan deretan gigi putihinya.

“Ya tapi jangan lama juga kali, ini udah lima menit Rin. Tadi katanya cuman dua menit?” tanya Hilda.

Kepala Arindha mulai terangkat, tangan mungilnya mulai merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. “Eh, maaf. Kirain belum sampe lima menit, yaudah yuk,” ujar Arindha sambil menenteng baju olahraganya.

Melihat kelakuan sahabatnya yang seperti anak-anak, Rico hanya bisa diam dan menghela nafas. Bukan karena dia malas untuk memarahi Arindha, tapi karena mereka sedang berada di sekolah.

                                       **

Ruang ganti perempuan khusus kelas IPA yang luas hening, deretan loker warna hijau tosca berjejer rapi. Cermin besar di dalam ruangan itu menarik perhatian Arindha, dia berjalan dan mulai menatap ujung rambut hingga ujung kakinya yang sekarang sudah mengenakan pakaian olahraga.

“Hil, sebenernya aku cantik gak sih?” tanya Arindha sambil menatap wajahnya.

Bibir Hilda naik sebelah. “Tumben tanya tentang kecantikan, lagi naksir sama siapa nih?” tanya Hilda sambil mengejek teman sebangkunya.

“Ditanya, malah nanya balik. Udahlah, lupain aja,” kata Arindha sambil memanyunkan bibirnya.

Tangan Hilda menepuk pundak Arindha, menatap wajah imut temannya yang mulai kesal dengan candaanya. “Kamu cantik, Arindha,” ucapnya lembut.

Alis Arindha naik sebelah dan tersenyum. “Alex senyum-senyum pasti terpesona sama kecantikanku,” batin Arindha.

Rambut cokelat yang semula digerai, sekarang diikat kuat oleh Arindha di tengah kepalanya. Dia melepas jepit rambut yang semula berada di pinggir kepala, dan memasangnya miring di dekat ikat rambutnya.

Sejak Arindha jatuh cinta pada jepitan itu, dia selalu memakainya. Dimanapun, entah itu di sekolah, di rumah, bahkan saat bermain dengan Rico dan Hilda.

Arindha bukan tipe orang yang mudah bergaul dengan orang banyak, dia lebih menyukai dekat dengan beberapa orang saja. Bukan karena kudot, tapi dia ingin lebih tentram. Dia sudah bosan dengan orang yang hanya memanfaatkan kebaikan dan semua harta miliknya.

Semua orang yang ada di dunia adalah orang yang baik, kalimat itu yang selalu tertanam dalam pikiran Arindha. Namun, semenjak bertemu dengan Rico, dia mulai sadar bahwa tidak semua orang di dunia ini baik, dan tidak semua teman memiliki ketulusan. Kadang, kebaikan tak dibalas dengan kebaikan dan ekspekasi kita tentang teman terlalu tinggi hingga kita lupa bahwa semua memiliki sifat buruk dalam hatinya.

                                      **

Arindha dan Hilda berjalan menuju lapangan basket, teman-temannya sibuk dengan kegiatanya sendiri. Kedua mata Hilda celingukan, bergerak kesana dan kemari mencari seseorang yang selalu mengisi ruang kosongnya, Xianzu.

Dia adalah siswa kelas sebelah, XII IPA 2. Jadwal olahraga kelas Xianzu dan Hilda di hari yang sama, mereka berdua selalu menyempatkan waktu untuk sekedar bertemu, ini yang belum dirasakan Arindha, cinta.

Melihat mata Hilda yang terus menerus bergerak, Arindha mulai resah. “Kalo udah selesai, dia bakal lewat sini, Hil,” kata Arindha.

“Huum, tapi … temennya dah pada lewat, Rin. Apa dia gak masuk ya hari ini?” tanya Hilda cemas.

“Bisa jadi, ntar kita liat di kantin. Siapa tau Xianzu tadi udah lewat, tapi kamunya yang gak liat,” ucap Arindha yang mulai menggandeng Hilda menuju pohon dekat lapangan basket.

Arindha meluruskan kakinya, menyandarkan bahunya di pohon yang cukup besar. Tangan Arindha mengelus tenggorokannya yang sudah kering keronta. Dia lupa, dari pagi belum sempat makan bahkan meminum susu yang sudah disiapkan oleh ayahnya.

Suara langkahan kaki terdengar samar lalu semakin jelas, tangan besar dengan menggengam botol air mineral mendarat tepat di depan muka Arindha.

Mata Arindha menyipit, menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba berubah saat melihat botol air itu, tangan Arindha mulai  meraih air mineral itu. “Thanks, Co,” ucap Arindha singkat.

“Gimana, Hil? udah dapet vitamin belum?” tanya Rico meringis.

“Belum, tumben banget kan. Biasanya, dia orang pertama yang lewat sini,” ucap Hilda yang mulai membaringkan tubuhnya menatap langit kebiruan.

Rico menghela nafas dan mulai menidurkan kepalanya di kaki Arindha.

“Malah ikutan tidur ni anak! sono, bantuin Pak Sandi,” ucap Arindha yang melihat Rico meniduri kaki yang mulai kaku karena berlarian tadi pagi. 

Rico menutup kedua matanya. “Tenang, Pak Sandi ijin jam pelajaran kita,” jawab Rico dengan santai.

“Bagus, deh. Mendingan kita jalan-jalan aja, gimana?” tanya Hilda yang mulai kegirangan.

“Ogah. Aku capek, Hil. Kaki aku sakit,” keluh Arindha sambil menggerakkan kakinya dengan kasar.

“Sakit? kenapa gak bilang dari tadi, sana ke UKS aja. Mau muter kemana, Hil? Heum … pasti mau lewat kelasnya Xianzu, kan?” ucap Rico sambil meledek kedua temannya.

Arindha mulai berdiri. “Aku duluan ya,” ucap Arindha pelan.

Tangan Hilda meraih sesuatu di kantongnya. “Rin, bawa ini,” ucap Hilda sambil

menyodorkan roti. Hilda adalah teman Arindha yang hobi makan, bukan hanya sekedar kebutuhan lagi, seolah lambungnya selalu menuntut makan dan makan. Dia selalu membawa roti setiap kali pergi dari rumahnya, entah sekolah atau sekedar pergi bersama pacar dan teman-temannya.

Arindha tersenyum. “Makasih minuman dan rotinya.” Menatap Rico dan Hilda bergantian.

                                        **

Arindha mulai berjalan menuju UKS, sedangkan Rico dan Hilda pergi berjalan-jalan dan mencari Xianzu yang entah dimana keberadaanya.

Ruangan putih berukuran 4x4 lengang, semprotan pengharum ruangan yang sesekali menimbulkan suara memecah keheningan. Nampak ada orang lain yang sedang berbaring di ranjang paling pojok dengan ranjang yang dikelilingi tirai pembatas medis berwarna putih.

Arindha mulai melepas kedua sepatunya dan mulai berbaring. Dia melemaskan semua persendiannya, sesekali suara gemuruh berbunyi menyaingi suara semprotan ruangan itu.

Jarak ranjang Arindha dan laki-laki itu tidak terlalu jauh. Tiba-tiba, ada uluran tanganlaki-laki yang memegang roti menerobos tirainya, Arindha yang mengetahui maksud orang tersebut lantas mengambil roti itu.

“Makasih,” ucap Arindha singkat.

“Lain kali, kalo ke UKS bawa bekal, ini bukan kantin … ,” anjur laki-laki itu yang beberapa detik kemudian berdehem untuk, “Disini cuman ada obat,” lanjutnya yang terdengar sayu.

“Alex?” bisik Arindha pelan.

“Dimakan! perut elu dari tadi bunyi, bikin kepala gue tambah pusing aja,” cetus Alex singkat.

Arindha mulai memakan kedua roti pemberian temannya itu, dua-duanya ia makan sekaligus dan rasa laparnya terbayarkan sudah. Karena sudah kenyang, Arindha tak sadar bahwa matanya mulai tertutup rapat. 

Hening

Alex mencoba tidur, tetapi matanya menolak untuk istirahat, akhirnya Alex memutuskan untuk sekedar basa-basi pada gadis yang ditolongnya tadi pagi.

“Sakit apa?” celetuk Alex yang tidak tahu bahwa Arindha telah tertidur lelap.

Alex menanyakan hal yang sama beberapa kali, dan tetap tidak ada jawaban.

Alex membuka tirainya.“Buset, cepet banget tidurnya,” ejek Alex dengan menyengirkan bibirnya.

                                    **

Mata Arindha mulai terbuka perlahan, rabun. Dia berusaha terus mengedipkan matanya agar semua nampak jelas. Saat pandangannya sempurna dia kaget, muka Alex berada sangat dekat dengan muka Arindha.

Arindha mulai duduk. “A-alex, ngapain lo?” tanya Arindha gugup.

“Dari tadi gue bangunin tapi elo gak bangun-bangun, gerak-gerik elo mencurigakan, sih. Niatnya … mau gue sirem pake ni air,” tekad Alex sambil melirik gelas yang berisi air di tangannya.

“Oh, ya maaf. Kepala gue pusing banget. Biasalah, anak vertigo,” dalih Arindha sambil mengusap kepalanya.

Arindha mulai turun dari ranjangnya, memakai sepatu dan berjalan mendekati pintu UKS. Dia tidak sadar, jepit rambutnya jatuh di dekat bantal yang dia tiduri.

Melihat Arindha yang sudah keluar UKS membuat Alex ingin segera meninggalkan ruangan itu juga. Saat Alex melewati ranjang Arindha, mata ayamnya melihat benda yang tak asing lagi menurutnya.

“Aku pinjem,” kata Alex sambil memasukkan jepit rambut Arindha di sakunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status