Share

TIGA

Arindha mulai mengganti pakaiannya, merapikan rambut dan berdiri di depan cermin itu lagi. Arindha kaget, dan segera mencari jepit rambutnya. Dia kembali ke UKS, Arindha mulai menyusuri setiap sudut ruang putih itu. Nihil, Arindha hanya terdiam dan harus merelakan jepit rambut kesayangannya itu.

Dia berjalan di kantin, mulai mencari kedua sahabatnya seperti biasanya. Kepala Arindha terus menoleh ke kanan dan kiri. Sampai akhirnya, dia berhasil duduk dengan wajah sumringah di sebelah Hilda.

Tangan Hilda menggeser mangkuk yang berisi bakso kuah kesukaan Arindha. “Nih, spesial buat kamu, Rin,” ucap Hilda dengan memperlihatkan barisan gigi putihnya.

Arindha tersenyum. “Makasih, lagi,” ucap Arindha pelan.

“Mulai besok, kamu harus bangun pagi-pagi. Gak perlu naik angkot lagi, kita berangkat bareng,” titah Rico.

Arindha nyengir. “Kalo kepaksa gak usah,” ucap Arindha sambil mengaduk bakso dihadapannya.

“Kamu kenapa, sih. PMS?”

“Rico, Arindha. Udah deh, aku mau makan aja rasanya gak bisa nelen karna liat muka kalian.” Melirik tajam pada dua sahabatnya.

Arindha yang menyadari kesalahannya mulai menyeruput kuah bakso di hadapannya.

Alex, Vino dan Jio jalan berdampingan. Mereka berhasil membuat seluruh pengunjung kantin meliriknya. Hilda yang tidak peduli sama sekali dengan keberadaan mereka mulai berjalan menuju kasir untuk membayar makanan yang disantapnya.

Saat Hilda berjalan di depan Alex, Alex justru dengan sengaja menjegalnya. Hilda tersungkur malu, Rico dan Arindha yang kaget sontak berdiri dan menatap Alex.

Arindha berlari menghampiri Hilda. “Hil, kamu gak papa, kan?” tanya Arindha lirih.

Rico mendorong dan mencengkram kuat baju Alex. “Maksud lu apa, hah?!” bentak Rico.

Dengan rasa tak bersalahnya, Alex justru menanya balik apa kesalahan yang dilakukannya.

“Bener-bener ya, lo!”

Kepalan tangan Rico berhasil melayang tepat di pipi Alex, dia jatuh sama seperti Hilda.

Alex meringis, berdiri dan membalas pukulan Rico. Jio dan Vino berusaha memisahkan keduanya, disaat pertengkaran mereka mulai sengit dan brutal. Arindha mencoba ikut memisahkan keduanya, saat Alex ingin melayangkan tinjuan keduanya pada Rico, Arindha berhasil masuk dan berdiri di depan Rico.

Tangan Alex berhenti seketika, tangannya gemetar melihat wajah perempuan yang sudah dua kali dia temui di hari yang sama.

Arindha menatap Alex tenang. “Udah, cukup,” titah Arindha dengan nada tinggi.

Tangan Alex turun dan dia mulai berjalan meninggalkan kantin bersama kedua teman karibnya.  Arindha membubarkan kehebohan di kantin dan mengajak kedua sahabatnya ke taman samping sekolah.

Arindha menatap wajah Rico. “Mana yang sakit, Co?” tanya Arindha pelan.

Rico menunjuk pipi kanannya.

“Maafin aku, Co,” kata Hilda.

“Ngapain minta maaf? orang dia yang salah, kan?” ucap Rico sambil meringis kesakitan.

Terdengar suara langkahan kaki yang sangat cepat, tetapi mereka bertiga menghiraukannya. 

Xianzu terengah-engah, dia menatap Rico dan memberikan salep untuk Rico pada Arindha.

“Gara-gara aku, kamu sama Alex-” ujar Hilda pelan.

“Kalian gak papa, kan?” Potong Xianzu cepat.

"Udah nggak papa, kok,” kata Arindha sambil mengoles salep di pipi Rico.

Rico dan Hilda menceritakan kejadian itu pada Xianzu, Arindha hanya diam. Tangannya terus bergerak menggerakkan salep itu.

Perlahan muka Xianzu yang putih berseri berubah menjadi kemerahan dan rahangnya mengeras menahan emosi. “Dimana Alex?” tanya Xianzu emosional.

Dia tak terima orang yang selalu mengisi hari-harinya dengan indah terluka, apalagi pelakunya adalah berandalan SMA Nusantara.

“Alex, pipinya pasti sakit kayak Rico,” batin Arindha, sampai dia tersentak mendengar perkataan Xianzu yang sudah naik darah.

Hilda yang menyadari pacarnya emosi segera ia siram dengan kata-kata halusnya. “Udah, aku gak apa-apa. Alex udah dapet imbalan yang di kasih Rico,” ucapnya pelan, “Iya kan, Co?” imbuhnya meyakinkan.

“Ya itu terserah Xianzu, yang penting aku udah nolongin sahabat yang lemah tak berdaya ini,” oceh Rico dengan sedikit tertawa.

“Alex, tunggu balasan gue!” batin Xianzu murka.

“Udah, ya. Lupain aja, yuk kita ke perpus aja,” ajak Hilda dengan menggandeng Xianzu.

Melihat Hilda dan Xianzu yang pergi, Arindha berdiri. “Aku pergi dulu,” pamit Arindha singkat pada Rico.

Dia pergi meninggalkan Rico dan mulai mencari Alex, setelah mencari kesana kemari, Arindha berhasil menemukan Alex dan kedua temannya di gudang kecil belakuang sekolah.

Gumpalan asap vapor melayang memenuhi ruangan kecil itu, ruangan itu hanya berukuran 3x3 meter, disana hanya terdapat tiga tempat duduk dan satu meja yang tidak terlalu panjang.

Arindha berjalan mendekati gudang itu, mengintip Alex dari jendela kecil di pojok ruangan, nampak dia sedang duduk bersandar menikmati hisapan vapornya dan menghembuskan asap itu ke udara terus menerus. Sementara itu, Jio dan Vino bermain kartu sesekali melakukan hal yang sama dengan Alex, merokok.

Asap putih itu semakin tebal dan membuat Arindha yang berada di dekat gudang sampai sesak dan terbatuk. Suara batuk Arindha memecah perhatian Jio dan Vino yang sedang bermain kartu.

Jio dan Vino mulai berdiri menghampiri Arindha sementara itu, Alex masih asik menghisap vapornya.

“Wow! good job, Arindha. Akhirnya kamu tahu tempat tonkrongan kita,” ucap Jio sambil menatap Alex dan Vino.

Arindha yang mulai takut, hanya bisa diam mematung sambil memegangi salep dari Xianzu. Alex menaruh vapor yang ada di tangannya dan mulai berjalan ke arah Arindha.

“Mau sok jadi jagoan?” tanya Jio ketus.

Tangan Vino mendarat tepat di dada Jio yang mulai emosi. “Bro, tahan emosi lo! Inget, kita anak OSIS, jangan sampe dia ngadu ke Pak Faris apalagi Pak Karyo. Mati kita!” ucap Vino sambil menepuk pundak Jio dua kali, “Iya, kan?” lanjunya sambil menatap Arindha.

Arindha tidak menjawab ocehan Jio dan pembelaan dari Vino, dia hanya tersenyum sambil mengulurkan salep pada Alex.

Alex menatap Arindha. “Thanks,” ucap Alex singkat.

Setelah mendengar ucapan Alex, Arindha membalikkan badan dan meninggalkan ketiga laki-laki yang membantunya tadi pagi.

Jio mendekat dan membalikkan tubuh Alex dengan tangannya. “Bro, lo kesambet apa? lo suka sama dia?” tanya Jio dengan penuh emosi.

“Lo gak capek? Dari tadi marah-marah mulu,” tanya Alex balik pada Jio dengan ketus.

“Dia udah tau tempat nongkrong kita, ini rahasia, men!” kata Jio.

“Gue yakin dia gak bakal bilang ke siapapun tentang tempat ini,” jawab Alex yakin.

“Apa lo bisa jamin?” tanya Jio sambil menantang.

Hening

“Lo gak bisa jamin, bro,” cetus Jio.

“Gue jamin,” jawab Alex tegas sambil menatap kedua temannya secara bergantian.

“Bisa, kalau lo jadi pacarnya,” ucap Vino sambil memegang pundak Alex.

“Nggak! Gue gak bisa manfaatin dia demi kepentingan kita, bro. Gue bukan tipe pengecut,” ucap Alex dengan menatap Vino dan Jio.

“Jadi maksud lo gue pengecut, gitu?” sahut Jio yang mulai memanas.

“Bro, udah lah. Lupain aja,” bujuk Vino pada kedua temannya.

“Enggak bisa, kita susah payah bikin tempat ini. Terus, kalau si cebol itu bilang ke BK abis kita, bro,” jelas Jio terengah-engah.

Alex mencengkram kerah baju Jio dengan kuat. “Gue udah bilang, jangan pernah caci orang lain!” Ancam Alex sambil melotot.

“Emang kenapa? Lo marah? Dia itu beban, bro. Dari awal ketemu aja udah nyusahin orang!” ucap Jio dengan menantang.

“Jio!” teriak Alex.

“Jio, lo boleh marah sama cewek itu. Tapi gak segininya juga!” kata Vino.

“Jadi lo pilih belain Alex?” tanya Jio sambil menyipitkan matanya.

Kesabaran Alex sudah habis, dia langsung menghantam pipi Jio dengan kepalan tangannya yang mengeras, Jio yang tidak terima dengan pukulan Alex membalasnya sampai mereka saling mengeluarkan darah di ujung bibir.

“Cukup! gue gak mau liat muka elo-elo pada sebelum kalian baikan, bye!” ucap Vino yang kesal melihat dan melerai keduanya.  

Setelah pembicaraan itu, Vino pergi meninggalkan gudang itu menuju kelasnya sendirian.

Semua terekam dalam indra penglihatan Rico. Diam-diam ia mengikuti Arindha sampai mendengar dan menyaksikan perdebatan tiga laki-laki tengil menurutnya.

                                       **

Arindha berjalan cepat menuju kelasnya, dia duduk di bangku dan menunggu kedua sahabatnya datang. Arindha berulang kali membuang ingatannya saat bertemu dengan tiga berandalan SMA Nusantara yang salah satu diantaranya telah mengolok-oloknya. 

Dikejauhan, nampak Pak David mulai berjalan memasuki kelas Arindha dengan terburu-buru, semua siswa-siswi kelas Arindha duduk dengan diam dan ketakutan. Pak David sama halnya dengan Pak Karyo, guru BK. Bedanya, Pak David sedikit lebih tenang dari Pak Karyo yang suka menghukum dengan keras. Tetapi, semua tetap takut karena suaranya yang menggelegar jika emosinya sudah dipancing dengan suatu kekacauan.

“Siapa yang bernama Arindha?”

Arindha berdiri. “Saya Arindha,” jawab Arindha singkat sambil mengacungkan jarinya.

Pak David hanya diam dan mulai berjalan meninggalkan kelas dengan aura dinginnya, tapi aura itu justru dinikmati oleh sebagian siswi yang diam tak berkedip. 

Mata Arindha sampai di depan ruangan krem yang cukup besar. Pak David membuka lebar pintu di hadapannya, Arindha dengan berani ikut memasuki ruangan itu. Kedua kaki Arindha berhenti saat melihat Hilda, Rico, Xianzu, Alex dan kedua temannya. Mereka duduk dengan tatapan tegang, Arindha mulai kebingungan menatap Pak David.

“Silakan duduk.” Melirik kursi kosong dekat Hilda.

Pak David memukul meja di depannya. “Siapa yang mau menjelaskan?”

Hilda mengangkat tangan kanannya, dia menceritakan dengan detail kekacauan yang terjadi. Xianzu juga memberikan pernyataan, dia memberikan informasi yang diberitakan semua siswa-siswi kepadanya. Rico dan Alex terdiam dan saling menatap.

Jio tiba-tiba berdiri dengan lantang, “Arindha yang menyebabkan pertengkaran saya dan Alex terjadi.” ucap Jio dengan keras sambil menatap tajam mata polos Arindha.

Arindha berdiri. “Aku? apa yang aku lakuin?” tanya Arindha pasrah.

“Gak usah sok suci, lo!” bentak Jio dengan menunjuk muka Arindha.

Alex menarik kerah Jio. “Sekali lagi lo ngomong, gue hajar lo!” Ancam Alex.

“Sudah, cukup!” bentak Pak Faris.

Akhir dari permasalahan ini adalah hukuman, Rico, Jio, Alex dan Arindha mendapat hukuman hormat kepada bendera merah putih di lapangan dengan panasnya matahari. Terkhusus karena Alex sering membuat kehebohan, ia ditambahi hukuman skors satu minggu, dimulai setelah hukuman hari ini berakhir.                                     

                                              **

Arindha, Hilda dan yang lainnya menatap kearah yang sama, bendera. Keringat mereka jatuh dengan leluasa menyusuri dahir dan leher yang sesekali mengkilat karena cahaya matahari. Arindha menyipitkan kedua matanya menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan kedua guru BK SMA Nusantara sudah tak mengawasi pergerakannya.

"Fokus!" Itu Jio.

Arindha hanya menatapnya sinis lalu kembali keposisi awal. Bedanya, kali ini dia hormat dengan menutup kedua panca inderanya. Jio dengan empuknya mengatakan kata itu, dia tidak tahu bahwa Arindha sudah berusaha menahan rasa pusing yang sejak sepuluh menit lalu menguasai kepalanya.

"Maafkan aku wahai bendera negeri, akan ku ganti kelakuanku ini dengan cara yang jauh lebih baik. Tapi izinkan aku menatapmu dalam gelap sekali ini, dan membayangkanmu ada dalam pikiranku." 

Rico yang mengerti maksud Jio dan peka dengan kondisi sahabatnya segera mengambil tindakan yang menurutnya menjadi penengah keduanya.

Kaki Rico berjalan tiga langkah mendekat pada Arindha, dia memanfaatkan tubuh atletisnya untuk sekedar melindungi wajah sahabat perempuannya yang sudah tampak kelelahan.

Wajah Arindha merasakan hawa sejuk menghampirinya, tak lagi panas dan tidak lahi menyilaukan. Saat itu juga Arindha membuka kedua matanya, sampai dia menemukan iris cokelat yang selalu ada didekatnya, hingga saat ini.

Mata ayam Rico menangkap wajah pucat disebelahnya. "Gapapa, kita lakuin bareng-bareng."

Arindha tersenyum pun dengan Rico.

Rasa sakit di kepala sudah dihiraukan dan mulai memudar setelah Rico melindunginya sari sengatan mentari.

Matahari mulai turun dengan perlahan di arah barat, Arindha berjalan ke arah jalan raya yang mulai lalu lalang. Beberapa meter di depannya, ada Jio yang sedang menunggu bus di halte depan sekolahnya.

15.30 PM

"Hukuman kalian selesai. Setelah ini, ikut saya ke BK untuk pendataan."

Mereka semua bernapas lega dan mengikuti arah Pak David yang mulai main pergi begitu saja.

Di barisan paling belakang, Alex, Jio dan Vino jalam bersamaan. Tiba-tiba, tangan panjang Alex terlentang menahan dada Jio, seolah memberk kode berhenti saat itu juga.

"Come on, udah lah." Itu Vino, dia mencoba menjadi penetral anatara keduanya.

"Lo duluan."

Tanpa jawaban dan persetujuan Jio, Vino pergi meninggalkan keduanya. Mungkin dia terlalu capai menanggapi kedua temannya itu, dia juga harus membagi waktu untuk tanggung jawabnya sebagai anggota OSIS.

"Minta maaf."

"Gak salah lo bilang gini?"

"Lo udah kuranh ajar sama cewek, sadsd bro!"

"senakal-nakalnya kita, jangan kurang ajar sama cewek."

Jio menghela napas dan menghindari kontak mata dengan Alex.

"Okay, fine. Gue salah, tapi enggak sepenuhnya."

"Terserah, gue mau lo gak ada masalah lagi sama tu cewek."

Setelah percakapan itu, keduanya menyusul semua temannya ke ruang BK.

"Dua menit lagi jam pulang, silakan kalian berkemas-kemas seoerti siswa siswi lainnya."

                                     ***

Arindha berlari mendekati Jio dengan napasnya yang masih saja memburu. “Jio, aku minta maaf. Aku gak tahu kehadiran aku di tempat kamu, Vino dan Alex buat kalian semua berantem. Jangan musuhi aku, aku minta maaf,” ucap Arindha pasrah.

“Gue juga minta maaf, gue takut lo bilang ke Pak Faris tentang gudang itu,” jawab Jio.

“Enggak, aku gak bakalan bilang ke siapapun, aku juga nemu gudang itu juga gak sengaja,” Jelas Arindha.

Jio hanya mengangguk dan mulai mengulurkan jabatan tangan, walaupun di hati kecil Jio masih terasa ada yang mengganjal.

Suara motor yang di blombong mengusik telinga Arindha, dia berbalik dan mendapati asal suara itu. Alex, lagi-lagi dia. Arindha mulai kesal dengan laki-laki itu, walaupun dia telah menolong Arindha tadi pagi. Makhluk seperti dia harus dijauhi, Arindha dengan jelas melihat kalau Alex dengan sengaja menjegal kaki Hilda sampai jatuh tersungkur dan tidak merasa bersalah.

Suara kasar motor Alex telah menjauh, sekarang digantikan suara bel yang nyaring bunyinya. Arindha menghela nafas, membalikkan badannya ke arah yang sudah dia tebak.

Setelah melihat Arindha berlari ke arah yang berlawanan, Alex menepikan motornya ke arah menemui Jio, dia menaikkan kaca helmnya dan sekarang mereka saling beradu tatap.

"Gue janji, gue bakal tanggung jawab."

"Dengan cara apapun."

Alex memalingkan pandangannya ke arah depan, jalan raya yang sekain berlalu lalang. Tak lama setelah itu, dia menurunkan kaca helm nya dan melaju begitu saja meninggalkan Jio yang masih menunggu jemputan sopirnya.

Jio mendengus kasar melihat temannya yang semakin lama semakin tak terlihat.

                                       ***

Arindha menaiki sepeda butut warna merah tua itu, tangannya bertumpu di pundak Rico. Sesekali, Arindha menutup mata dan merentangkan kedua tangannya. Mata Rico kedip berkali kali, dia berusaha mengeluarkan debu yang memasuki bola matanya. Tetapi, karena tidak seimbang, mereka jatuh sampai di semak semak.

Bibir Arindha manyun. “Rico!” bentak Arindha.

Rico mulai berdiri dan membantu Arindha berdiri. “Maaf, tadi kelilipen,” ucap Rico singkat.

“Untung aku gak papa,” kata Arindha sambil membersihkan sikunya yang kotor.

Rico sibuk mengusap matanya yang berair. Seketika itu, Arindha jinjit mendekati muka Rico, dia meniup mata Rico dengan hati-hati. Rico hanya terdiam melihat Arindha yang dekat dengan wajahnya. Rico tersipu, pipinya memerah seperti tomat matang. Saat itu, Rico menyadari bahwa dia memiliki rasa untuk Arindha, bukan sahabat, melainkan cinta. Rico tetap berdiri tegak menatap wajah Arindha, tak bisa berkata apapun kecuali memberikan simpulan senyum pertanda rasa terima kasihnya.

Rico kembali melajukan sepedanya, kini dengan kehati-hatian. Saat sampai di depan rumah Arindha, Rico mengingatkannya agar tidak lupa tentang perkataannya di kantin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status