Share

ENAM

Gadis kecil berambut cokelat tengah berdiri menatap wajahnya di depan cermin lonjong yang tingginya hampir sama. Beberapa kali dia melirik jam dinding yang tak jauh dari kaca itu.

Nggrekk

Wanita paruh baya itu menghampiri anaknya, tangannya merangkul lembut tepat di bahu kecil putri kesayangannya.

“Cantik.” ucap Rita dengan senyuman lebar sambil mengamati anaknya yang sudah bertumbuh jauh lebih besar.

Cup

Arindha tersenyum. “Makasih, ma. Kan cantiknya nular dari mama iya, kan?” kata Arindha.

Mata Rita beberapa detik beralih, senyumnya mulai memudar perlahan dan menatap anaknya kembali.

Rita hanya mengangguk, seolah meng-iyakan pertanyaan putrinya. Rita mengelus rambut Arindha dengan tangannya yang sudah mulai keriput.

“Tunggu di depan, yuk. Kasian papa nunggu pintu depan sendiri,” titah Rita.

Arindha mengambil tas kecilnya dan mengikuti Rita dari belakang. Peraturan di keluarga sejati adalah anak yang lebih muda harus menghormati orang tua, baik ucapan, tindakan dan perilaku. 

Semanja-manjanya Arindha, Jati dan Rita keras dan disiplin dalam hal ini, terutama pada buah hati mereka.

**

Mobil sedan bewarna merah menyala dengan lampu putih berhenti didepan gerbang rumah kediaman keluarga kecil Jati. Mendengar desiran mobil, Jati berdiri dari tempat duduknya dan menghampiri Rico.

Suara langkahan yang tadinya hanya seirama, sekarang mulai berirama dan mulai terdengar jelas.

Batang hidung laki-laki itu akhirnya muncul di hadapan Arindha, matanya tidak bisa fokus setelah melihat keindhan yang tersembunyi dibalik wajah cengeng sahabatnya.

Jati yang sudah beberapa kali meneguk kopi mulai menaruhnya di meja kotak yang berada di tengah mereka.

Jati melirik Rico. “Kenapa? cantik anak saya?” tanya Jati dengan suara menggelegar seperti biasa. 

Mata Rico melihat ke asal suara itu dengan gugup. “I-iya, om,” jawab Rico dengan terbata-bata.

Jati hanya mengangguk dan tersenyum simpul melihat tingkah anak bujang yang mulai dimabuk asmara. Jati sangat mengerti apa yang dirasakan Rico, dia memiliki pengalaman bukan hanya di bidang angkatan militer saja, dia bisa mengerti dan peka tentang cinta. Walaupun memilliki wajah yang menyeramkan dan memiliki suara yang menggelegar layaknya halilintar, Jati tetaplah Jati. Seorang; Ayah, suami dan teman untuk istri dan anaknya.

Arindha mulai berdiri dari tempatnya, dan berpamitan pada Rita dan Jati.

“Arin pergi dulu ya, ma, pa,” ucap Arindha.

Jati mengelus ramput Arindha. “Iya, putri ayah yang cantik,” jawab Jati sambil mencubit pipi chubby Arindha, “Rico, antar pulang anak saya tepat waktu,” sambung Jati.

“Siap laksanakan,” jawab Rico tegas.

Arindha dan Rita hanya tersenyum melihat tingkah ayah dan Rico setiap bertemu. Bukan layaknya tamu atau saudara, mereka selalu berbicara formal, layaknya Prajurit dan Mayor Jenderal.

**

Mobil Rico mulai melaju meninggalkan Rita dan Jati yang masih berdiri di depan gerbang, terlihat dari kejauhan ada mobil jeep putih dengan warna plat merah menyala yang berhenti tak jauh dari orang tua Arindha.

Arindha menyipitkan mata melihat dari spion kanan mobil Rico, dia terus mengamati dua orang lelaki tinggi yang mulai turun dan berjalan mendekati Rita dan Jati. Kedua orang itu nampak asing di mata Arindha, tapi Rita dan Jati malah terlihat akrab.

Rico yang menyadari bahwa gadis di sampingnya hanya diam dan menatap ke luar jendela mulai membuka pembicaraan.

“Serius amat, liat apa?” tanya Rico.

“Demet,” jawab Arindha.

“Wuih … iso boso jawa to rek?” tanya Rico dengan aksen jawanya.

Arindha tersenyum setengah, dan mulai mengotak atik tombol di sekitar radio mobil Rico dengan tangan usilnya.

“Eh, hiks.. jangan pencet itu, nanti-"

Bbeesttt

Kabin atas di mobil Rico yang terbuka lebar memotong kalimatnya, angin yang dingin mulai menerbangkan rambut Arindha yang tergerai.

“Rico, cepet kembaliin ke semula,” titah Arindha yang menahan besarnya angin yang menyelimuti tubuhnya.

Rico mulai menekan tombol canggih di mobilnya, kabin atas itu mulai tertutup rapat dan rambut coklat itu mulai turun perlahan.

“Makanya jangan asal pencet aja,” ucap Rico sambil melirik Arindha yang sedang merapikan rambutnya.

Hening

Rico asik mengemudikan mobilnya, Arindha hanya diam mengamati beberapa notifikasi di ponselnya yang menyala. 

“Pernah ke café Loumerous?” tanya Rico memecah suasana.

“Belum, tapi sering lewat,” jawab Arindha sambil melihat handphone nya.

“Kamu harus coba masakannya, enak bener. Ditambah lagi nih, nuansa café nya bikin nyaman kayak, kamu,” Goda Rico pada Arindha.

“Apaan sih Co, mulai gombalnya,” ucap Arindha sambil melirik tajam ke arah Rico.

“Hahaha.. tapi beneran,” jawab Rico.

Arindha hanya tersenyum dan tidak menanggapi ucapan Rico, dia belum tahu bahwa Rico mulai mengagumi sahabatnya sendiri.

**

Mobil Rico berhenti tepat di pintu masuk café itu, dia keluar dari mobil dan mulai menggandeng tangan Arindha yang sejak tadi memegang tas. Rico melempar kunci mobilnya dengan asal tapi tepat sasaran.

“Thanks, bro,” ucap Rico pada laki-laki yang menangkap kunci mobilnya.

“Hiks … Rico, gak bolek gitu. Kasian-“ ucap Arindha.

“Santai aja, Rin. Dia temenku, tugasnya dia cuman markirin mobil keluarga aku aja,” Potong Rico sambil menggandeng Arindha masuk ke dalam café.

“Tapi, Co. Tetep aja kamu salah, kamu-“ ucap Arindha.

“Selamat malam, tuan muda. Meja anda ada di sebelah sana, mari saya antar,” Potong pramuniaga itu sambil menunjuk ke ruangan yang dipesan Rico.

“Tu-tuan? bahahaha, lucu banget sih,” celetuk Arindha sambil menahan tawa.

“Ye, kalau iri bilang. Gak usah malu-malu,” jawab Rico dengan godaan.

Arindha hanya menanggapi Rico dengan candaan, baik itu perkataan ataupun yang orang lain katakana kepadanya. Rico anak konglomerat yang kaya raya, tetapi dia tidak pernah memeperlihatkan kekayaannya, bahkan pada sahabat-sahabatnya. Hal kecil ini dia tunjukkan pada Arindha karena dia ingin gadis kecil yang cengeng itu mulai tahu siapa Rico seutuhnya. Tapi, Arindha menganggap semua yang dilakukan Rico hanya biasa dan tingkah usilnya saja. 

Pramuniaga itu membuka pintu kayu dengan perlahan, ruangan itu sangat terang. Ruangan itu dihiasi puluhan lampu bolan dan beberapa lampu gantung besar yang bewarna kuning keemasan. Terlihat sepasang kursi antik dan meja yang sudah dipenuhi beberapa hidangan malam. Rico mulai memegang tangan Arindha yang masih melongo melihat seisi ruangan itu.

“Co, bagus banget,” bisik Arindha pada Rico.

Rico hanya tersenyum sembari menaruh serbet yang diulungkan pramuniaga itu.

“Makasih, mba,” ucap Arindha ramah.

“Dengan senang hati melayani anda,” jawab pramuniaga itu.

pintu kayu itu mulai tertutup rapat, memberikan ruang untuk Rico dan Arindha berbicara tanpa gugup.

Rico mulai mengiris steak dihadapannya

“Co, kamu bayar berapa temenmu itu?” tanya Arindha yang mulai meminum jus kesukaanya.

“Yang parkirin mobilku? atau ya-“ ucap Rico.

“Dua duanya,” Potong Arindha yang sudah tahu Rico akan bertanya tentang pramuniaga itu. 

“Mahal,” jawab Rico dengan tawa.

Rico berusaha memperlihatkan jati dirinya yang menyandang gelar tuan muda dari keluarga Pratama, tetapi usahanya justru dianggap lelucon oleh gadis polos ini.

Tangan Rico terbentang lurus tepat di depan mulut Arindha dengan garpu dan potongan daging. Arindha mulai membuka mulutnya dan melahap suapan Rico.

“Oiya, Co. Kamu bilang tadi-“ ucap Arindha.

“Ditelen dulu, napa?” titah Rico tegas.

Arindha dengan cepat menelan daging itu sebelum melupakan pertanyaannya yang akan diajukan pada Rico.

“Itu tadi beneran mobil kamu?” tanya Aridha.

“Terserah mau anggep itu mobil aku atau mobil sewaan, Rin,” kata Rico pasrah.

“Lah, sewot,” ucap Arindha.

“Iya, itu mobil aku. Warisan dari kakek,” jawab Rico.

“Owh, boleh kan kalau anter jemput pake mobil itu?” ucap Arindha yang mulai menggoda sahabatnya yang sedang melahap daging dimulutnya.

Rico menggeleng cepat, seolah memberi tanda ketidaksetujuannya.

“Dasar pelit,” cetus Arindha manyun.

“Naik sepeda aja, lebih sehat,” ucap Rico.

“Lah iya sehat, tapi kamu. Aku yang cuman berdiri kek patung menahan panas matahari yang menggosongkan, yang me-“

“Sstt, udah. Makan,” Potong Rico sambil melirik hidangan makan malam Arindha yang masih penuh.

Hening

Arindha menyantap makanannya, sesekali mendengarkan lagu yang dinyanyikan band café itu.

Sikap garing Rico membuat Arindha selalu jengkel bahkan mustahil bisa memiliki rasa yang lebih dari kata sahabat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status