Share

TUJUH

Setelah makan malam, mereka segera pulang tepat waktu. Rico mengalah untuk menganbil mobilnya karena ucapan Arindha saat pertama masuk café.

Kaki Arindha  mulai kaku berdiri diatas high hill nya yang cukup tinggi, dia mulai berjalan mendekati jalan depan café itu yang mulai sepi untuk mengalihkan perhatiannya pada kakinya yang sakit dan sudah menunggu Rico terlalu lama.

Mobil Rico berhenti persis di depan pintu utama café itu, mata Rico bergerak kesana kemari mencari sahabatnya. Dia mencoba menelpon tetapi ponsel Arindha justru bergetar di samping tempat duduknya.

“Ngilang kemana kamu, Rin,” keluh Rico yang mulai kesal sambil menggeletakkan ponselnya asal.

Rico mulai turun dan mencari Arindha di sekeliling cafe, setelah beberapa saat dia bertemu dengan satpam yang bertugas di depan gerbang.

“Pak, liat orang ini?” tanya Rico sambil menunjukkan foto Arindha pada satpam itu.

“Iya, tuan. Dia ada di sana,” jawab satpam sambil menunjuk ke arah Arindha.

Rico menarik nafas lega. “Makasih, pak,” ucap Rico sambil berjalan tergesa-gesa meninggalkan satpam itu.

Kaki Rico mulai melambat, berjalan santai penuh wibawa sambil menatap sahabatnya yang sedang bermain bayangan di bawah cahaya lampu kekuningan.

**

Karena parkiran mulai lengang, banyak yang melajukan mobil dan motor dengan kecepatan tinggi. Mata Rico dengan awas melihat Arindha yang sedang berdiri dengan tingkah kekanak-kanakannya. Nampak dari kejauhan ada mobil sedan putih melaju dengan kecepatan tinggi menuju arah Arindha.

“Arindhaa!!” Teriak Rico sambil berlari ke arah Arindha yang tidak mendengar panggilannya itu.

Lelaki bertubuh atletis itu berlari secepat mungkin. Rambut yang semula disisir rapi, kini berantakan seketika. Dan jantung yang sudah mulai bedetak pelan, kini berdetak dengan cepat.

“Tuhan, jangan ambil dia. Ada hal yang belum aku sampaikan. Beri aku kesempatan,” batin Rico sambil berlari.

Tangan Rico terlentang, jari jemarinya mekar seperti mawar merah yang sedang berbunga, tangan besar itu berhasil menarik tangan mungil Arindha, Rico menarik tangan Arindha dan memeluknya hingga jatuh bersamaan. Rasa nyeri di tangan membuat Arindha sadar dan segera bangun menolong Rico yang sedang pingsan.

Beberapa pekerja mulai mengerumuni Rico dan Arindha dan menolong mereka dengan kotak P3K. Arindha beberapa kali memanggil nama Rico, tetapi tak ada tanggapan ataupun gerakan sedikitpun. Melihat darah yang cukup banyak keluar dari tangan Rico membuat para pekerja membawa Rico ke ruang medis café itu.

Arindha meringis menahan rasa sakit di lengannya dan sesekali melihat Rico yang sedang dibalut kasa oleh pegawai café itu. 

Rico mulai mengerjapkan matanya untuk menyadarkan diri bahwa dia sudah terjatuh dengan cukup keras. Mata Rico mulai jelas melihat wajah gadis yang bertahun-tahun bersamanya, gadis yang ingin dimilikinya lebih dari sahabat.

Tangan Rico meraih pipi Arindha yang basah.

“Rin … ,” sapa Rico yang mencoba membuat senyuman di pipinya.

“Co … ,” sapa Arindha sambil memapah Rico duduk.

Seketika Rico langsung menarik bahu Arindha dan memeluknya dengan erat.

“Makasih, Co. Kalau gak ada kamu aku ... ,” kata Arindha dengan meneteskan air di pipinya.

“Sstt, udah,” ucap Rico sambil menepuk pundak Arindha.

“Makasih, Co,” ucap Arindha sambil melingkarkan kedua tangannya di badan Rico.

Pelukan hangat ini sangat dinantikan Rico setelah mengungkapkan perasaanya pada Arindha, tetapi Tuhan berkata lain. Dengan kejadian ini, permintaan Rico dikabulkan. Bahkan sebelum menyatakan perasaanya pada Arindha. 

Suara sepatu fantofel memecah suasana, terlihat seorang pria paruh baya mengenakan seragam serba hitam dengan papan nama kecil yang menunjukkan namanya di sebelah kanan bajunya.

“Antar dia,” titah Rico pada pria itu.

“T-tapi kamu?” tanya Arindha khawatir.

“Nanti pulang bareng ayah. Pak Bayu sopir keluarga, kamu tenang aja,” jawab Rico singkat.

Arindha mengangguk pasrah.

**

Arindha mulai berjalan meninggalkan Rico di ruangan itu, kedua kakinya terus mengikuti arah pria yang ada di depannya sampai berhenti persis di depan mobil antik berwarna putih tulang.

“Silakan,” ucap Bayu sambil membuka pintu belakang untuk Arindha.

“Enggak, pak. Saya duduk di depan,” jawab Arindha sambil berjalan mendekati pintu depan mobil antik itu.

Hening

Bayu hanya tersenyum mendengar jawaban dari gadis polos seperti Arindha. Mobil itu melaju konstan, diiringi musik era 80an seperti mobil putih itu.

“Saya Arindha, pak. Sahabatnya Rico,” sapa Arindha ramah.

“Saya tahu, non,” jawab Bayu singkat.

“Tapi saya kok gak pernah liat bapak, ya?” tanya Arindha heran.

“Iya, non. Saya sibuk antar jemput keluarga tuan muda,” jawab Bayu.

“Kenapa mereka yang di café itu bilang tuan muda? bapak juga?” tanya Arindha penasaran.

“Rico belum cerita?” tanya Bayu.

Arindha menggeleng

“Kalau begitu, berarti Rico sendiri yang akan menjawab semua pertanyaan kamu, nak,” ucap Bayu sambil mengelus rambut Arindha.

Bayu mengantar Arindha sampai depan pintu gerbang rumah keluarga Sejati, dia segera berpamitan pada Arindha karena melihat ada tamu di rumahnya.

“Kok buru-buru, pak? Ngeteh dulu biar anget,” ajak Arindha ramah.

“Nggak, non. Saya harus balik ke café lagi,” jawab Bayu singkat.

Arindha hanya mengangguk dan meng-iyakan semua kata Pak Bayu. Arindha juga heran, bagaimana bisa dia tidak mengenal sopir keluarga Rico. Pikiran Arindha pecah saat tiba-tiba ada tangan yang memegang pundak kananya.

“Aaaaa!” teriak Arindha nyaring.

 “Eh, sttt ini aku,” ucap Hilda pelan sambil tertawa.

“Parkir mana nih?” tanya Xianzu.

Arindha menunjuk halaman samping yang masih kosong. “Disitu,” jawab Arindha.

“Nih, aku bawain jagung bakar sama roti bakar kesukaan kamu,” ucap Hilda sambil menyodorkan sekantong plastik.

“Makasih, Hil. Eh, kalian langsung ke rooftof  aja nanti aku nyusul, ada tamu soalnya,” ucap Arindha.

Arindha mulai melangkah meninggalkan Hilda dan Xianzu yang juga sedang berjalan menaiki anak tangga menuju rooftof.

Ding dung..

Arindha mulai membuka pintu, nampak ada pria seumuran dengan ayahnya sedang duduk memegangi map merah di ruang tamu.

Jati menatap Arindha yang berdiri di depan pintu sendirian, “Rico mana?” tanya Jati sambil menaruh kacamata rabunnya.

“Rico … ,” ucap Arindha ragu.

Rita menghampiri Arindha yang masih mematung. Rita pandai memahami situasi hanya dengan melihat mimik muka anak satu-satunya itu, “Ehm.. sudah pa,” kata Rita pelan, “Nak, ini pak Eka,” lanjutnya ramah.

Arindha mulai mendekat dan bersalaman pada Jati dan tamu itu. Sudah hampir tiga jam tamu itu masih bernaung dirumah Jati, memakan dan meminum hidangan seperti rumah sendiri. Kadang, Jati dan tamu itu bersenda gurau disela-sela aktivitas membaca mereka.

Arindha mengangguk pada Eka, “Saya Arindha, om.” sapa Arindha dengan senyuman.

“Saya Eka, teman bisnis ayah kamu. Kamu kelas berapa? anak saya sepertinya seumuran dengan kamu, nak,” ucap Eka perhatian sambil menaruh map merah yang sudah dipegang lama.

“Saya kelas 12, om,” jawab Arindha singkat.

Ponsel Arindha bergetar, sebuah pesan singkat terlihat di layar ponselnya. Arindha melirik pesan itu dan segera pamit masuk ke dalam.

“Ma, pa, Hilda sama Xianzu dateng. Mereka udah nunggu Arin di rooftof,”

“Malem-malem gini, nak?” tanya Jati.

“Kasian pa, Arin dibawain ini,” ucap Arindha sambil menagngkat kantong plastik yang berisi penuh makanan.

“Sini, biar mama tata di piring. Kamu ganti baju dulu,” titah Rita sambil mengambil kantong plastik itu.

Jati hanya mengangguk dengan senyuman paksa di wajahnya, dia tidak terlalu suka pada setiap teman Arindha yang datang larut malam. Tetapi, karena mereka sudah membawa buah tangan dan sudah menunggu di rooftof, Jati tidak tega untuk mengusirnya.

Arindha mulai berjalan melewati beberapa ruangan di rumahnya, sampai kakinya berhenti di depan pintu berwarna putih. Arindha mulai membuka pintu dan menjatuhkan tubuhnya di kasurnya yang super empuk.

“Papa ternyata punya bisnis, dan aku gak tahu. Rico punya sopir keluarga, dan aku gak tahu. Dia juga dipanggil tuan muda sama semua pegawai café itu,” guman Arindha.

Suara langkahan sandal kayu memecah pikiran Arindha, dia duduk dan melihat Rita memasuki kamarnya.

“Kok belum ganti baju, nak? kasihan temennya udah nungguin kamu dari tadi,” ucap Rita pelan.

“I-iya ma,” jawab Arindha gugup sambil berjalan mengambil baju di lemarinya yang besar dan berganti baju di kamar kecilnya.

Rita tersenyum melihat tingkah anak gadisnya, Rita yang melihat high hill Arindha tergeletak sembarangan di lantai segera diambilnya dan dibawa ke laundry untuk dibersihkan.

Arindha melangkah keluar dari kamar kecilnya dan mencari keberadaan ibunya yang beberapa menit yang lalu masih berdiri di depannya.

“Baru berapa menit, ma,” batin Arindha.

**

Arindha berjalan menuju rooftof rumahnya, dan melihat Xianzu yang sudah tertidur kelelahan.

“Dari mana sih kalian?” tanya Arindha sambil duduk di sebelah Hilda yang sedang memakan jagung.

“Biasa. Jalan-jalan ke mall, beli makanan ini terus kesini,” jawab Hilda.

“Pules banget tidurnya,” ucap Arindha yang melihat Xianzu yang mulai mendengkur.

“Kamu sendiri dari mana? biasanya di rumah terus,” tanya Hilda balik.

“Janji yang harus ditepati sama Rico,” jawab Arindha singkat.

“Oh, tentang lomba itu, kan?” tanya Hilda.

Arindha hanya mengangguk.

Hilda menghela nafas panjang dan mendongak ke langit yang gelap. “Sepi,” ucapnya lirih.

Hening

Arindha hanya diam tak menjawab sepatah katapun dari Hilda.

“Eh, Rin. Nyadar gak, berkat lomba sekolah kita mulai deket sama dua temennya si Alex,” kata Hilda.

“Iya, sih. Mereka ternyata open juga ya sama orang, ya walaupun di awal keliatan ketus,” ucap Arindha.

“Mereka itu sebenernya gak ketus, gak se-menakutkan dan se-preman Alex sialan itu. Mereka bertingkah gitu pas di deketnya Alex aja, dilain itu enggak,” ucap Hilda detail.

“Pantesan!” sahut Arindha dengan nada tinggi.

“Apa?” tanya Hilda penasaran.

“Waktu Rico berantem sama Alex, pipinya luka terus Xianzu kasih salep ke aku, kan?” ucap Arindha dengan meyakinkan Hilda

Hilda mengangguk berkali-kali.

“Aku pikir Alex juga luka kayak Rico, terus aku samperin deh si Alexnya. Niatnya sih mau ngasih salep biar luka nya cepet sembuh, eh si Jio malah ngatain aku ‘Sok jagoan’ ketus lagi,” kata Arindha sebal.

“Siapa suruh kesana,”

Arindha menatap tajam ke arah Hilda. “Niat aku baik, kok. Alex udah nolongin aku waktu dikejar sama pak Karyo, nah apa salahnya aku bales kebaikan Alex?” kata Arindha.

“Alex? bantuin kamu?” tanya Hilda sambil tertawa.

“Ihh beneran!” jawab Arindha dengan nada tinggi.

“Iya iya, maaf, Rin. Baru kali ini aku denger hal baik dari Alex,” ucap Hilda sambil menepuk pundak Arindha.

“Hil, gak semua berandalan itu sama. Luar sama dalem kadang beda, Hil. Tapi semua kembali ke cara pandang kita sama orang lain,” kata Arindha bijak.

“Ngomongin apa, sih?” tanya Xianzu yang mulai terbangun.

“Ngomongin kamu, abisnya ngorok keras banget, udah kayak bajaj aja,” ucap Arindha sambil tertawa.

“Ini tandanya badan gue lagi capek,”

“Aduh, kacian pacal atu,” kata Hilda dengan cedal untuk mengejek Arindha.

Xianzu yang tahu alasan Hilda segera menyandarkan kepalanya di pundak Hilda. Arindha yang kesal melempari Xianzu dan Hilda dengan cushion yang ada di sekelilingnya.

“Basi!!” teriak Arindha.

“Eh, iya-iya maaf canda, Rin.” kata Xianzu.

“Tapi ini buat aku jadi mikir lho, Rin. Kenapa kamu gak cari pacar aja? Kan bisa dianter kemana aja, bisa disayang-sayang, bisa di-”

“Udah deh,” Potong Arindha sambil menggigit sisa jagung bakarnya.

10.00 PM

“Eh, pulang sana. Nanti aku kena marah papa, dah jam segini,” titah Arindha sambil menunjukkan jam di tangannya.

“Eh, gak kerasa lho ini. Ayo cepet beresin,” kata Hilda dengan wajah panik sambil membersihkan meja yang didepannya sudah di dekati banyak semut.

Xianzu menyapu sisa makanan yang berjatuhan di lantai sementara itu, Arindha menata chosion yang dilempar ke sembarang tempat.

Setelah Hilda dan Xianzu pulang, Arindha membersihkan diri dan menidurkan tubuhnya yang sudah tak berdaya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status