Share

Mari kembali ke Masa Lalu
Mari kembali ke Masa Lalu
Penulis: Nola Amalia

Prolog

10.00 PM

Kamar putih yang tak begitu luas masih disinari cahaya lampu yang memancar. Wajah pucat, keringat dingin dan mata kantuk, selalu dirasakan Arindha setiap malam. Sunyi, entah kenapa hal yang dijauhi banyak orang malah menjadi teman setia Arindha, menjadi penenangnya sampai dia bisa tidur lelap. Dulu, Arindha juga menjauhi kata itu, sunyi. Rasa traumanya, rasa takutnya akan mimpi yang sama membuatnya hampir gila, sampai dia menemukan ide yang menurutnya ampuh, obat tidur. Dosis obat yang dikonsumsi Arindha semakin lama semakin meningkat, lambung dan hatinya hampir terkena dampak dari obat itu sebulan terakhir. Kondisinya tidak bisa dikatakan baik, tapi berteman dengan sunyi bisa sedikit membantu tubuhnya untuk beradaptasi tanpa obat-obatan lagi dan lagi.

Bushh..

Arindha merebahkan tubuhnya di lantai yang beralaskan karpet yang cukup tebal, dia menggerakkan kepalanya kekanan dan kiri, matanya yang sejak tadi melihat ke satu arah, kini mulai bergerak mengamati pintu yang hanya beberapa meter di dekatnya.

Pyarrr

Bulu kuduk Arindha tiba-tiba berdiri dan suasana berubah mencekam. Kamar Arindha yang terang benderang pun tak bisa menghentikan rasa takut yang datang tanpa permisi masuk di pikiran Arindha. Trauma dan mimpi seram yang datang setiap malam membuat gadia ini takut dengan semua hal, gadis ini selalu takut dengan apa yang ada dalam pikiran dan bayangannya.

Klingg...

Napas Arindha mulai tak beraturan, dia sudah mencoba menenangkan pikirannya, tapi tidak. Suara itu mencul yang kedua kalinya. "Suara apa sih? Nakutin aja," monolog Arindha dengan menyipitkan kedua matanya

Meskipun Arindha penakut, tapi rasa penasarannya berhasil membujuk kedua kakinya untuk beranjak dari tempatnya. Dia mulai berjalan dan membuka pintu kamarnya yang terkunci dengan perlahan.

Ceklek!

Kunci yang terpasang masih berkerja dengan semestinya. Arindha menyipitkan kedua penglihatannya, berusaha sebisa mungkin melihat apa yang sebenarnya terjadi dengan bola matanya yang sudah panas dan lelah.

Wanita paruh baya sedang membungkuk memunguti beberapa pecahan beling yang tersebar di lantai.

"M-mama, ng-ngapin?" tanyanya gugup.

Wanita paruh baya yang selalu mengenakan sweater menoleh dengan mula datar. "Belum tidur?" tebak wanita yang bernama Rita.

"I-iya, ma. Arin belum bisa tidur, mama tahu sendiri, kan. Arin kalau tidur jam dua pagi," ujar Arindha yang mencoba menjelaskan.

Rita mulai mendekati putrinya yang masih berdiri dibalik pintu dan memeluknya sayang. "Ada mama. Mama akan buat putri kecil mama tidur sebelum tengah malam," kata Rita sambil mencubit hidung Arindha.

"Ma, mama harus disini sama Arin terus, ya. Mama gak boleh pergi," titah Arindha sambil memeluk Rita dengan erat. 

Rita mengelus rambut anaknya yang berantakan, dia sangat menyayangi anaknya walau kadang dia tak selalu ada ketika Arindha membutuhkan bantuannya. Namun, Rita yakin, Arindha adalah anak yang kuat melebihi dirinya.

"Mama gak kemana-mana, Mama akan selalu ada di hati putri kecil mama," kata Rita dengan mencium kening Arindha. "Arin, ayo tidur. Jangan sampai besok kesiangan," titahnya sambil menggandeng Arindha menuju ranjang yang rapi tak tersentuh.

Mereka membaringkan tubuh dengan posisi saling memeluk. Tak sampai lima menit, ucapan Rita terjadi, kini anak satu-satunya sudah tidur dengan pulas.

Keduanya memiliki harapan yang sama pada Tuhan. Selalu bersama, tak ada kata pisah yang membuat duka dalam keluarga. Tapi, tak ada tawar-menawar tentang batas waktu setiap orang. Semua sudah digariskan dan ditetapkan oleh sang Kuasa, hanya perlu menunggu sampai waktu yang memberi kabar.

07.30 AM.

Cahaya matahari yang meninggi menerobos celah jendela kamar putih yang pemiliknya masih tertidur pulas, sepertinya Tuhan memerintahkan matahari untuk membangunkan anak ini. Arindha mulai terusik, merasakan ada sesuatu yang hangat menyinari wajah putihnya, ia mulai menggeliat dan meraba disekitar ranjangnya.

Alisnya berkerut seolah tak percaya apa yang dirasakan tangannya. "Ma."

Mata Arindha terbelalak, seolah yakin apa yang ada di dalam pikirannya. "Mama?

Dengan sisa tenaganya Arindha berjalan keluar dari kamarnya, dia mencari seseorang yang tiba-tiba saja menghilang sebelum mengucapkan kata pamit kepadanya.

"Surat Papa!"

Seolah sudah menduga hal ini akan terulang kembali, dia berlari dengan kaki mungilnya ke ruangan yang sangat hangat untuknya namun terasa asing saat ini, ruang makan.

Arindha mengambil surat yang diatasnya sudah terdapat roti dengan selai kesukaannya, ia buka perlahan suart itu dengan wajah sendu, lipatan kertas itu sudah terjuntai paniang di kedua tangannya. Tak dibaca, dia hanya melihatnya, itu pun tak sampai lima detik seolah hapal dengan apa yang akan disampaikan Jati, ayahnya.

Arindha menarik napas dalam dan melirik jam dinding di ruangan itu, "Ya ampun, telat lagi." keluhnya dengan wajah sendu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
awal yang bagus.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status