Share

EMPAT

06.00 AM

Alarm Arindha berbunyi nyaring sampai membuat telinganya kesal, dia segera mandi dan bersiap lebih awal dari biasanya. Arindha berpikir kalau Rico akan sampai tiga puluh menit setelah dia siap. 

Nol besar, Rico sudah duduk santai di meja makan sambil menyantap sarapan yang telah dimasak Rita. Arindha yang tak percaya dengan kedua matanya segera mencubit pipi putihnya.

Rico menatap Arindha. “Makan, Rin,”  ucap Rico.

“Kebalik, harusnya aku yang nawarin!” jawab Arindha sinis.

Rita jalan dengan perlahan, dia membawa dua gelas susu di nampan kayu. Uban di kepalanya sudah terlihat jelas. Meskipun begitu, Rita masih terlihat anggun dipandang mata. Ubannya boleh dikata banyak, tetapi soal kulit, Rita menang banyak.

Cup

Rita mencium rambut Arindha. “Makan yang banyak, nak,” kata Rita.

“Iya, bun,” jawab Arindha singkat.

“Heum … enak banget, bun,” ucap Rico sambil menatap Rita.

Rita menatap Arindha yang sedang memakan sarapannya. “Harus enak, dong. Sehari kemarin Arindha gak makan masakan bunda,” ucap Rita sedih.

Arindha menghela nafas panjang. “Bun, Arin gak papa. Bunda cukup sehat, Arin dah seneng kok, gak perlu masak buat Arin juga gak papa, bun,” ucap Arindha dengan penuh keyakinan.

Hening

Rita hanya tersenyum dan mulai meninggalkan mereka sarapan.

"Maaf, nak. Kehadiran bunda enggak bisa seratus persen buat kamu, buat menemani pertumbuhan di setiap kehidupan kamu. Tapi, bunda akan berusaha, bangkit dari rasa sakit ini dan bisa tetap disamping kamu."

Air mata Rita terjun bebas di kedua pipinya dan segera ia sapu dengan telapak tangannya dengan kasar. Dia menghela napas menormalkan pernapasannya yang sedari tadi mulai sesak tak beraturan.

                                           ***

Sepeda putih mengkilat melaju dengan cepat dibawah naungan sang mentari pagi, Rambut cokelat panjang tak terikat nampak terbang ke segala arah. Arindha mengangkat kedua tangannya, menutup mata dan menikmati semilir angin pagi yang menembus pori-porinya. Hatinya lega, dia yakin hari ini dia tak akan bertemu dengan Karyo, guru BK nya.

“Pegangan!”

“Ganggu aja, udah nyetir aja sana!” ucap Arindha kesal.

Rico yang sudah lelah mengolengkan sepedanya dua kali agar perempuan di belakangnya menurut 

“Ehhh Rico!” sahut Arindha yang mulai kaget dan memegang pundaknya dengan kuat.

“Makanya pegangan!” titah Rico.

Arindha kembali melihat dan merasakan pemandangan yang menyegarkan matanya; pohon yang hijau, udara yang segar dan seorang lelaki atletis yang sedang berlari pagi.

Lelaki itu semakin dekat, dan semakin dekat. Nyata.

“Ricoo!!” teriak Arindha dengan keras dan spontan melepas kedua tangannya.

Rico yang terkejut dengan tingkah Arindha langsung menstabilkan lajunya, tangan kirinya memegangi punggung Arindha yang akan terjungkal kebelakang.

“Tahan, Rin,” titah Rico.

Cciiittt..

Rem sepeda Rico berdecit nyaring dan berhasil memberhentikan sepedanya dengan aman, dia mulai turun dan membantu Arindha turun dari sepeda. Terlihat keringat dingin bercucuran di dahi Arindha, matanya masih terpejam dan nafasnya masih menggebu-gebu.

Rico sudah lama tak mengantar jemput Arindha lagi, dia pikir Arindha sudah pulih, tapi sebaliknya.

Laki-laki atletis itu, pasti dia, dia yang Arindha lihat. Dia yang memakai kacamata hitam dengan baju biru yang persis dipakai Raja saat kejadian sebelas tahun yang lalu.

Kejadian itu sangat membekas dan menjadi trauma untuk Arindha, apalagi Rita. Setelah kejadian itu, Rita divonis terkena penyakit jantung. Rico tahu semuanya, dia yang dengan sabar merawat Arindha dimasa kelam, dimasa Arindha sudah tak memiliki arah dan harapan melanjutkan hidup. Rico tahu dan menjadi saksi bisu melihat Jati berjuang sendiri untuk menjaga istri dan anaknya yang tinggal satu, yang berusaha bangkit saat dirinya sendiri masih hancur dengan kepergian jagoannya.

Rico juga harus mengemban janji, menjaga rahasia penyakit Rita untuk Arindha. Sikap Arindha akan berbeda jika dia mengetahui semuanya, mengetahui bahwa bunda nya selalu diambang kematian. Harapannya pasti akan patah seperti dulu, tak memiliki keinginan untuk hidup, dia akan menyalahkan segalanya, dan mengutuki dirinya sendiri. Dan jangan sampai, kejadian bunuh diri terulang untuk yang kedua kalinya.

Tangan Rico melingkar di tubuh Arindha, mengelus punggungnya beberapa kali agar sahabatnya bisa tenang seperti sebelumnya.

Hangat, tubuh Rico hangat, itu yang ada dalam pikirannya saat ini. Perasaannya mulai tenang, mata Arindha mulai terbuka sedikit demi sedikit dan kedua bola mata cokelat itu bergerak melihat sekelilingnya.

Arindha menghela napas. “Udah pergi?” ucapnya singkat.

“Udah, Rin,” kata Rico pelan untuk menenangkan Arindha.

                                            **

Deretan kelas dipenuhi siswa-siswi, mereka asyik berbincang dan mengamati poster besar yang tertempel di dinding warna hijau muda. Rico dan Arindha penasaran, mereka mulai mendekati Hilda yang kebetulan berdiri dekat pintu kelas dengan Xianzu.

“Ada apaan sih, rame banget?” tanya Arindha.

“Oh, mereka lagi liat poster sekolah. Biasalah, mereka terpana sama hasil poster anak OSIS,” jawab Xianzu sambil menyilangkan kedua tangannya.

“Idih, sombong bener ni anak. Btw poster apa?” tanya Rico.

“Poster tentang lomba sekolah, Co. Tiga hari lagi ultah SMA,” jawab Xianzu.

“Nyanyi, Rin!” sahut Hilda.

“Gak ah, malu,” kata Arindha.

“Eh.. jangan, ntar semua yang denger dia nyanyi pada mules,” ucap Rico sambil tertawa.

“Alah, belum pernah denger aku nyanyi aja udah nuduh. Mentang-mentang jago main basket, ngeledek orang seenak jidat!” tegas Arindha.

“Eits, aku emang jago. Gak pernah kalah!” Menatap Arindha dengan angkuh.

“Widih bisa sombong juga ni anak. Kalo gitu, besok ikutan lomba basket aja, kamu juga ikut, Rin. Yang kalah traktir yang menang. Seru, kan?” tantang Hilda.

Mata Rico dan Arindha saling bertemu. “Deal,” jawab Rico dan Arindha.

                                         **

Tiga hari kemudian..

Gumpalan awan menutupi langit yang kebiruan, terlihat gadis berambut cokelat berdiri mengamati jam di tangannya.

Laki-laki yang diberi hukuman skors satu minggu sama sekali tak menghiraukannya, dia datang ke sekolah hari ini, dia melihat gadis yang menjadi alasan sanyuman simpulnya beberapa hari yang lalu. Dia mulai mendekat dan memegang pundak belakang gadis itu.

“Alex?” panggil Arindha.

Alex tak menjawab sapaan Arindha, dia tersenyum dan mengulurkan kepalan tangannya. “Buka,” kata Alex singkat.

Arindha mulai membuka kepalan tangan Alex, dia tersenyum. Arindha melihat jepit rambut kesayangannya yang hilang saat di UKS.

“Makasih, Lex,” ucap Arindha.

“Sama-sama, lain kali jangan teledor,” titah Alex.

Arindha membalikkan badannya, memberi kode pada Alex agar dia memasangkannya di tengah rambut Arindha. Entah dia memiliki saudara perempuan atau apa, dia dengan lihai merapikan dan mulai menjepit rambut cokelat itu dengan rapi.

“Selesai,” ucap Alex singkat.

Kepala Arindha menoleh ke arah Alex, dia tersenyum, kali ini dengan menampakkan barisan gigi putihnya. Kaki Arindha mulai melangkah ke depan, meninggalkan Alex dibelakang yang masih berdiri tegak dengan senyuman.

                                        **

Arindha mulai memasuki aula yang sudah dihias dengan beragam alat musik, dia duduk di meja depan sebelah Vino. Arindha mendapat bantuan dari Vino untuk membawakan lagunya.

“Hei! siap, Rin?” Menoleh ke arah Arindha.

“Siap dong, Vin,” jawab Arindha.

Para penonton sudah berkumpul di mejanya masing-masing, Arindha dan Vino mulai naik ke atas panggung dan menampilkan lagu mereka. Ditengah Arindha menyanyikan lagu, Arindha melihat Rico sedang menatapnya tak biasa. Meskipun begitu, Arindha menghiraukannya.

“Wow, tepuk tangan untuk Vino dan Arindha.. Huuu!” teriak Jio yang menjadi panitia.

Semua orang bersorak dan tepuk tangan, Arindha dan Vino mulai turun dari panggung dan duduk di sebelah Hilda dan Xianzu.

“Suara kamu lumayan juga, Rin,” ucap Hilda.

“Tinggal bilang bagus aja susah banget, Hil,” Melirik Hilda yang meledek.

Rico mulai mendekat ke meja Arindha, Vino, Hilda dan Xianzu.

“Heum.. suara kamu gak sejelek yang aku kira,” ucap Rico.

“Nah, ini lagi,” kata Arindha.

Mereka menertawakan Arindha yang sebal, bukan mengerikan, muka polos Arindha terlihat lucu saat marah ataupun saat sebal karena ledekan kedua sahabatnya.

                                       **

Pertandingan basket lima menit lagi akan dimulai, Arindha berlari kesana kemari mencari penjual air mineral, tetapi dia tak diberi kesempatan.

Semua air mineral ludes terjual, beberapa diantaranya sudah di borong oleh guru sekolahnya. Arindha mulai memasuki toko kelontong tua depan sekolahnya, terlihat beberapa minuman aneka rasa berjejer rapi di rak tua berwarna cokelat. Pria paruh baya terlihat sedang mencatat barang dagangannya, sesekali dia menekan tombol-tombol di kalkulator.

Arindha mendekati pria itu, menunggunya sampai selesai menulis di kertas putih kekuningan. Pria itu mengangkat kepalanya, dia menoleh ke arah Arindha.

“Cari apa, neng?” tanya pria paruh baya itu.

“Cari air mineral.” jawab Arindha.

“Waduh, air mineralnya sudah habis, neng. Coba beli di kantin sekolah saja,” ucap pria itu.

“Sudah, disana juga habis,” keluh Arindha.

“Kalau galon masih ada, neng,” bujuk pria itu.

Tanpa berpikir panjang, Arindha meng-iyakan tawaran pria itu. Rico adalah orang yang tidak suka minum selain air mineral setelah olahraga, dia lebih memilih kehausan daripada meminum air yang berasa.

Pria itu mengangkat galon dan meletakkannya di troli tuanya. "Dipakai dulu gak apa-apa, neng,” ucap pria itu.

Arindha menyodorkan uangnya. “Ini, pak. Makasih, nanti saya kembalikan,” kata Arindha.

Dengan muka yang sudah mulai berkeringat, Arindha segera menarik troli itu sampai di lapangan basket. Alex yang berjalan jalan sambil menyebulkan asap rokok melihat Arindha tertatih-tatih menarik troli yang cukup berat karena muatan galon diatasnya.

“Sini, biar aku aja,” tawar Alex.

“Eum.. gak usah, Lex. Makasih,” jawab Arindha.

“Gak papa, biar aku-“ ucap Alex.

“Ini buat Rico,” Potong Arindha.

Nola Amalia

Hallo! Gimana, udah kebayang belum tentang sifatnya Alex? Yuk, ikutin perjalanan kisah ini bersama Author tentunya :) See u in the next part.

| 1

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status