“Assalamualaikum, Mbak Nadina!” pekik salah seorang santriwati menginterupsi perbincangan antara Nadina dan Sadewa. Kini kedua orang itu menoleh bersamaan ke arah sang penyela sembari sedikit menjauhkan diri satu sama lain. Nadina sebentar mengatur raut mukanya sebelum akhirnya menanyakan maksud kedatangan sang santriwati tersebut. “Maaf sudah menyela, Mbak Nadina. Saya hanya ingin memberi tahu jika tamu yang memiliki janji dengan Mbak Nadina sudah rawuh—datang.” Santriwati berpakaian putih hitam itu tampak sedikit membungkukkan bada sembari memegangi hijab yang menutup bagian depan tubuhnya dengan sempurna. “Ah, baiklah. Aku akan segera datang. Terima kasih!” sahut Nadina. Sang santriwati pamit lalu Nadina kembali menoleh ke arah Rayyan. “Maaf Rayyan, aku tak berniat mengusirmu, tetapi aku tidak bisa lagi menjamumu di sini, tamuku yang lain sudah datang. Aku tak mungkin membuatnya menunggu lebih lama karena kita sudah saling menyepakati waktu pertemuan ini,” papar Nadina. “Tida
Usai menghabiskan makanannya dengan sedikit gontai dan malas, seorang santriwati masuk sembari membawa sebuah kotak berbalut kertas cokelat rapi ke arah Nadina. “Assalamualaikum, Mbak Nadina!” “Waalaikumussalan, ada apa ini?” sahut Nadina lalu berjalan menuju sang santri sembari mengibaskan tangannya yang basah setelah mencuci bersih piringnya. Sang santri melirik ke arah kotak yang ia bawa lalu menyodorkan kotak paket itu kepada Nadina. Meskipun sedikit bingung hingga mengerutkan dahinya, Nadina akhirnya menerima kotak itu cepat usai mengelap tangannya ke gamisnya. “Apa ini? Kiriman dari mana?” tanya Nadina mulai mengamati paket cokelat yang kini berada dalam dekapannya itu. “Tidak tahu, Mbak. Tadi kurir lepas tiba-tiba datang dan menyerahkan kotak ini kepada penjaga piket kantor kesekretariatan. Kurir bikang untuk Mbak Nadina. Tidak ada nama pengirim di sana, jadi saya segera membawanya kemari takut jika ada sesuatu yang penting di dalamnya,” papar sang santriwati. Nadina meng
Hari berganti malam, Nadina telah jauh lebih baik daripada sore tadi saat ia melihat kotak misterius yang datang padanya tanpa pengirim itu. Nadina saat ini tengah membantu Melati untuk mengajar para bocah di pondok untuk mengaji dasar di masjid besar pondok. Bocah-bocah berusia empat sampai enam tahun itu tampak cukup senang dengan kegiatan mereka, beberapa di antaranya duduk tenang menunggu giliran, beberapa di antaranya bermain dan berbisik bersama kawan lainnya. Beberapa menit setelah seluruh bocah itu telah mendatangi gilirannya, kelas bubar dan ditutup dengan doa bersama. Kini Nadina dan Melati bersama-sama merapikan kembali sisi masjid yang mereka gunakan untuk mengajar malam itu. “Mbak Nadina, saya dengar tadi abi Ali mengubur bangkai tikus. Memang di dalam dalem ada tikus, Mbak?” celetuk Melati saat keduanya bersama-sama mengangkat bangku kayu yang keduanya gunakan untuk mengajar. “Bukan dari dalem. Tapi dari paket. Entahlah Melati, sepertinya ada orang iseng yang mengir
Nadina sedikit mengerutkan dahinya Nadina sedikit mengerutkan dahinya, agak sedikit bingung mungkin kiranya atas respons Rayyan atas beritanya. Sementara itu, Rayyan yang menangkap gelagat aneh Nadina usia ia menyelesaikan perkataannya pun segera meralat. “Jangan salah sangka, Nadina. Aku hanya ingin membantumu,” terangnya. “Adnan juga akan pergi bersama neneknya. Dia akan baik-baik saja. Terima kasih untuk tawarannya, saya permisi Pak Rayyan!” ujar Nadina lalu sedikit mengangguk sebelum meraih tas selempangnya dan hendak pergi. “Ehm, Nadina!” celetuk Rayyan sedikit lirih. Nadina menghentikan pergerakannya lalu menoleh ke arah Rayyan. “Iya?” “Bagaimana dengan masalah semalam? Apa kamu bisa mempercayai semua perkataanku? Aku bersumpah tidak berbohong, Nadina.” Rayyan dengan jelas memandang wajah Nadina dengan penuh keyakinan. Wanita itu bahkan juga sadar betul jika pemuda di hadapannya itu tak menunjukkan sedikitpun gelagat kebohongan. “Sebenarnya saya sendiri bingung mengapa h
Si pesuruh kembali ke mobil Regina dan mendapati wajah antusias Regina yang telah menyambutnya. “Bagaimana? Kau dapat semuanya? Ingat! Aku tidak terima laporan gagal!” sergah Regina. “Jika kau memintaku turun langsung, semuanya tak bisa didapatkan secepat itu. Kau akan dicurigai jika mengulik terlalu banyak!” pekik sang pesuruh. “Jadi?! Kau gagal! Dasar pecundang! Untuk apa aku memperkerjakan orang yang tak berkompeten!” hina Regina. “Hei, Regina! Aku tak bilang aku gagal! Jika kau ingin bekerja sama denganku perhaluslah mulutmu itu! Meskipun aku pesuruhmu, aku bisa mengacak-acak hidupmu seperti semua orang yang telah kau hancurkan hidupnya dengan bantuanku!” ancam si pesuruh. “Baiklah! Okei! Jadi apa yang kau dapat, hah?!” Sang pesuruh itu menegakkan tubuhnya lalu mulai tampak serius untuk memberi tahu info yang ia dapatkan dari ruang kesekretariatan tadi. “Wanita itu bernama Nadina. Entah siapa lengkapnya, tetapi yang terpenting ia disebut Nadina. Dia memiliki seorang anak ya
Beberapa jam setelah penantian, mobil Nadina kembali ke area pondok namun kali ini diikuti oleh sebuah mobil lain yang juga berhenti di area pondok. Boby segera memasang matanya untuk menyaksikan apa yang akan terjadi setelah ini. “Tunggu, seorang pemuda? Dia bukan Rayyan. Apa dia saudaranya? Atau– tunggu, apa Nadina banyak yang mengincarnya? Baru sehari aku mengintainya dan aku telah mendapatkan tiga pemuda dalam hidupnya? Waw!!” pekik Boby. Boby segera mengirimkan foto pemuda baru yabg turun dari mobil yang sekarang tengah berbincang dengan Nadina. “Kurasa hubungan mereka tak baik. Nadina terus berusaha menyudahi pembicaraan mereka. Tetapi pemuda itu seolah masih terus mengajaknya bicara. Hmm, kukira kehidupan pondok tak pernah menarik!” celetuk Boby. Sebuah pesan masuk menghalau pandangannya. Laporan atas pencarian pemuda yang baru ini ia lihat telah sampai padanya. “Arif Sadewa. Seorang fotografer. Tunggu, dia pernah bekerja bersama Nadina dan Nadina menjadi modelnya? Sebuah
“Ayo duduk dulu, Nadina. Tenangkan dirimu,” celetuk ali sembari mengelus pucuk kepala menantunya itu. Nadina duduk di sofa dengan masih bersandar pada Aminah dan berusaha mengatur napas dan tangisnya supaya segera mereda. Sementara itu, Ali menyodorkan sebotol air mineral untuk sang menantu teguk. “Abi lihat sendiri ‘kan seperti apa dia?! Umi sudah pernah bilang kepada abi untuk tidak menerimanya kembali datang ke sini. Lihat apa yang dia lakukan kepada putri kita! Dia datang kembali dan hendak menghancurkan kebahagiaan Nadina, Abi!” sergah Aminah. Ali tampak duduk di sofa depan Aminah dan Nadina lalu menarik napas yang cukup panjang. “Kita harus tetap bersikap baik, Umi. Umi lupa saat Rasulullah menyebarkan agama Islam dan mendapat pertentangan dari banyak pihak, caci dan maki, apakah Rasulullah membalas dengan cara yang salah? Rasulullah tetap berbuat baik. Masalah kita tak seberat masalah Rasulullah, dan apa yang hendak umi lakukan?” tutur Ali. Aminah meredakan emosinya sembar
“Mas Nadhif!” pekik Nadina seraya membuka matanya lebar-lebar. “Ibu..,” lirih Nadhin yang ikut terbangun akibat terkejut dengan pekikkan yang Nadina keluarkan barusan. “Astagfirullah,” celetuk Nadina langsung meraup muaknya dan memeluk Nadhin erat. “Maafkan ibu, Sayang. Nadhin pasti kaget, ya?” Nadina tampak mengelus kepala Nadhin lembut sembari terus mengecup kening putrinya. “Ibu mimpi Aba, ya? Dari tadi ibu manggil Aba terus, Nadhin panggil ibu tapi ibu tidak bangun-bangun. Nadhin jadi takut,” ujar Nadhin. Nadina merapatkan kedua bibirnya saat kembali teringat kehadiran yang suami benar hanyalah mimpi. Matanya melirik ke jam yang ada di atas nakas. Masih menunjukkan pukul setengah tiga pagi. “Maafkan ibu ya, Sayang! Nadhin tidur lagi, gih!” pintu Nadina lalu kembali memeluk Nadina. Dengan cepat bocah itu kembali memejamkan matanya dan terlelap dalam tidurnya. Sementara itu Nadina tampak masih membuka matanya. Sesekali air mata lolos dari benteng yang ia ciptakan sendiri. Da