Suara celetukan lirih itu seketika membuat Nadhif dan Nadina menyadari seseorang lain selain mereka berdua di koridor tersebut. Tanpa melihat siapa yang berada di sana, Nadhif langsung melingkarkan kedua tangannya pada tubuh Nadina dan menggendong istrinya itu kembali masuk ke kamar dan segera menutup pintu kamar mereka. Di belakang pintu itu, Nadhif akhirnya melepaskan Nadina bersamaan dengan keduanya yang saling memandang canggung usai kecupan sekian detik itu. “Kamu membuat saya terkejut Nadina,” celetuk Nadhif. “Mas juga! Nadina hanya mengertak tadi, kenapa Mas Nadhif sampai tega meninggalkan Nadina sendiri di sini untuk menemui wanita itu?! Apa jangan-jangan mas sengaja bikin Nadina panas supaya izinkan mas pergi menemui wanita pelakor itu, hah?!” sergah Nadina. “Pelakor?” lirih Nadhif. “Iya! Pelakor! Perusak Laki Orang! Mas Nadhif sengaja ‘kan memancing emosi Nadina supaya Nadina izinkan mas bertemu dia?!” Tangan Nadhif tiba-tiba mendarat tepat pipi kiri Nadina sementara t
Nadhif tampak mengerutkan dahinya dan sedikit menggeleng sementara Nadina tampak membersihkan pewarna bibir di mulutnya dengan tisu. “Mana bisa saya menemuinya dengan penampilan seperti ini? Apa yang akan dia pikirkan nanti, Nadina?” lirih Nadhif. Nadina tak membalas dan malah tampak membuka hijabnya lalu mengacak-acak rambutnya. Tak sampai di sana, Nadina tampak menarik kerah pakaiannya hingga sedikit sobek. “Mas Nadhif yang keluar atau Nadina yang keluar dengan tampilan seperti ini? Mas mau jika tiba-tiba ada santriwan yang tiba-tiba melintas dan melihat Nadina tidak mengenakan hijab?” ancam Nadina. “Assalamualaikum, Gus?” ulang suara Azalea dari pintu yang terdengar amat tak sabar. Nadina mengarahkan matanya ke pintu dan akhirnya berhasil membuat Nadhif bangkit dari ranjang dan berjalan menuju pintu kamar mereka. Nadina dengan cepat meraih selimut tebak dari ranjang mereka lalu membalut tubuhnya dengan selimut itu. Pintu kamar terbuka, Nadhif sebentar melirik keluar sebelum
Usai membersihkan dirinya sore itu, Nadhif keluar toilet sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk yang beberapa saat lalu Nadina siapkan. Sementara Nadhif mengeringkan rambutnya di depan cermin meja rias, Nadina terus menatapnya dari belakang dengan tatapan yang cukup tajam. “Ada apa, Nadina? Kenapa tatapanmu seperti hendak memakan saya hidup-hidup?” tutut Nadhif sembari melirik Nadina melalui cermin itu. “Mas Nadhif hendak bertemu Putri Azalea, huh?” sindir Nadina lalu menyandarkan tangannya ke ranjang. Nadhif membalik tubuhnya lalu memandang Nadina sebentar sebelum akhirnya berjalan menuju sang istri dan duduk di sebelahnya. “Iya, dia belum menyampaikan tujuannya datang kemari tadi, Nadina. Dan saya telah berjanji akan menemuinya tiga puluh menit mendatang semenjak kejadian tadi,” tutur Nadhif. “Mas, tujuan dia adalah mengganggu kita! Itu tujuan kedatangannya tadi, Mas! Masa begitu saja Mas Nadhif tidak paham?!” omel Nadina. “Jangan berburuk sangka, Nadina. Barang kali ada
Nadhif tak ingin kian mendebat Nadina hingga ia segera meraih pakaian yang Nadina gantung di depan lemari. Pemuda itu segera menuju toilet dan menjalankan kembali permintaan sang istri. Beberapa detik setelah Nadhif memasuki toilet, Nadina tampak mendesah dengan cukup kasar. “Kenapa digendong sih, Mas?! Mas tidak takut melihat Nadina melihat semuanya tadi!? Dasar wanita pelakor! Aku tahu pasti kejadian tadi hanya akal-akalannya saja agar dia bisa mendapatkan perhatian suamiku! Dasar bajingan!” umpat Nadina. Suara telepon masuk menghentikan keluhan Nadina saat itu. Sang ibu yang meneleponnya. Dengan segera Madina mengangkat panggilan tersebut. “Assalamualaikum, Bu! Apa kabar?” sahut Nadina mulai memelankan nada bicaranya. [“Waalaikumsalam, Nadina. Ibu baik-baik saja, bapak juga. Bagaimana dengan kabarmu dan suamimu? Semua baik-baik saja bukan?”] sahut Khoiri dari seberang. Nadina sebentar memoncongkan bibirnya sebelum lanjut berdusta. “Iya, Bu! Semua baik-baik saja, kok! Ibu mer
Malam hari itu, Nadina lebih dahulu berbaring di ranjangnya, sejak isya tadi saat dirinya berada di dalam kamar, Nadhif pun tak kunjung mengajaknya berbicara. Hal ini membuat Nadina merasa geram dan memilih untuk kembali tutup mulut. Sambil terus memaksakan rasa kantuk yang sebenarnya belum muncul itu, Nadina terus berkomat-kamit untuk memilih apakah ia kan tetap membuat sarapan spesial itu untuk sang suami esok pagi atau tidak. Namun hal itu dengan cepat Nadina putuskan saat Nadhif yang usai dari toilet juga naik ke ranjang dan langsung mematikan lampu tidur di sebelah ranjangnya. Nadhif yang kala itu masih bingung mesti bagaimana berucap memilih untuk diam takut jika ucapannya semakin menyakiti satu sama lain. Tetap hal itulah yang membuat Nadina malah semakin kesal dengan sang suami. Keesokan harinya, Nadina langsung pergi ke dapur dan membantu sang umi untuk memasak makanan, Aminah sebentar bertanya mengenai rencana Nadina membuatkan nasi goreng untuk Nadhif. Tetapi Nadina den
Hari berganti malam, suasana malam itu di kamar Nadhif dan Nadina teramat canggung. Pada awalnya Nadhif dan Nadina hanya duduk di tepi ranjang dengan saling membelakangi dan tanpa kata. Hingga tiba-tiba keduanya bangkit dan berbalik. “Saya hendak ke toilet!” “Nadina ingin ke toilet dulu!” pekik keduanya bersamaan. Sunyi kembali mendatangi keduanya, Nadina seketika menundukkan pandangannya sementara Nadhif mencoba melirik sang istri. “Kamu saja dulu, Nadina! Saya bisa memakainya setelahmu,” ujar Nadhif lalu tampak mempersilakan Nadina. “Tidak-tidak!” pekik Nadina langsung mengangkat kepalanya. Wanita itu kini tampak dengan cepat menolaknya dilengkapi dengan lanbaian tangan. “Mas saja yang memakai terlebih dahulu. Jika Nadina yang memakainya mungkin akan lama,” ujar Nadina. “Sepertijya akan terbalik, Nadina. Jika saya yang masuk ke sana terlebih dahulu, maka akan cukup lama,” ujar Nadhif. Nadina mengerutkan dahinya, sejenak ia seolah memberikan tatapan menyelidiki sebelum akhir
“Ah, begitu! Tidak apa, Nadina. Kita bisa melakukannya nanti. Sekarang kita tidur saja. Hari sudah semakin malam bukan?” ujar Nadhif sedikit menunduk. Jelas dari suaranya menggambarkan sedikit kekecewaan, namun pemuda itu berusaha menutupinya dengan senyuman tulus di wajahnya. Keduanya kini berbaring dan sama-sama memandang atap. “Maaf harus membuat Mas Nadhif kembali menunggu. Nadina lupa jika dia biasa datang pada tanggal ini,” tutur Nadina sembari mengubah posisinya menghadap sang suami. Nadhif menoleh memandang Nadina. Pemuda itu kini mengelus pucuk kepala sang istri sembari tersenyum di antara gelapnya kamar mereka malam itu. “Jangan meminta maaf lagi, Nadina. Ini bukan salahmu. Memang sudah seharusnya seorang wanita mengalaminya. Kita hanya terlalu mendadak saja. Atau mungkin rasa canggung ini terlalu memenuhi ruangan,” ujar Nadhif. “Mas kecewa ya?” “Jangan berkata seperti itu, Nadina. Saya tidak apa-apa, lagi pula ini tidak akan lama. Segeralah tidur, besok jadwalmu akan
Nadhif dan Nadina akhirnya tiba di butik, Nadina sebentar menyampaikan jika hari ini Nadhif akan menemaninya dari awal pemotretan hingga akhir nanti. Sadewa sedikit terkejut akan hal itu. Namun, saat Nadina telah bersiap, Sadewa tampak mendekatinya dengan membawa kamera yang biasa digunakan untuk memotret. “Kenapa Mas Dewa yang membawa kameranya? Wanita yang biasa memotret ke mana, Mas?” tanya Nadina sembari mendongakkan kepalanya memeriksa sekitar. “Mereka izin hari ini Nadina, aku yang akan memotretmu selama mereka belum kembali. Apa kamu sudah siap?” tanya Sadewa. “Ah begitu. Baiklah, Nadina susah siap.” Pada awalnya semua proses pemotret berjalan dengan lancar, Nadhif sesekali juga memeriksa Nadina dan tersenyum ke arah istrinya saat kedua mata mereka saling bertemu. Saat jam istirahat datang, Nadina tampak tengah duduk di sebelah Nadhif dan bersenda gurau kecil sembari memakan camilan mereka. Sadewa yang melihat tawa Nadina terdengar tulus saat bergurau dengan sang suami m