Aku menanti dengan sabar kepulangan Bang Hasan usai menghidangkan beberapa menu makan malam di meja. Sendirian, bertemankan sepi, kuputuskan untuk memainkan gawai sembari mengulang momen sakralnya pernikahan kami.
Tidak bisa kupercayai, jika kini kami telah menjadi sepasang suami istri. Walau Bang Hasan merupakan mantan suami adikku, tetapi cinta kami tetap suci.
Kesalahpahaman kecil yang dibalut rindu di masa lalu, ternyata telah mengantarkan kami ke dalam ikatan yang lebih kokoh. Perasaan kami berdua terasa lebih nyata usai kesulitan dan kesakitan yang berhasil kami lewati.
Siapa yang peduli soal status Bang Hasan yang menduda? Atau soal aku yang pernah menjadi kakak iparnya? Kini, kami terjalin dalam janji suci sehidup dan semati, dan itu semua lebih dari cukup untukku dan Bang Hasan. Luka menjadi bahagia, itulah yang kurasa usai memandangi foto pernikahan yang diambil oleh Tya hari itu.
Semuanya terlihat indah, khusyu’ dan bahagia. Bang Ha
“Sayang? Zahrah? Buka pintunya, Sayang. Kamu tidak kasihan Abang dicium nyamuk begini? Enggak cemburu?” selorohnya dari luar.Aku masih berdiam diri di tempat. Helaan napas terus memberat sebab barisan kata yang didendangkan Bang Zaky tadi membekas di kepala. Sepertinya, memang ada sesuatu yang disembunyikan Bang Hasan dariku, sebab itulah dia terlambat pulang tanpa mengabari sama sekali.Tetapi, ini belum satu minggu pernikahan? Bagaimana mungkin ....“Zahrah?” ulangnya.“Abang dari mana aja? Kenapa pulangnya telat?” Aku berseru dari dalam. Kuintip dia yang berdiri di depan pintu dengan wajah risau.Sesekali, dengan tangan kekarnya itu, Bang Hasan menampar nyamuk-nyamuk yang mencumbu rayu dirinya. Bunyi gedebuk pelan terdengar berulang hingga beberapa saat. Merasa puas menyiksa Bang Hasan dengan serangga usil itu, aku membuka pintu untuknya.Seketika saja, Bang Hasan mendobrak, dia menahan daun pintu deng
Bang Hasan bergumam beberapa kali. Dia yang duduk bersandar di dashboard ranjang sibuk memainkan gawai. Bibirnya yang merah melengkung tiba-tiba, pun manik mata indah yang selalu menjadi candu itu berkilau seketika.Kuputuskan untuk mengakhiri ritual perawatan diri malam ini demi mengintip apa yang sedang dilakukan oleh Bang Hasan seorang diri. Merasakan pergerakan dariku, Bang Hasan dengan cepat mengusaikan semua yang dilakukannya, termasuk menyimpan gawai kembali di meja nakas.“Kenapa disimpan, Abang?” tanyaku tanpa berniat mengumbar jika aku sedikit curiga dengan tingkah lakunya.“Sudah malam, mau tidur, Zahrah Sayang. Itu tuh, mata kamu, tuh! Ada lasernya!” kilah Bang Hasan.Aku menggeleng tidak setuju dengan penuturannya. Dia benar-benar bersikap mencurigakan, seakan ada sesuatu yang sedang disembunyikan.Pria itu menarik tanganku hingga menimpa tubuhnya. Terdengar gedebuk saat kami beradu, tetapi Bang Hasan s
[Inilah yang ingin Abang tunjukkan soal Hasan. Semoga kamu mengerti, Dek.]Aku membaca pelan isi pesan kedua dari Bang Zaky. Helaan napasku mengudara begitu keras. Entah apa yang dia maksud dengan mengerti, saat foto Bang Hasan dan seorang bocah mungillah dikirimkannya padaku.[Jangan bersikap acuh, Adek, karena kamu akan terluka.]Pesan ketiga dari Bang Zaky masuk lagi. Aku tidak habis pikir tentang apa yang sebenarnya ingin disampaikan Bang Zaky perihal suamiku. Hanya selembar foto dimana Bang Hasan berjalan dengan menggendong bocah mungil. Tidak ada apa-apa lagi selain keduanya, tetapi Bang Zaky bersikap seolah Bang Hasan baru saja berselingkuh dan mengkhianati diriku.Aku mengepalkan tangan untuk sesaat. Tidak perlu pikir panjang tentang apa yang akan kubalas untuknya.[Terima kasih banyak, Bang. Akhirnya, aku punya koleksi tambahan untuk foto Bang Hasan. Aku paham dengan kegelisahannya Bang Zaky, tapi aku tidak ingin mencurigai Bang Hasan untu
“Itu ...,” tunjukku ke arah si kecil.Bang Hasan, kakak sepupu serta mamak mertua lekas menoleh. Mereka mengikuti arah jariku yang menyoroti anak itu.“Itu siapa, ya, Mak?” ujarku lagi.Terus kuperhatikan si kecil, mendadak saja perasaan cemas berkecamuk di dalam dada jika mengingat foto yang dikirimkan Bang Zaky siang tadi. Anak itu, juga ada di sini. Di rumah ini, bersama keluarga Bang Hasan dan yang lain.Sejenak, kuputuskan untuk terus berpikiran positif walau belum ada satu penjelasan apapun mengenai siapa sebenarnya anak kecil itu. Dia si kecil yang berwajah masam, sedang memandangi layar gawai, berpakaian bagus dan mahal, juga tampan.“Siapa, ya, Mak?” Entah sudah berapa kali aku menuntut, namun tetap saja mamak dan Bang Hasan diam.Mereka terlihat bertukar pandangan, sampai kakak sepupu Bang Hasan yang mengaku tinggal agak jauh dari kediaman mamak mertua bersuara, “Itu anaknya Kakak, Zahrah.
Manik mata Bang Hasan memendar mendengar tuduhanku barusan. Niat hati hanya ingin menjebaknya, namun suamiku malah bersikap di luar dugaan. Kami saling menatap dalam keheningan. Tidak ada yang berbicara untuk sesaat, yang menggema hanyalah tangisan tanpa henti dari Husein, dan bujuk rayu dari mamak mertua yang terus mencoba untuk menghentikan tangisnya. “Abang, jelasin!” Aku mencoba menahan gejolak emosi. Tidak mungkin benar tebakan sembaranganku itu. Husein tidak mungkin anaknya Bang Hasan. Selain tidak ada kemiripan di antara keduanya, aku yakin benar Bang Hasan belum pernah menikah selama kepergiaannya ke Kalimantan. Setidaknya, itulah yang disiratkannya dalam setiap kata sebelum kami memutuskan untuk menikah. “Hasan, kalau kamu enggak bawa Zahrah ke kamar, tolong bujuk Husein dulu,” pinta kakak sepupunya. Kami bersamaan melongok ke lantai dasar. Di bawah sana, mamak mertua menengadah, pun kakak sepupu. Sedang Husein, tangan mungiln
Pekikan nyaring dari mamak mertua terdengar saat tubuh Bang Zaky melayang sebelum kemudian menghantam lantai. Rahang pria itu mendapat pukulan telak dari suamiku saat bibirnya mengucapkan kata nan menyakitkan untuknya.Aku lekas menahan Bang Hasan lebih dulu, sebelum tangannya yang membentuk kepalan keras itu mencumbu rahang Bang Zaky untuk kali kedua. Apapun yang dilakukan oleh Bang Zaky selama ini, tidak seharusnya diselesaikan dengan kekerasan seperti ini.“Abang, berhenti ... jangan pukuli lagi.”“Minggir, Zahrah. Abang tidak bisa tinggal diam melihat kelakuannya Bang Zaky,” geramnya.Bang Hasan mendekat lagi usai menepis tanganku. Dia membawa serta semua emosi ke hadapan Bang Zaky seolah siap untuk menumpahkannya di sana.“Sadar kamu, San!” Kakak sepupu berteriak lebih lantang. “Tahan Hasan!”Kerabat lelaki menyerbu, mereka mulai mengapit lengan Bang Hasan yang memberontak, menyeret paksa
“Abang tidak ingin menjelaskannya sekarang?” tanyaku begitu aku menutup daun pintu rumah.Bang Hasan yang menggendong Husein hanya berdiam diri di depan pintu kamar kami. Bibirnya terkatup sempurna sampai aku tidak bisa menebak apa yang ada di benaknya. Tidak cukup sampai di situ, Bang Hasan pun enggan menoleh padaku meski untuk sejenak.“Abang ....”“Besok, besok Abang jelaskan. Sebaiknya, malam ini kita istirahat dulu, Zahrah,” elaknya. Sesuatu yang sudah kutebak saat melihatnya mengajakku gegas pulang ke rumah.Bang Hasan tentu akan bertahan dengan pikirannya, dan menganggap jika keputusannya adalah yang terbaik. Akan tetapi, bagiku semuanya tentu berbeda. Anak kecil yang akan dibawa Bang Hasan ke dalam kehidupan kami, aku tentu berhak untuk tahu tentang siapa dia dan dari mana asalnya.“Itu anaknya Abang, kan?” Sesak terasa di dalam dada.Aku hampir saja menumpahkan air mata saat mendapati
Kami duduk bersisian setelah menghabiskan sekian waktu dalam keheningan. Ekspresi Bang Hasan yang tiba-tiba berubah menjadi sedih, membuatku memilih menyerah dan memutuskan untuk menenangkannya lebih dulu. Setidaknya, sampai Bang Hasan bersedia berbicara lebih jauh.Tanganku bersedekap di dada yang membusung, sedangkan Bang Hasan duduk dengan jemari yang terpilin di pangkuan. Tidak ada yang berbicara, hanya ada helaan napas yang mengudara, dan aku masih belum sanggup untuk membuka suara.“Abang tidak tahu harus memulainya dari mana ....” Begitulah ucapan Bang Hasan kemudian.Dia menghela napas sedalam mungkin, sampai dadanya yang bidang membusung, mengalahkanku yang sejatinya seorang wanita. Aku paham, sesuatu yang disimpannya sekian lama, telah membuat dirinya sakit dan tersiksa sampai mengenang pun mampu membuatnya terluka.“Soal ini, Abang juga tidak jujur sepenuhnya pada mamak dan yang lain,” imbuhnya lagi.Bang Hasan me