"Mas Fahmi, ini pesanannya."
Sekeluarnya Feiza dan Fahmi dari ruangan dosen ketua jurusan mereka guna mendapatkan surat rekomendasi pencalonan, seseorang menghampiri Fahmi dan Feiza, menyerahkan sebuah kresek bening berukuran sedang kepada Fahmi."Eh, Fatkhur? Makasih, ya. Udah di sini lama?" Fahmi menerimanya. Ia cepat mengeluarkan dompet dari saku celana dan menyerahkan selembar uang lima puluh ribu pada pemuda pengantar makanan itu."Sama-sama, Mas. Baru aja kok, terus sampean keluar," jawabnya sembari menerima uang Fahmi. "Matur nuwun juga ya, Mas. Bentar, tak carikan uang kembalian dulu."Fahmi langsung mencegah tangan Fatkhur yang hendak merogoh saku jaketnya. "Nggak usah. Kembaliannya anggap aja ongkir sama sedikit bonus." Laki-laki itu tersenyum."Wah, beneran, Mas?""Iya."Anak dari salah satu penjual di kantin kampus yang menjadi langganan Fahmi itu langsung memekarkan senyumnya. "Siap, matur nuwun, Mas Fahmi."Feiza dan Fahmi masih saling bertatapan.Keduanya benar-benar tidak ahu apa yang terjadi. Bagaimana bisa Tiara yang mencalonkan diri sebagai lawan Feiza dalam pemilwa? Seharusnya Wisnu yang katanya akan ikut maju bersama Arif. Tapi, kenapa malah Tiara? Apa yang terjadi sebenarnya?Ya, belum lama ini memang terdengar kabar jika Wisnu dan Tiara sudah putus setelah sempat digosipkan renggang sejak dua bulan yang lalu. Tapi, bagaimana bisa Wisnu tidak jadi maju dengan Arif? Lalu, kenapa Tiara yang malah maju mencalonkan diri dengan teman sekelas Feiza itu? Apa yang terjadi? Kenapa Arif tidak jadi mendampingi Wisnu?Keduanya masih saling berpandangan sampai sebuah suara lantang terdengar."Eh?! Masyaallah subhanallah. Tumnya PAI nih! Ahlan wa sahlan, Gus Furqon."Feiza mematung.Gus Furqon?Ia langsung menolehkan kepala ke belakangnya.Tepat di depan pintu masuk ruangan UKM yang digunakan sebagai pos untuk mendaftar
"Huft."Feiza kembali menghela napasnya, entah untuk yang ke berapa kalinya."Kenapa, Fe? Kudenger dari tadi kayaknya kamu bulik-balik ngehela napas?" tanya Nisa yang saat ini duduk di jok belakang boncengan motor gadis bermanik mongoloid itu.Feiza yang ditanyai kembali menghela napas. Bibirnya kemudian mencoba mengulas senyum. Ia tidak boleh berlarut-larut memiliki mood buruk karena sikap Furqon kepadanya.Menurut penelitian, tersenyum dapat membuat suasana hati orang yang melakukan dan melihatnya menjadi lebih baik. Dan kini Feiza kembali membuktikannya sebab ia berusaha mengulas senyum dengan sepenuh hatinya. Suasana buruk di hatinya sedikit mereda."Nggak pa-pa, Nis." Feiza menjawab pertanyaan Nisa. "Cuma agak capek kuliah sampe malam gini," lanjut gadis itu."Hemm." Nisa menganggukkan kepala meski Feiza yang duduk di depannya mungkin tidak bisa melihat anggukannya. "Oh iya, kamu sama Fahmi dari mana tadi, kok izin telat mas
"Assalamu'alaikum." Feiza berucap pelan masuk ke dalam kamar Ririn dan Binta. Ia langsung beringsut mendekati Binta yang tampak berwajah kusut menatap Nisa yang ada di pelukan Ririn. "Orang salam dijawab dong!" ujar Feiza. Binta menoleh ke arah Feiza sambil mendengkus. "Wa'alaikumussalam. Tadi udah kujawab di dalam hati, Fe," katanya. Feiza mengangguk dan tersenyum dibuatnya. "Nisa kenapa?" kemudian tanyanya. Binta kembali menghela napas. "Bertengkar sama pacarnya, terus katanya mereka putus." Gadis itu menjelaskan. "Ya Allah." Feiza langsung ikut menghela napas. Tidak tahu harus senang atas berakhirnya hubungan non halal temannya atau malah ikut prihatin melihat kesedihan temannya. Di antara mereka berempat, Feiza dan Binta yang tidak berpacaran. Bisa dibilang, prinsip keduanya hampir sama jika menyangkut hubungan laki-laki dan perempuan. Jadi, Feiza sama se
"Aku ingin membatalkan kesepakatan kita." "Hah?" Feiza seperti mendengar bahasa orang Mongolia yang tak bisa dipahami olehnya. Meski Feiza mungkin memiliki ciri fisik yang sama dengan mereka, yakni pada mata mongoloid alias sipit yang dimilikinya, tentu bukan berarti Feiza paham akan bahasa mereka. Dan Furqon, apa yang sebenarnya ingin ia katakan? Laki-laki itu tersenyum tipis lalu melanjutkan, "Aku mau membatalkan kesepakatan kita yang sebelumnya kusetujui." Feiza terbengong selama beberapa saat mendengarnya. "Apa maksud njenengan? Kesepakatan yang mana?" tanya gadis itu. Furqon kembali tersenyum kecil. "Kesepakatan soal menyembunyikan status pernikahan kita, Feiza. Aku tidak ingin lagi melakukannya." Kedua manik mata Feiza langsung terbelalak lebar. "Gus! Njenengan jangan bercanda!" ucapnya penuh penekanan dengan ekspresi terkejut yang
"Aku serius. Aku tidak ingin pernikahan kita disembunyikan lagi." "Apa? Tapi .... Apa maksud njenengan, Gus?! Tadi pagi njenengan sudah setuju! Kenapa tiba-tiba berubah? Njenengan tidak bisa langsung berubah seperti ini?" Dada Feiza terasa sesak. "Aku tidak berubah tiba-tiba, Feiza. Hal ini sudah kupikirkan baik-baik. Aku ingin kita tidak perlu menyembunyikan status kita," ucap Furqon serius namun tetap dengan nada lembutnya. "Tapi apa alasannya?!" sambar Feiza. Gadis itu kembali menatap tajam laki-laki yang ada di depannya. "Alasannya?" Furqon menjeda. "Tentu saja karena kita memang sudah menikah. Aku suamimu dan kamu adalah istriku." Kepala Feiza menggeleng kuat. "Nggak! Aku nggak mau!" tolaknya. "Njenengan nggak bisa seperti itu, Gus Furqon! Njenengan nggak bisa seenaknya begini." Feiza sudah tersulut emosi. "Seenaknya bagaima
"Apa yang kamu bicarakan, Feiza?! Istighfar!" Furqon benar-benar membentak.Laki-laki itu langsung berdiri dari tempat duduknya di sofa sembari berkacak pinggang dengan kepala yang mendongak ke langit-langit. Ia berusaha mengendalikan amarahnya yang terasa langsung memuncak dengan mengatur napasnya. Kata-kata Feiza benar-benar melukai hatinya.Feiza yang baru saja mendapat bentakan langsung menciut di tempat duduknya. Sedikit banyak, gadis itu menyesali kalimat yang baru saja ia ucapkan. Feiza seharusnya tidak pernah mengatakan itu.Tes tes tes.Air mata Feiza kembali menetes satu demi satu."Kamu sadar apa yang baru kamu katakan, Fe?" tanya Furqon setelah beberapa lama, masih berdiri di depan Feiza. Wajah laki-laki itu tampak dingin melihat Feiza dengan tatapan tajam yang seolah menusuknya.Feiza tidak menjawab dan hanya terisak dalam diam.Furqon menghela napasnya kasar. "Allah membenci perceraian, Feiza," ucap Furqon.
"Eungh ...." Feiza menggeliat dalam tidurnya.Suara azan Subuh yang samar terdengar di perungunya mengembalikan sedikit demi sedikit kesadaran gadis cantik itu.Saat kesadarannya sudah terkumpul hampir setengahnya dengan kedua mata yang masih terpejam rapat, Feiza yang gagal saat akan mengubah posisi tidurnya secara lebih intens daripada menggeliat tadi---sebelum bangun---langsung mengernyitkan dahi.Sesuatu yang terasa berat menghalangi pergerakannya.Feiza mengucek sebelah matanya dan membuka kelopak matanya itu lantas melirik sesuatu yang ada di bawahnya.Set!Sedetik, mata Feiza langsung membola dengan kesadaran penuh yang langsung menyentak dan memeluknya.Di bawah sana, tepatnya di bagian atas perutnya, ada sebuah tangan besar yang menindih dan memeluk tubuh Feiza.Feiza segera menoleh ke arah sampingnya dan langsung merasa syok saat melihat sosok Furqon berada di situ. Kedua kelopak mata laki-laki itu tam
Sesampainya indekosnya, Feiza langsung pergi ke musala untuk mengerjakan salat Subuh. Ia tidak ingin mengerjakannya di akhir waktu. Jadi alih-alih kembali ke kamarnya dulu yang pastinya akan memakan waktu, Feiza memilih langsung ke musala dan salat Subuh di sana. Toh, di sana disediakan fasilitas beberapa sajadah dan mukena. Sedikit saja, jika Feiza ataupun Furqon tidak bisa menahan dirinya, maka dapat dipastikan, Feiza tidak bisa salat Subuh dengan sebegitu mudahnya setibanya di indekos karena ia harus mandi wajib terlebih dahulu. Itu adalah yang Feiza pikirkan. Sebab kemarin malam, Feiza rasa-rasanya telah tersihir oleh suaminya itu. Setelah pertengkaran mereka dan Furqon yang lagi-lagi mengalah untuknya, juga kejadian saling berpelukan itu, Feiza benar-benar merasa pasrah kepada Furqon. Malam itu ia bahkan mungkin rela memberikan segenap jiwa ataupun raganya kepada Furqon karena keputusan laki-laki itu