"Apa yang kamu bicarakan, Feiza?! Istighfar!" Furqon benar-benar membentak.
Laki-laki itu langsung berdiri dari tempat duduknya di sofa sembari berkacak pinggang dengan kepala yang mendongak ke langit-langit. Ia berusaha mengendalikan amarahnya yang terasa langsung memuncak dengan mengatur napasnya. Kata-kata Feiza benar-benar melukai hatinya.Feiza yang baru saja mendapat bentakan langsung menciut di tempat duduknya. Sedikit banyak, gadis itu menyesali kalimat yang baru saja ia ucapkan. Feiza seharusnya tidak pernah mengatakan itu.Tes tes tes.Air mata Feiza kembali menetes satu demi satu."Kamu sadar apa yang baru kamu katakan, Fe?" tanya Furqon setelah beberapa lama, masih berdiri di depan Feiza. Wajah laki-laki itu tampak dingin melihat Feiza dengan tatapan tajam yang seolah menusuknya.Feiza tidak menjawab dan hanya terisak dalam diam.Furqon menghela napasnya kasar. "Allah membenci perceraian, Feiza," ucap Furqon."Eungh ...." Feiza menggeliat dalam tidurnya.Suara azan Subuh yang samar terdengar di perungunya mengembalikan sedikit demi sedikit kesadaran gadis cantik itu.Saat kesadarannya sudah terkumpul hampir setengahnya dengan kedua mata yang masih terpejam rapat, Feiza yang gagal saat akan mengubah posisi tidurnya secara lebih intens daripada menggeliat tadi---sebelum bangun---langsung mengernyitkan dahi.Sesuatu yang terasa berat menghalangi pergerakannya.Feiza mengucek sebelah matanya dan membuka kelopak matanya itu lantas melirik sesuatu yang ada di bawahnya.Set!Sedetik, mata Feiza langsung membola dengan kesadaran penuh yang langsung menyentak dan memeluknya.Di bawah sana, tepatnya di bagian atas perutnya, ada sebuah tangan besar yang menindih dan memeluk tubuh Feiza.Feiza segera menoleh ke arah sampingnya dan langsung merasa syok saat melihat sosok Furqon berada di situ. Kedua kelopak mata laki-laki itu tam
Sesampainya indekosnya, Feiza langsung pergi ke musala untuk mengerjakan salat Subuh. Ia tidak ingin mengerjakannya di akhir waktu. Jadi alih-alih kembali ke kamarnya dulu yang pastinya akan memakan waktu, Feiza memilih langsung ke musala dan salat Subuh di sana. Toh, di sana disediakan fasilitas beberapa sajadah dan mukena. Sedikit saja, jika Feiza ataupun Furqon tidak bisa menahan dirinya, maka dapat dipastikan, Feiza tidak bisa salat Subuh dengan sebegitu mudahnya setibanya di indekos karena ia harus mandi wajib terlebih dahulu. Itu adalah yang Feiza pikirkan. Sebab kemarin malam, Feiza rasa-rasanya telah tersihir oleh suaminya itu. Setelah pertengkaran mereka dan Furqon yang lagi-lagi mengalah untuknya, juga kejadian saling berpelukan itu, Feiza benar-benar merasa pasrah kepada Furqon. Malam itu ia bahkan mungkin rela memberikan segenap jiwa ataupun raganya kepada Furqon karena keputusan laki-laki itu
Setelah mandi pagi, Feiza langsung berkutat di dapur umum indekos untuk memasak dan menyiapkan sarapan. Beberapa penghuni lain mulai mengantre memasak di sana dan Feiza adalah salah satu orang yang sedang ditunggu kegiatan memasaknya. Ada dua orang yang secara optimial bisa memasak di dapur umum Kos Putri Citra. Biasanya Feiza tidak serajin itu, menjadi orang yang paling pertama menempati dapur guna memasak. Namun pagi ini berbeda, gadis itu berniat memasakkan Furqon untuk ucapan terima kasihnya. Bukan olahan yang sulit. Setelah menanak nasi menggunakan rice cooker-nya yang ada di dalam kamar, Feiza yang sebelum mandi menyempatkan diri belanja di toko penjual sayur dan bahan olahan mentah yang tidak jauh dari indekosnya langsung berkutat di dapur mengolah tumis kangkung dan ayam tahu baladonya. Entah bagaimana cara Feiza memberikan makanan itu untuk Furqon, sekarang yang penting baginya adalah memasaknya t
Feiza menoleh ke samping kiri dan kanannya. Menunggu sosok bernama Salim yang merupakan khodam dari Furqon datang menemuinya, mengambil bekal makanan yang telah dibuatkan Feiza untuk Furqon.Gadis itu menghabiskan waktu menunggunya dengan mengetuk-ngetukkan flat shoes cream yang dipakai kakinya ke lantai. Hingga tak lama kemudian ..."Neng Feiza!"Seorang laki-laki tinggi dengan rambut gondrong yang dikuncir belakang datang menghampirinya.Feiza mengenalnya. Laki-laki itu adalah Salim, seniornya dari jurusan PAI yang belum lama ini ia ketahui adalah santri Abah Furqon dan orang kepercayaan laki-laki yang menjadi suaminya itu.Sebutan Salim yang memanggilnya 'neng' itu sungguh sangat mengganggu. Belum lagi laki-laki itu seolah meneriakkannya ketika memanggilnya, hingga beberapa mahasiswa yang ada di sekitar mereka memberi atensi.Bisa gawat jika Salim mengulanginya lagi. Feiza yakin, banyak dari mahasiswa yang ada di sekitar merek
Feiza dan Fahmi sampai di depan gedung UKM dan sama-sama memarkirkan motor masing-masing di bawah salah satu pohon beringin yang ada di lapangan tempat parkir gedung itu, mencari tempat yang teduh. Setelahnya, keduanya langsung masuk ke basecamp HMJ mereka setelah menaiki lift dari lantai dasar ke lantai empat. "Assalamu'alaikum." Fahmi yang berjalan di depan Feiza berujar salam. "Wa'alaikimussalam," jawab orang-orang yang ada di dalam serentak. "Feiza. Fahmi. Ayo duduk, duduk sini!" suruh seorang perempuan cantik berkacamata kepada Feiza dan Fahmi. "Iya, Mbak Hawa." Feiza mengangguk lalu duduk di tempat yang disuruh oleh Hawa, perempuan cantik berkacamata tadi yang tak lain merupakan senior jurusan Feiza setelah dirinya dan Fahmi saling bersalaman dengan beberapa senior dan teman mereka yang lain, yang kebetulan juga ada di basecamp itu. "Kalian kemarin
"Feiza, tahu nggak, aku tadi pagi lewat depan kos kamu," gumam Fahmi. Matanya menatap lekat Feiza yang duduk manis di sampingnya.Gadis berparas cantik itu tampak sibuk membaca dan menekuri lembar demi lembar salah satu dokumen yang sebelumnya diberikan oleh Hawa."Pas Subuh Subuh." Fahmi melanjutkan."Hah? Apa, Mi? Kamu ngomong sesuatu?" tanya Feiza yang baru sadar jika Fahmi baru saja mengajaknya bicara. "Subuh apa?" tanyanya.Namun, Fahmi hanya merekahkan senyum dan menggelengkan kepala. "Nggak, bukan apa-apa.""Eh?! Beneran?" Feiza tampak kurang percaya. "Tadi kayaknya kamu ngomong sesuatu deh."Fahmi tersenyum lagi. "Bukan hal yang penting kok." Ia membalik halaman sebuah dokumen yang juga ada di depannya. "Yuk, baca lagi aja, Fe! Sambil nunggu Mas Dani sama Mas Satria. Kali aja mereka balik sebelum Zuhur.""Ah~ Iya." Feiza mengangguk lantas melanjutkan kegiatan membacanya lagi.Tak berselang lama, Hawa yan
Salim Aliyuddin: Gus aku sudah di depan Furqon membuka ruang obrolannya dengan Salim sesaat setelah ponsel canggihnya berbunyi dan menampilkan notifikasi pesan masuk dari santri abahnya yang menjadi khodamnya itu. Laki-laki itu pun segera mengaktifkan keypad ponselnya lalu mengetikkan pesan balasan untuk Salim. Furqon: Masuk Lim. Kita makan bersama Furqon segera membalas pesannya lantas kembali meletakkan ponselnya ke atas meja makan yang ada di depannya. Drtt ... Drtt .... Benda pipih persegi panjang yang baru sebentar Furqon letakkan di atas meja itu kembali berbunyi. Salim rupanya mengirimi Furqon pesan lagi. Furqon kembali meraih ponselnya dan membuka ruang obrolannya dengan laki-laki berambut gondrong itu. Salim Aliyuddin: Kalau berkenan tolong nje
"Gus, ngapunten, Neng Feiza di mana lho?" tanya laki-laki itu kepada Furqon di sela-sela acara makan. "Feiza?" tanya balik Furqon. "Iya, Gus. Kok ndak terlihat dari tadi. Apa jangan-jangan, Neng Feiza kurang nyaman, ya, kalau makan malam bertiga denganku juga? Sudah aku bilang ke njenengan kan, Gus, aku ndak usah ikut makan malam bersama. Kalau sudah begini jadi makin sungkan rasanya sama Neng Feiza." Furqon menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum mendengar penuturan Salim. "Kamu ini ngomong apa, Lim, Lim," gumam Furqon. Ia kemudian menghela napas. "Feiza ndak di sini. Dia ada di kosnya." Salim langsung membelalakkan mata mendengar informasi yang baru didengarnya dari gusnya iu. "Hah? Maksud njenengan, Gus?" tanya laki-laki itu dengan wajah terkejut menatap Furqon. "Ya." Furqon kembali menghela napasnya. "Feiza meminta pernikahan kami disembunyikan,