"Lebih keras, Fe."
Feiza menghela napas. Seperti yang diminta Furqon, kini ia sedang memijat tubuh laki-laki jangkung itu di atas ranjang queen size kamarnya. Sejak sekitar satu jaman yang lalu. Lelah? Tentu saja. Tapi Furqon memang sepertinya benar-benar berencana menghukumnya. Feiza pun berusaha menekan semakin kuat punggung Furqon yang sedang dipijatnya dengan kedua tangan. Tangan Feiza yang capek sampai sudah terasa kemang karena memjiat Furqon sejak tadi. "Em ... arghh ... iya, gitu. Enak, Fe." Feiza hanya mendengkus menahan kekesalannya. Furqon benar-benar sungguh tega menguji kesabarannya. "Feiza," panggil Furqon di sela-sela pijatan Feiza. "Iya," sahut gadis cantik itu tak acuh. "Menurutmu." Furqon menjeda. "Bagaimana kalau seorang suami meminta istrinya yang belum disentuh melakukan malamHari kedua. Feiza langsung berkutat di dapur pagi-pagi sekali selesai salat Subuh berjemaah dengan Furqon. Ia tidak ingin mengingat kejadian semalam dan mencoba menghindar dari suaminya itu.Ketika sarapan, Feiza juga memilih duduk berjarak dengan Furqon. Dibiarkannya Furqon mengambil sendiri sarapannya sedang Feiza pura-pura sibuk dengan ponselnya. Ia juga cepat-cepat menyelesaikan sarapannya dan memilih pergi ke kampus lebih dulu. Meski seharusnya, Feiza baru memiliki jam perkuliahan pukul sembilan nanti. Furqon ditinggalnya sendiri."Lho, bukannya kelas kamu baru jam sembilan?" tanya Furqon ketika Feiza berpamitan tepat pukul tujuh.Feiza tentu tidak heran mendengar pertanyaan Furqon. Laki-laki itu memang tahu jadwal perkuliahan Feiza. Bahkan, sepertinya hafal di luar kepala."Iya, Gus, he he. Hari ini aku ada urusan, Gus. Jadi mau berangkat pagi." Feiza mencari alasan."Urusan apa?""Itu. Masalah pencalonan. Aku mau ke BC PGM
"Njenengan mau bicara apa, Gus?" tanya Feiza begitu dirinya mendudukkan diri di samping Furqon yang duduk di sofa ruang tengah rumahnya. Seperti yang Furqon minta, Feiza langsung pulang ke kontrakan Furqon begitu kelasnya usai dan tiba di kontrakan itu sepuluh menit kemudian. "Aku mau minta maaf," kata Furqon. "M-maaf kenapa?" Feiza sedikit gugup mendengar Furqon yang tiba-tiba meminta maaf kepadanya. "Kejadian semalam." Feiza langsung diam. "Aku harus ninggalin kamu tanpa penjelasan apa-apa." Feiza tidak tahu harus merespons bagaimana kata-kata Furqon yang kini menatap intens ke arahnya. Kejadian semalam, ya? Mengenai Furqon yang menghukumnya? Mengenai Furqon yang akan menciumnya? Atau ... mengenai Furqon yang memang akan mengajak Feiza melakukan malam pertama seperti apa yang Feiza pikirkan sebelumnya?
"Feiza," panggil Furqon tiba-tiba. "Iya, Gus?" sahut Feiza. "Soal malam pertama, aku nggak akan minta sampai kamu siap." Feiza langsung terkesiap. Uhuk uhuk uhuk! Tak lama kemudian, gadis itu terbatuk. "Fe, kamu nggak pa-pa?" Furqon yang panik melihat Feiza yang tiba-tiba terbatuk tepat di depannya langsung memegang punggung dan lengan istrinya itu penuh perhatian. "Kuambilkan air, ya?" tawarnya. Lalu tanpa menunggu jawaban Feiza, Furqon hendak berdiri dari tempat duduknya. Namun, Feiza mencegahnya. "Ndak perlu, Gus. Aku nggak pa-pa," ucap Feiza menahan Furqon yang ada di sampingnya dengan memegang sebelah tangannya. "Beneran?" "Iya, Gus." Keduanya saling berpandangan. Feiza p
"Feiza. Kamu nggak gerah pakai kerudung terus?" tanya Furqon yang membuat Feiza langsung menoleh ke arah laki-laki itu dengan pelototan.Sehabis Magrib, Feiza langsung pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam untuk mereka.Melihat kedua mata Feiza membola menatapnya, Furqon langsung tertawa. "Maksudku ... kamu nggak sumpek pakai kerudung seperti itu sambil masak. Aku ngelihatnya kayaknya ribet banget." Laki-laki itu mendekat kemudian mengelap keringat di pelipis Feiza dengan tisu yang diambilnya dari meja dapur.Feiza terhenyak mendapat perlakuan yang tiba-tiba seperti itu."Kamu keringetan," kata Furqon menatap intens Feiza menjelaskan tindakan yang baru dilakukannya.Sungguh, Furqon memang benar-benar merasa sumpek dan risih melihat Feiza memasak sambil berkali-kali membetulkan kerudung segi empat yang dipakainya. Pasalnya, Feiza bahkan tidak mengikat atau melilitkan kerudungnya itu ke leher sebagaimana lumrahnya perempuan berkerudun
Feiza menyelesaikan acara memasaknya, dan kini, dirinya dan Furqon sudah duduk manis di balik meja makan, menyantap makan malam mereka berupa sepiring nasi dengan balado terong dan ikan mujair gorengan Feiza sebagai lauk. Feiza dan Furqon duduk bersebelahan. Sebenarnya, Feiza duduk di kursi yang tempatnya ada di seberang kursi yang biasanya Furqon duduki agar mereka tidak duduk berdampingan. Namun, rupanya, Furqon malah memilih duduk di samping Feiza. Feiza yang sudah terlanjur duduk tentu tidak mungkin bergeser guna pindah lagi. Selain olahan masakan yang menjadi makan malam, bakso kanji yang baru saja Feiza buat juga terhidang cantik di mangkuk besar atas meja. Lengkap dengan saus kacang yang dibuatnya juga. Selain itu, ada kecap dan saus sambal pula di atas meja berbahan kayu jati itu. Feiza dan Furqon makan dengan khidmat, sampai ... Ting tong~
"Feiza." Feiza merasakan sedikit goncangan lembut di tubuhnya bersamaan dengan indra perungunya yang mendengar ada seseorang yang menyebut namanya. "Fe." Kedua mata gadis itu akhirnya terbuka perlahan. Lalu hal pertama yang dilihat indra penglihatannya adalah wajah tampan Furqon yang duduk tepat di tepian ranjang sampingnya. "Kamu belum salat Isya," guman laki-laki itu menatap Feiza. Feiza meregangkan badannya sedikit lalu bertanya dengan suaranya yang terdengar sedikit serak. "Jam berapa sekarang, Gus?" Furqon mengulas senyum sebelum menjawab, "Jam setengah satu." Feiza yang masih berbaring di ranjang mengumpulkan kesadaran langsung membelalakkan kedua mata mendengar itu. "Apa?" Gadis itu bangun dan terduduk dengan buru-buru. "Udah jam setengah satu?" gumamnya lantas melihat jam dinding yang menunjukkan
Setelah menghabiskan kurang lebih dua jam perjalanan, Feiza akhirnya sampai di halaman depan rumahnya, kediaman sederhana milik ayah dan ibunya. Gadis itu segera turun dari atas kendaraan yang dinaikinya lalu mengulas senyum sembari menghela napas pendek. Semoga saja kedua orang tuanya tidak terkejut melihat kedatangan Feiza. Sebab, gadis itu kali ini pulang tanpa bilang-bilang alias tanpa memberi kabar. "Ayo, Feiza. Kita masuk." Furqon yang menyusul Feiza turun dari mobil bersuara. Ya, kali ini Feiza pulang ke rumahnya dengan laki-laki jangkung itu, suaminya. "Hm." Feiza mengangguk, menghela napas sekilas lalu mengayunkan langkah menuju rumah bersama Furqon. Feiza tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaannya sekarang. Pasalnya, ia memang senang bisa pulang dan bertemu kedua orang tuanya di akhir pekannya. Namun, Furqon yang ikut bersamanya bukan hal yang
Semua ini benar-benar gila! Feiza berakhir duduk berdua dengan Furqon di ranjang kamarnya dengan situasi yang seolah memojokkan Feiza untuk menyerahkan diri sepenuhnya kepada laki-laki jangkung berwajah rupawan itu. Ibu Feiza tidak main-main. Beliau benar-benar menyiapkan atau katakan saja menghias kamar Feiza seperti kamar pengantin sesuai ujarannya sebelumnya. Tidak sepenuhnya, sih. Namun, taburan bunga mawar di atas ranjang Feiza dan bau wangi melati dan kenanga yang menguar di sana. Apa itu namanya? Feiza tidak tahu harus disembunyikan di mana wajahnya. Semua ini benar-benar membuat gadis bermata mongoloid itu malu. Lalu kabar buruknya, Ibu Feiza sepertinya sengaja mengunci kamarnya. Dan yang paling buruk dari yang terburuk, ibu dan ayahnya sempat mengobrol dengan Furqon tadi. Feiza tidak dilibatkan secara langsung. Mendekat untuk curi dengar saja selalu dihalau oleh sang ibu. Namun, Feiza tahu, obrolan ketiganya pasti